NATUNA – Kepala Dinas Perikanan Kabupaten Natuna, Provinsi Kepulauan Riau, Hadi Suryanto, S.Pi, M.Si membenarkan bahwa ekonomi dan sosial masyarakat Natuna tidak terlepas dari sektor kemaritiman dan perikanan. Hubungan masyarakat Natuna dengan hasil laut mencakup aspek sosial, ekonomi, lingkungan, dan industri.
Menurut Hadi, jika sektor kemaritiman dan perikanan dapat dikelola dengan baik. Tidak menutup kemungkinan segala hal yang berhubungan dengan ekonomi sosial masyarakat Natuna akan berkembang. Ada banyak pertimbangan, mulai dari kondisi wilayah, sosial budaya, maupun sosial politik. Natuna secara umum adalah topografi maritim kelautan dan kepulauan. Jika melihat kondisinya, Natuna termasuk daerah yang memiliki wilayah laut sangat luas.
“Masalah ekonomi dikaitkan dengan perikanan, dan kemaritiman, tentunya kita semua sudah tahu bahwa luas daerah ini 99,70 persen adalah lautan, hanya 25 persen saja daratan. Otomatis potensi perikanan sangat besar, lebih dari 50 persen orang Natuna kerja sebagai nelayan, selebihnya bisa kerja di pemerintahan, pertanian, dan lain-lainnya,” ungkap Hadi, menjawab koranperbatasan.com di ruang dinasnya, Rabu, 25 September 2024.
Hadi memastikan ekonomi masyarakat Natuna sangat bergantung dengan tuah laut yang dimiliki Kabupaten Natuna sebagai garda terdepan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Tantangan saat ini bagaimana mengeksploitasikan sumber daya kelautan, dan perikanan, termasuk wisata bahari untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat Natuna.
Karena Natuna wilayah topografi maritim kepulauan. Maka wilayah maritim memberikan modal besar, memberikan potensi besar. Sehingga laut Natuna mengandung tuah. Tuah laut tersebut memberikan kehidupan nyata bagi masyarakat dan mampu membuat Natuna berkembang pesat. Maka tuah laut sebagai gambaran peningkatan ekonomi dan sosial masyarakat Natuna.
“Ekonomi masyarakat semuanya bergantung pada potensi sumber daya alam. Natuna otomatis ekonominya bergantungan kepada potensi sumber daya kelautan, dan perikanan. Untuk perikanan ada yang bergerak di bidang tangkap, dan budidaya. Artinya secara keseluruhan ekonomi masyarakat Natuna bergantung kepada hasil laut,” ujar Hadi.
Kata Hadi, begitu juga dengan ekonomi maritim, bisa saja beruapa industri pembuatan kapal-kapal, jasa-jasa penyeberangan antar pulau, atau antar negara, termasuk untuk kebutuhan wisata bahari. Inilah suatu cara agar dapat membangun masyarakat maritim yang berdaulat, menuju masyarakat adil, makmur, dan sejahtera.
“Kalau maritim tentunya lebih kepada kegiatan-kegiatan investasi. Muatan kapal-kapal membawa hasil dari daerah keluar perbatasan. Mesti ada investasi seperti galangan kapal bergerak di bidang pesisir. Harus ada muatan-muatan, armada-armada yang dibawa keluar. Tidak hanya perikanan, juga membawa hasil perkebunan yang harus kita ekspor antar negara. Natuna berada dibagian utara berurutan dengan Vietnam, Kamboja, dan Filipina. Kenapa tidak? kalau kita bikin kegiatan-kegiatan kredit perdagangan dibawa kesana,” beber Hadi.
Hadi melihat potensi perikanan Natuna sangat besar, berdampak pada ekonomi masyarakatnya. Hampir setiap tahun rata-rata produksi perikanan Natuna mencapai angka 135.000 ton. Termasuk tangkapan nelayan di Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) 711. WPP 711 memiliki potensi perikanan besar, sehingga sering menjadi sengketa dengan negara-negara lain. WPP 711 juga berfungsi sebagai jalur pelayaran penting antar negara, terutama dibagian utara meliputi Selat Karimata, Laut Natuna, dan Laut Cina Selatan.
“Semuanya terdata, karena setiap mereka mengirim ikan harus mendapatkan surat keterangan asal. Artinya ada dokumen yang harus kita keluarkan. Kalau mengandalkan kapal-kapal tradisoonal kapasitas 2 GT memang kecil tangkapannya. Tapi kita juga tahu kapal-kapal yang ada izin dari pusat beroperasi di Natuna diatas 60 ton, bahkan 100 ton lebih. Contohnya mereka menangkap di WPP 711 masuk wilayah Natuna yang izinnya dari pusat. Jika digabungkan jumlah produksinya tentu besar,” tegas Hadi.
Hadi menjelaskan untuk sektor perikanan yang berkaitan dengan kemaritiman sudah lama berjalan. Salah satu contoh adalah aktivitas jual beli dari hasil budidaya ikan hidup melalui kapal Hongkong.
“Contohnya kapal Hongkong masuk kemari, itu kan antar negara, mengandalkan potensi kemaritiman bergerak di sektor perikanan budidaya. Tapi saya nggak bisa ngomong, karena bukan ranah saya. Kemudian untuk perikanan tangkap sudah ada pengepul-pengepul lokal, mereka punya link ekspornya ke Singapura. Ada juga yang menjualnya ke Jakarta, Kalimantan, dan Tanjungpinang,” jelas Hadi.
Sayangnya dari kegiatan jual beli hasil perikanan tangkap maupun perikanan budidaya yang dimaksud tidak ada pendapatan bagi daerah. Hal itu dikarenakan tidak ada aturan yang mengatur bahwa pihaknya boleh melakukan pemungutan retribusi atas kegiatan tersebut.
“Tidak bisa, tidak diatur, tidak dibolehkan memungut dari itu. Sudah ketentuan tidak boleh, termasuk ikan ekspor, tidak ada dasarnya. Kita bikin pendapatan harus ada dasar-dasar hukum. Memang tidak ada diketentuan undang-undang. Tidak bisa kita membuat pungutan retribusi tanpa ada dasar hukum. Walaupun orang bilang harus di pungut, tapi dasar hukum kita mungut itu tidak ada. Kecuali kita punya tempat pelelangan ikan, di undang-undang mengatur daerah boleh melakukan,” pungkas Hadi.
Kata Hadi berbeda dengan pemanfaatan sumber daya alam dari tambang pasir kuarsa atau silika yang sudah mengantongi izin-izin berdasarkan aturan perundang-undangan sehinga bisa dipungut sebagai Pendapatan Asli Daerah (PAD).
“Itu ada dasarnya, kenapa sekian persen untuk provinsi, sekian persen daerah penghasil, karena ada diatur. Jadi bukan bicara kewenangan, disini bicara pembagianya. Sama dengan perikanan kalau bicara kewenangan kabupaten hanya nol mil. Jadi ini undang-undang, kita tidak bisa bikin multifungsi, mau retribusi harus ada dasarnya. Saya tidak bisa komentar karena bukan ranah saya. Saya tak paham dengan yang ini, kan saya hanya bicara bidang perikanan,” beber Hadi.
Lebih jauh Hadi menerangkan untuk budidaya perikanan tangkap rata-rata berada diwilayah Kecamatan Bunguran Timur. Sedangkan perikanan budidaya berdasarkan data yang mereka kantongi berada di Kecamatan Bunguran Barat.
“Nelayan dan armada terbanyak di Kecamatan Bunguran Timur. Kalau budidaya lebih banyak di Bunguran Barat, karena jumlah nelayan budidaya dan aktivitas budidayanya lebih banyak disana. Mereka swasta bergerak sendiri, menampung ikan-ikan dari masyarakat. Kemudian ikan-ikan itu mereka kirim keluar daerah seperti Jakarta. Kita hanya mengeluarkan surat keterangan asal. Harapan saya bagaimana nelayan Natuna ini bisa mandiri,” tutup Hadi. (KP).
Laporan : Dhitto