Natuna Layak Diberikan Kewenangan Masyarakat Hukum Adat, Wan Suhardi: Melayu itu Berperadaban

Terbit: oleh -1196 Dilihat
Ketua Lembaga Adat Melayu (LAM) Kabupaten Natuna Provinsi Kepulauan Riau, Dato’ Wira Setia Utama H. Wan Suhardi.

NATUNA – LAM adalah sebuah lembaga yang mengayomi orang-orang Melayu. Semua yang dibahas dalam lembaga tersebut mulai dari adat, budaya dan hal-hal lainnya adalah tentang Melayu. Dulu orang menyebutnya masyarakat hukum adat, hanya saja LAM bukan masyarakat hukum adat, melainkan sebuah lembaga.

Pernyataan ini disampaikan oleh Ketua Lembaga Adat Melayu (LAM) Kabupaten Natuna Provinsi Kepulauan Riau, Dato’ Wira Setia Utama H. Wan Suhardi kepada koranperbatasan.com dikediamannya Jalan Datuk Kaya Wan Muhamad Benteng, Ranai, Sabtu, 08 September 2024.

Kata Dato’ Wan Suhardi, jika masyarakat hukum adat pada waktunya (dulu-red) orang-orang Melayu Natuna berada dibawah naungan datuk kaya. Masyarakat hukum adat adalah orang-orang yang mendiami suatu daerah, dan memegang teguh adat-adat di daerah tersebut, berbeda dengan LAM.

Menurut Dato’ Wan Suhardi, LAM terbentuk saat masih bergabung dengan Provinsi Riau. Orang-orang Melayu di Riau, dan Kepulauan Riau saat itu membentuk sebuah lembaga disebut Lembaga Adat Melayu. Lembaga Adat Melayu ini tidak hanya ada di Riau, dan Provinsi Kepulauan Riau. LAM juga ada di Sumatera Barat, Palembang, Bengkulu, Jambi, Lampung, Aceh, dan Medan.

Setelah berpisah dari Provinsi Riau, dan terbentuk Provinsi Kepulauan Riau, LAM Kabupaten Natuna berindukan pada LAM Provinsi Kepulauan Riau. Saat berindukan LAM Provinsi Riau, LAM Natuna masih berstatus LAM kecamatan beradah dibawah naungan LAM Kabupaten Kepulauan Riau.

“Sebelum Natuna jadi kabupaten, LAM Natuna berindukan LAM Provinsi Riau. Saat itu kita masih LAM kecamatan berada dibawah Kabupaten Kepulauan Riau. Natuna sendiri menjadi kabupaten sekitar tahun 2000. Sejak itu lah berubah menjadi LAM Kabupaten Natuna,” terang Dato’ Wan Suhardi.

Dato’ Wan Suhardi menceritkan, bedanya Lembaga Adat Melayu dengan masyarakat hukum adat adalah sebuah organisasi yang diatur oleh Anggaran Dasar Rumah Tangga (ADRT). Lembaga Adat Melayu hak-haknya terbatas, sedangkan masyarakat hukum adat punya hak penuh seperti penguasaan atas tanah. Masyarakat hukum adat punya hak atas kedudukannya disuatu tempat, dan orang-orang harus mengakuinya.

“Saya kasih contoh di Jambi ada masyarakat suku anak dalam, itu masyarakat hukum adat. Hak atas tanah dia, hak atas wilayah dia, negara harus mengakui dia punya wilayah dan kawasan itu. Kalau LAM tidak punya wilayah, membaur dalam sebuah pemerintahan yang diakui republik ini. Makanya di daerah Melayu dikenal dengan tali berpilin tiga, pemerintah itu sejajar dengan lembaga adat, dengan tokoh agama. Unsurnya ada tiga, pemerintah, umarok, adat, dan ulama,” ujar  Dato’ Wan Suhardi.

Jika tali berpilin dua, lanjut Dato’ Wan Suhardi, tentunya tidak akan pernah kuat. Seperti mengikat tali gasing jika hanya dipilin dua tidak akan kuat dan bisa. Oleh karena itu tali gasing harus dipilin tiga. Begitu juga dengan pepatah mengatakan tungku tiga sejaraangan, jika hanya dua maka tumbang kualinya.

“Kalau tungku hanya dua pasti tumbang. Orang masak nasi di kampung-kampung pakai kuali tungkunya pasti tiga. Kalau tungkunya cuma dua pasti tumbang, tidak kuat. Makanya unsur pemerintahan yang ada di daerah Melayu tali dipilin tiga. Dalam logo Natuna ada tali dikeliling tali itu adalah tali dipilin tiga, saya tahu betul karena saat pembuatan logo, saya jurinya. Maka pemerintah tidak boleh mengatakan adat dibawah dia, kita sejajar dengan dia, kalau masyarakat hukum adat lebih lagi, wilayah dia punya,” papar Dato’ Wan Suhardi.

Sebenarnya kata Dato’ Wan Suhardi, keberdaan Lembaga Adat Melayu dan masyarakat hukum adat tidak bisa disamakan, kedua-duanya sampai saat ini masih ada dan berlaku. Hanya saja harus mengacu pada ketentuan undang-undang, dimana pengakuan masyarakat hukum adat harus disahkan oleh kepala daerah melalui surat keputusannya.

“Bupati mengeluarkan SK mengakui bahwa di daerah ini ada masyarakat hukum adatnya. Kalau di Natuna gampang sekali, wilayah-wilayah datuk kaya itu masyarakat hukum adat semua, tinggal bupati kelurkan SK-nya. Pertanyaannya apakah masih ada atau sudah tidak ada wilayah lagi, karena sudah di kapling-kapling oleh orang-orang yang kononnya mengaku masyarakat Natuna. Padahal dalam UUD semuanya sudah diatur, jika tidak percaya boleh kita buka UUD,” tegas Dato’ Wan Suhardi.

Ketua Lembaga Adat Melayu (LAM) Kabupaten Natuna Provinsi Kepulauan Riau, Dato’ Wira Setia Utama H. Wan Suhardi poto bersama salah satu wartawan koranperbatasan.com dikediamannya Jalan Datuk Kaya Wan Muhamad Benteng, Ranai, Sabtu, 08 September 2024.

Dato’ Wan Suhardi menerangkan dalam LAM siapapun yang terpilih menjadi ketua di kabupaten secara otomatis akan bergelar Dato’ Wira Setia Utama. Gelar tersebut diberikan oleh LAM Provinsi, dan akan terus melekat pada dirinya meskipun sudah tidak lagi menjabat sebagai Ketua LAM.

“Gelar itu melekat pada dirinya, tidak hilang. Misalnya nanti saya tidak Ketua LAM lagi, saya tetap memegang gelar Dato’ Wira Setia Utama. Gelar itu tidak bisa saya turunkan kepada anak cucu, kecuali anak saya diangkat menjadi Ketua LAM. Seperti Wabup Rodhial Huda pernah jadi Ketua LAM sementara menggantikan Almarhum Wan Zawali, beliau dapat gelar Dato’ Wira Setia Utama, maka hari ini kita memanggil beliau Dato’ Wira Setia Utama meskipun beliau bukan lagi Ketua LAM. Begitu juga dengan para pengurus LAM lainnya seperti wakil saya dikenal dengan sebutan Dato’ Wira, kalau saya ditambah Setia Utama,” ungkap Dato’ Wan Suhardi.

Dato’ Wan Suhardi memastikan LAM berhak memberikan gelar kebesaran adat kepada siapa saja termasuk bupati dan wakil bupati yang memang sudah memiliki gelar tersediri. Sejauh ini, LAM Natuna baru mengukuhkan pemberian gelar tersebut kepada Bupati Natuna Drs. H. Ilyas Sabli, M.Si dengan sebutan Dato’ Setia Amanah.

“Cuma sekarang kalau bupati Dato’ Sri Setia Amanah, wakil bupati menjadi Dato’ Setia Amanah. Insya Allah kalau bupati ini terpilih lagi, mau tidak mau, suka tidak suka, kita wajib memberikan dia gelar. Persoalan apakah dia nanti amanah atau tidak dalam menjalankan tugas, ada ketentuannya. Jika tidak amanah kita bisa cabut gelar itu, karena ada perjanjian dan warkahnya,” pungkas Dato’ Wan Suhardi.

Dato’ Wan Suhardi menegaskan para pengurus Lembaga Adat Melayu tidak mesti harus mempunyai garis keturunan, karena Lembaga Adat Melayu adalah organisasi biasa berbeda dengan masyarakat hukum adat. Sama halnya dengan memilih bupati, tidak mesti harus garis keturunan, karena ini demokrasi semua orang punya hak.

“Tapi kalau datuk kaya kita bicara masyarakat hukum adat, harus ada garis lurus, tidak punya garis lurus darimana pula dia bisa diangkat menjadi datuk. Bicara masyarakat hukum adat datuk kaya itu penguasa. Gelar sebenarnya bukan datuk, awalnya orang kaya, lalu oleh Sultan Riau diberi gelar datuk atas keberhasilanya. Kalau LAM bagi siapa yang mampu, tidak mesti harus garis keturunan, karena LAM bukan organisasi keturunan. Tapi kalau masyarakat hukum adat tidak bisa, harus literasi,” tegas Dato’ Wan Suhardi.

Lebih jauh Dato’ Wan Suhardi mengungkapkan Melayu bukanlah sesuatu yang baru. Melayu sejak dulu sudah bermarwah, berharkat, dan bermartabat. Oleh karena itu, LAM hadir sebagai lembaga pembawa pemikiran-pemikiran Melayu yang memang sudah lama mendunia.

“Kalau ada orang mengatakan Melayu baru saya tidak setuju. Melayu sudah lama original pemikiran-pemikiraan untuk kemajuan. Siapa berani bilang Melayu ketinggalan tidak maju. Buktinya Melayu mampu menciptakan bahasa, hari ini bahasa Indonesia bahasa Melayu, artinya orang Melayu sudah berpikir jauh sejak dulu. Makanya anak-anak Melayu harus berpikir bagaimana menggali khazanah Melayu menjadi sesuatu yang berharga,” pungkas Dato’ Wan Suhardi.

Saat ini LAM Natuna sedang berusaha muncul kepermukaan, hal itu dilakukan mengingat betapa pentingnya mengedepankan adab. Bicara Melayu, lanjut Dato’ Wan Suhardi tentunya tidak terlepas dari adab. Jika ditanya apa yang sedang dikembangkan, dilakukan, dan dipertahankan oleh LAM Natuna, jawabnya adalah adab.

“Tidak usah jauh-jauh, hanya menempatkan tempat duduk ketua LAM didepan saja masih sulit, padahal ketua LAM sejajar dengan bupati. Anda mengundang ketua LAM, bukan mengundang Wan Suhardi. Kalau mengundang Wan Suhardi biar nomor 1000 saya tidak masalah, tapi kalau ketua LAM itu marwah, harkat, tidak bisa harus saya pertahankan. Jadi itu adab harus bisa menghargai yang lebih dituakan. Dulu kalau lewat depan rumah kakek saya berani bersiul pasti kena tempeleng. Lewat depan rumah datuk kaya bersiul pasti ditanya anak siapa kau, engkau kurang ajar,” ketus Dato’ Wan Suhardi.

Bicara adab menurut Dato’ Wan Suhardi saat ini masih banyak para pejabat pemerintah yang belum mengedepankan adab. Terutama adab tentang bagaimana cara menggunakan pakaian Melayu dengan benar.

”Masalah berpakaian saja masih banyak para pejabat kita memakai baju kurung kurang tepat, kurang benar. Begitu juga cara memakai tanjak tidak sembarang pakai, ada belok kiri, ada susun satu, susun tiga, susun lima, jadi ada ketentuanya tak boleh sembarang pakai. Saya berusaha pelan-pelan memperbaikinya, caranya kalau yang sudah kita kenal ditegur, yang belum kenal kalau dia bertanya kita beritahu,” beber Dato’ Wan Suhardi.

Sebagai Ketua LAM Natuna, Dato’ Wan Suhardi mengaku saat ini dirinya sedang berupaya meminta pemerintah daerah membangun Rumah Adat Melayu yang dulunya dikenal dengan sebutan rumah besar. Keberadaan rumah tersebut dinilainya sangat penting sebagai tempat mengkaji ilmu tentang kemelayuan.

“Dulu rumah besar, alhamdulillah insya allah sudah mulai proses lelang pembersihan lahan. Tahun depan insya allah mulai pembangunannya, jadi kami memang berharap. Kalau itu sudah ada baru kita bisa bicara banyak, anak-anak Melayu dikumpulkan disitu berkegiatan mengkaji tentang kemelayuan. Aduh terlalu banyak khazanah Melayu yang harus digali diketahui oleh kalian yang masih muda-muda. Sesungguhnya Natuna ini bukan daerah kosong yang tidak berperadaban,” terangnya.

Lebih jauh Dato’ Wan Suhardi menceritakan daerah ini adalah daerah yang sudah berperadaban sejak beberapa abad lalu. Diperkirakan pada abad 15 daerah ini (Natuna-red) sudah ada berdaban kekuasaan.

“Pemerintahan sejak tahun 1558 artinya sudah lama, kalau berdasarkan undang-undang seperti keraton. Jadi LAM termasuk bagian dari itu, seharusnya pemerintah tidak ada alasan harus membiayai LAM. Semunya sudah ada undang-undang yang mengatur tentang keraton-keraton seperti Yogyakarta siapa yang biayai. Emang Sultan Hamengkubuwono cari uang sendiri?,” tanya Dato’ Wan Suhardi.

Terkait pembiayaan lanjut Dato’ Wan Suhardi, pemerintah daerah tidak perlu repot-repot terhadap LAM, cukup membantu operasional, dan penunjang bagi LAM untuk dapat mengembangkan menghidupkan khazanah Melayu Natuna. Kondisi ketika seni dan budaya tradisional terkikis atau luntur karena perkembangan zaman yang semakin modern.

“Pemerintah tidak usah membantu sampai seperti itu (Keraton Yogyakarta-red), mungkin cukup memberi operasional kalau nanti gedungnya (Rumah Adat Melayu Natuna-red) sudah siap, disediakan anggaran operasionalnya. Terus terang selama dua tahun ini belum pernah mengajukan anggaran operasional. Belum pernah saya mengajukan proposal, karena saya fokus bagaimana rumah adat jadi dulu. Padahal Pemerintah Provinsi Kepri telah mengeluarkan Perda tentang itu untuk LAM Kepri,” terangnya.

Dato’ Wan Suhardi sempat menekankan siapa sebenarnya orang Melayu. Menurutnya Melayu adalah orang-orang yang berperadaban, punya tata kerama, punya adat istiadat. Lebih tegas lagi, Melayu adalah orang-orang yang menomorsatukan adab.

“Jangan sok-sok modern berada dipersimpangan jalan pokoknya harus modern. Padahal apa yang kita lakukan itu sebenarnya tidak baik, dulu anak-anak Melayu kemana-mana berbaju kurung, baik perempuan maupun laki-laki. Apa salahnya kita berbaju kurung apakah rendah derajat kita, tidak!, baju Melayu bagus kok,” pungkas Dato’ Wan Suhardi.

Menyedihkan lagi, kata Dato’ Wan Suhardi, saat ini adab pernikahan kebanyakan dilakukan oleh orang-orang Melayu modern tidak betul-betul perpegang teguh kepada adatnya. Pesta pernikan terpantau dibuat sesuka hati.

“Adat dia buat-buat sesuka hati, jangan asal buat adat itu ada ketentuanya. Untuk keturunan wan lilinya tujuh, orang-orang biasa lilinya lima, jangan pula dia bikin lilinnya sembilan, siapa dia?. Tapi kalau buat sesuka hati bisa saja dia pakai pelaminan Melayu nanti tempat terima duitnya Minangkabau. Orang lupa sesungguhnya Melayu itu besar dan sudah lama maju. Mengapa saya berani katakana Melayu maju, contoh bahasa Melayu tidak hanya menjadi bahasa Indonesia. Bahasa Melayu sesungguhnya adalah bahasa pengantar Asia Tenggara. Buktinya dulu penulis-penulis Melayu sangat banyak, seperti Raja Ali Haji, sekarang hampir tidak ada artinya,” tutup Dato’ Wan Suhardi. (KP).


Laporan : Dhitto


 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *