Reklamasi Pantai Tanpa Izin Lingkungan? Pembangunan Jetty di Natuna Terancam Pidana

oleh -1.583 views
Aryandi, SE Ketua DPP Geram Kepri Bersatu

KEPRI – Sehubungan dengan pengundangan Undang Undang RI Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan Peraturan Pemerintah RI Nomor 22 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup terdapat perubahan dan penegasan terkait izin lingkungan.

Sebagaimana diketahui, setiap usaha atau kegiatan yang wajib memiliki izin lingkungan Pasal 36 ayat (1) Undang Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) tidak memiliki izin lingkungan atau melanggar, maka dapat dikenai pidana sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 109 ayat (1) UU Nomor 32 tahun 2009.

Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan tanpa memiliki izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). (Pasal 109 ayat (1) UUPPLH).

Banner himbauan setiap usaha dan atau kegiatan yang wajib memiliki Amdal atau UKL-UPL wajib memiliki Izin Lingkungan.

Sedangkan pejabat pemberi izin usaha dan/atau kegiatan yang menerbitkan izin usaha dan/atau kegiatan tanpa dilengkapi dengan izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). (Pasal 111 ayat (2) UUPPLH).

Demikian disampaikan Aryandi, SE, Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Generasi Anak Melayu (Geram) Kepri Bersatu saat bersilaturahmi di Sekretariat koranperbatasan.com, Perwakilan Tanjungpinang-Bintan, Kamis, 16 Juni 2022 siang.

Kata Aryandi, dokumen Amdal harus disusun pada tahap perencanaan suatu usaha dan/atau kegiatan dengan lokasi wajib sesuai dengan rencana tata ruang. Jika lokasi kegiatan yang direncanakan tidak sesuai dengan rencana tata ruang, maka dokumen Amdal tidak dapat dinilai dan wajib dikembalikan kepada Pemrakarsa.

“Ini sangat jelas dalam Pasal 4 PP Nomor 27 tahun 2012 tentang Izin Lingkungan,” tegas Malek, panggilan akrab Aryandi.



Banner terkait prosedur penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal).

Sebelumnya, Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Manusia (ESDM) Provinsi Kepulauan Riau, Drs. M. Darwin, MT, menyebut pasir kuarsa masuk katagori mineral bukan logam. Pengelolaan tambang jenis ini menjadi kewenangan pemerintah provinsi. Hanya saja izin dikeluarkan saat kewenangan masih di pemerintah pusat.

“Dengan Perpres 55 tahun 2022 menjadi kewenangan pemerintah provinsi. Izin yang ada di Natuna terbit ketika kewenangan di kementerian,” tulis Darwin, dalam pesan WhatsApp, Sabtu, 11 Juni 2022.

Ketika ditanya mengenai Surat Bupati Natuna Nomor 650/PUPR/282/X/2021, tanggal 07 Oktober 2021 tentang permohonan substansi Ranperda RTRW Kabupaten Natuna tahun 2021-2041 yang dibuat berdasarkan kajian pemerintah provinsi, bukan kabupaten. Darwin menyarankan menanyakan langsung dengan dinas terkait.

“Terkait tata ruang silakan ke PU. Terkait lingkungan silahkan ke DLHK,” cetus Darwin.

Reklamasi pantai untuk pembangunan pelabuhan jetty/dermaga bongkar muat tambang pasir kuarsa atau silika di Desa Pengadah, Kecamatan Bunguran Timur Laut.

Sementera Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Provinsi Kepulauan Riau, Hendri, ST mengaku belum mengetahui adanya reklamasi pantai oleh perusahaan untuk pembanguna pelabuhan jetty/dermaga bongkar muat tambang pasir kuarsa atau silika di Desa Pengadah, Kecamatan Bunguran Timur Laut, Kabupaten Natuna.

Hendri memastikan sampai saat ini, pihak perusahaan belum ada yang mengajukan permohonan Izin Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal/UKL-UPL), terkait pembangunan/penimbunan/reklamasi pantai sepanjang 200 meter dengan lebar 12 meter lebih di Desa Pengadah, untuk bongkar muat hasil tambang pasir keperluan ekspor.

“Di kami kayaknya gak ada, mengeluarkan izin lingkungan terhadap pembangunan pelabuhan itu,” tegas Hendri, menjawab koranperbatasan.com, melalui panggilan telepon, Jum’at, 10 Juni 2022.

Padahal kata Hendri, pihak perusahaan wajib mengajukan permohonan Izin Amdal untuk pembangunan pelabuhan jetty/dermaga tersebut, agar suatu kegiatan yang dijalankan tidak menimbulkan/menyebabkan pencemaran, kerusakan, maupun gangguan terhadap lingkungan atau dampak sosial lainnya.

“Kalau dia sudah megang WIUP, kalau dia mau bangun pelabuhan itu, dia harus urus izin lingkungannya. Itu tadi, dia bermohon ke DLHK, setelah dia bermohon ke PTSP. Kalau dia sudah bangun, Amdal belum ada, maka harus dikenakan sanksi administrasi,” pungkas Hendri.

Salah seorang pekerja menunjukan lokasi reklamasi pembangunan pelabuhan jetty/dermaga untuk kebutuhan bongkar muat pasir kuarsa atau silika kepada tim investigasi koranperbatasan.com.

Hendri menjelaskan, Amdal/UKL-UPL adalah dokumen lingkungan hidup yang harus disusun oleh pelaku usaha. Baik untuk kegiatan penambangan pasir kuarsa atau silika, maupun pembangunan/penimbunan/reklamasi pantai untuk bongkar muat tambang pasir tersebut. Tujuannya agar kegiatan usaha yang dilakukan tidak berdampak buruk terhadap lingkungan hidup.

Berdasarkan screenshot gambar peta titik lokasi dari Aplikasi CarryMap Ovserver tempat aktifitas tambang pasir kuarsa/silika dan pembangunan/penimbunan/reklamasi pantai di Desa Pengadah yang dikirim Hendri ke koranperbatasan.com, menyebutkan bahwa kawasan tersebut adalah putih, sehingga menjadi kewenangan pemerintah daerah.

“Udah putih, bukan kawasan hutan. Kalau kawasan putih Pemda setempat, tapi dokumen lingkungan tetap harus ada,” ungkap Hendri.

Terkait masuknya perusahaan tambang pasir tersebut, H. Umar Natuna, S.Ag, M.Pd.I, Ketua STAI Natuna melihat penambangan pasir kuarsa atau silika di Natuna tak ada urgensinya.

Kata Umar Natuna, potensi lain masih banyak belum digali dan dikembangkan untuk menghasilkan PAD, seperti potensi perikanan, migas dan pariwisata.

“Nilai tambahnya tak ada, karena yang dijualkan bahan mentah, bukan olahannya, sementara kerusakan lingkungannya akan berdampak besar bagi Natuna itu sendiri,” jelas Umar.

Spanduk bertuliskan “Jangan Menambang Pasir Berkedok PAD, Kerusakan Lingkungan Kami Anda Tak Peduli” yang dibentangkan oleh Aliansi Natuna Menggugat pada RDP di Kantor DPRD Natuna. 

Menurut Umar Natuna, beban yang ditanggung tak sebanding dengan hasil yang diperoleh oleh daerah dan masyarakat kedepan. Umar berharap para pengambil kebijakan tidak membiarkan kegiatan yang akan mewarisi kerusakan lingkungan masa depan.

“Saya berharap kita semua dapat mewariskan hal-hal yang positif bagi masa depan daerah dan anak cucu,” harap Umar. (KP).


Laporan : Amran