NATUNA – Saya melihat 24 tahun itu, bukan waktu yang pendek. Jika memang serius membangun. Kita ibaratkan pukul rata saja. Satu tahun 1 triliun, maka sudah ada 24 triliun. Dengan jumlah penduduk sekitar 80 ribu jiwa, setiap daerah memiliki tingkat kependudukan sangat jarang. Seharusnya sektor ini sudah tertata rapi.
“Gagal mungkin tidak, tetapi pemerintah masih belum memiliki fokus pembangunan. Pertama perkecamatan harus ada blue print. Dinas Pariwisata harus mendeteksi seluruh kawasan,“ ungkap Junaidi Syamsudin, kepada koranperbatasan.com.
Lambatnya pengembangan objek wisata di Natuna menjadi catatan tersendiri oleh Politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Kecamatan Bunguran Barat Kabupaten Natuna, yang akrab disapa Bong Jun. Politisi lintas waktu saat ini diamanahkan menjadi wakil rakyat tersebut melihat belum ada objek wisata unggulan yang sudah terkelola secara utuh dan baik.
“Mungkin belum jelas settingnya, mau dikemanakan dan dijadikan seperti apa wisata ini. Kita ini jadi kabupaten sudah lama. Seperti di Kecamatan Bunguran Barat, ada beberapa tempat wisata berpotensi. Kita punya Pantai Marus, kemudian ada dua pulau berpotensi seperti Pulau Jalik, dan Pulau Kukup, semuanya sangat indah. Cuma sayang tidak dikelola dengan baik oleh dinas terkait,“ tegasnya.
Menurut Bong Jun, selain wisata alam, daerah terluar ujung utara Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini juga memiliki ragam budaya yang layak untuk dikembangkan.
“Pertama kita punya naturalnya, kedua wisata budaya. Kalau budaya ada banyak, termasuk budaya kelautan dan ini bisa di jual, seperti kem ikan. Kem ikan itu, kalau dirapikan oleh pemerintah tentu akan menjanjikan. Tapi sampai hari ini semua itu, belum dilakukan. Termasuk tidak adanya pengolahan sampah. Mana ada wisatawan mau datang, kalau sampahnya berserakan,“ pungkas Bong Jun.
Ketidakseriusan Pemda Natuna dalam mengembang karunia illahi tersebut kata Bong Jun, terbukti dengan tidak tersedianya transportasi reguler. Sampai saat ini, pemerintah daerah juga belum berhasil menyediakan sarana dasar disejumlah tempat wisata alam yang dimaksudnya.
“Infrastruktur yang ada di pulau-pulau juga belum di bangun. Mana mungkin orang mau kesana. Kalau buang air besar saja harus gali pasir. Nah, semua itu, adalah hal-hal dasar. Jadi itu, saja belum dilakukan, padahal kita menjadi kabupaten sudah lama,“ imbuhnya.
Bong Jun, berharap mulai saat ini Pemerintah Daerah Natuna melalui dinas terkait sudah harus membuat master plan rencana pengembangan sektor wisata secara global. Harapan saya pemerintah harus fokus dalam membangun. Pertama perkecamatan itu harus ada blue print. Dinas Pariwisata Natuna harus mendeteksi seluruh kawasan. Misal di Serasan ada sunset kemudian dibuat petanya.
“Serasan daerah sunset, daerah ini sunrise. Dari peta itu, dibuatlah peta induk. Dari peta induk, baru dicek infrastrukturnya. Ke sana harus menggunakan apa. Nanti apa bila ada Musrenbang semuanya harus mengacu kesitu. Kalau ini dilakukan dari tahun ketahun. Saya yakin sudah lama selesai,“ bebernya.
Terpisah Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Natuna, H. Hardinansyah, SE, M.Si mengatakan Aksesibilitas, Amenitas, dan Atraksi (3A) merupakan faktor utama yang bisa digunakan dalam menggenjot pembangunan destinasi pariwisata. Para investor baik domestik maupun non domestik yang ingin melakukan investasi disuatu daerah baik dalam jangka pendek atau jangka panjang, tentunya akan terpengaruh oleh faktor tersebut.
“Mereka kan profit oriented. Artinya orientasi mereka adalah keuntungan. Sementera akses dari ke Natuna sedikit, kemudian mahal, tentu jadi kendala. Kedua atraksi seperti seni budaya juga belum memadai. Ketiga kesiapan amunitas sarana prasarana pendukung seperti hotel dan restauran baru mulai berkembang. Nah, ketika aksesibilitas sulit, saya pikir amunitas pun tidak akan berkembang,” kata Hardinansyah menjawab koranperbatasan.com.
Makanya lanjut Hardinansyah, kami mencoba melihat peluang-peluang yang ada disetiap daerah. Tempat-tempat wisata yang dikembangkan tentunya tidak dibenarkan keluar dari aturan-aturan pemerintah.
“Ya kalau pemerintah itu kan dari aspek regulasinya. Ada aturan boleh tidaknya, kemudian perizinan segala macamnya. Nanti tentu akan ada kontribusi dari objek-objek daya tarik wisata itu, ke PAD. Yang paling penting, ketika investor masuk mengembang suatu destinasi, mereka tentu memerlukan tenaga kerja. Kita berharap ekonomi lokal ikut tumbuh dan berkembang,” ujarnya.
Hal tersebut menurutnya berbeda dengan objek wisata seperti Jelita Sejuba dan Alif Stone Park. “Nah, itu murni swasta masuk ke sini sendiri. Kalau Jelita Sejuba dan Alif Stone saya pikir tanahnya sudah lama jadi milik pengembang. Tapi kalau ingin tahu lebih pasti, bisa konfirmasi ke badan pertanahan. Kami Dinas Pariwisata dari awal mempromosikan supaya wisatawan datang. Tujuan dan target kita adalah jumlah kunjungan wisata,” pungkasnya.
Hardinansyah memastikan wisata bahari sangat menarik dikembangkan di Natuna. Selain karena menjadi tujuan utama kunjungan wisatawan mancanegara, juga dikarenakan 99,25 persen dari 264.198,37 kilometer persegi luas Natuna adalah lautan. Berbagai komoditas laut menjadi kekayaan alam Natuna dan mampu menarik kunjungan wisman.
“Jadi kita fokus untuk wisata bahari, karenakan 99,25 persen adalah laut, cuma 2001,30 kilometer persegi saja daratan. Makanya kita fokus ke wisata bahari,” tuturnya.
Salah satu wisata bahari yang menarik untuk dikunjungi adalah Pulau Senua. Disamping menjadi pulau terdepan NKRI, Senua juga merupakan satu-satunya geosite geopark di Natuna. Selain Pulau Senua, Natuna juga memiliki wisata bahari bernama Batu Kasah, Senubing, dan Tanjung Datuk.
“Jadi sebetulnya setiap tahun kita ada kalender event wisata, sudah masuk dalam kalender event provinsi. Kita ada festival wisata bahari yaitu Festival Pulau Senua sama Sail Anambas to Natuna,” terangnya.
Lebih jauh Hardinansyah menjelaskan Natuna memiliki 120 objek dan daya tarik wisata, 84 persennya adalah wisata bahari. Sayangnya masih terganjal oleh akses transportasi.
“Transportasi dari ke Natuna masih jarang, dan mahal sekali. Sehingga banyak orang bad mood, kita juga belum ada maskapai garuda, jadi mereka harus naik Wings Air, pesawat menggunakan propeller baling-baling. Kalau kesiapan hotel sekelas bintang lima sudah ada, dari group adiwana itu mereka punya 19 di Indonesia, 18 di Bali, 1 di Natuna,” papar Hardinansyah.
Saat ini kata Hardinansyah kendala dalam upaya memaksimalkan pembangunan sektor wisata di Natuna sudah tidak terlalu banyak lagi. Karena kemajuan wisata pada umumnya mengarah pada tiga hal yang berkaitan dengan aktraksi, alam, dan buatan termasuk sarana prasarana penujang.
“Hanya akses penunjang yang belum maksimal. Kalau promosi bulan Maret lalu melalui video promosi distinasi wisata se-Indonesia Natuna berada pada urutan ke 7. Di Provinsi Kepri hanya Natuna saja yang dapat. Sebetulnya ada banyak sekali yang ingin datang ke Natuna, tetepi setelah mereka menanyakan harga tiket pesawat katanya mahal sekali, lebih bagus ke Bali atau Singapore,” beber Hardinasyah.
Sejalan dengan hal tersebut lanjut Hardinasyah, Natuna pun sudah ditetapkan sebagai kawasan geopak pada tanggal 29 November 2018 lalu. Penetapan dikarenakan Natuna memiliki keanekaragaman bebetauan yang usianya mencapai puluhan juta tahun, berasal dari kerak samudra, benua, dan purba. Kemudian karena keanekaragaman hayati yang dimiliki Natuna.
“Kita punya hewan Kekah, dan satu-satunya di dunia hanya ada di Natuna, ada juga kesenian mendu, dan permainan gasing, termasuk beragam kuliner, serta batik pandan Natuna,” papar Hardinasyah.
Sementera Kepala Bidang Pemasaran Dinas Pariwisata Natuna, Kardiman, SE, menuturkan untuk perhotelan di Natuna segera dilengkapi dengan Sertifikat Cleanliness, Health, Safety, Environment (CHSE).
Kata Kardiman, tujuan dari sertifikasi CHSE ini adalah untuk memberikan jaminan kepada wisatawan terhadap pelaksanaan kebersihan, kesehatan, keselamatan, dan kelestarian lingkungan saat berada di Natuna.
”Salah satu tujuan CHSE ini adalah agar dapat menambah keyakinan wisatawan untuk berkunjung ke Natuna,” tambah Kardiman.
Sebagaimana diketahui, sampai saat ini keterbatasan dan harga tiket “burung besi” dari dan akan ke Natuna masih terbilang mahal. Rata-rata di atas Rp1 juta. Pada waktu tertentu bahkan ada maskapai yang mematok harga diatas Rp2,5 juta. (KP).
Laporan : Cherman