NATUNA – Kepala Pengadilan Agama (PA) Kabupaten Natuna, Provinsi Kepulauan Riau (Kepri), melalui Hakim Helmy Ziaul Fuad, SHI, SH, MH menerangkan, jumlah angka perceraian sepanjang tahun 2022 di Natuna masih terbilang tinggi.
Jumlah perkara perceraian yang dibagi menjadi dua katagori tersebut dipersentase berdasarkan jumlah penduduk secara nasional, dimana angka cerai gugat berhasil mendominasi cerai thalak.
“Tidak di Kepri, umumnya se-Indonesia tergantung perkembangan jumlah penduduk sama kemajuan kota. Kalau dilihat dari kemajuan kota yang seperti ini, Natuna termasuk tinggi dibandingkan Batam, mereka jelas kotanya lebih berkembang, masyarakatnya berkembang, pengetahuan hukumnya juga lebih berkembang,” ungkap Helmy, menjawab koranperbatasan.com, di Ruang Tamu Lantai II Kantor Pengadilan Agama Natuna, Kamis, 23 Februari 2023.
Helmy menjelaskan, pada tahun 2022 secara umum jumlah perkara ditangani oleh Pengadilan Agama Natuna sebanyak 264 perkara, terdiri dari sisa perkara tahun 2021 sebanyak 4 perkara. Perkara yang diterima tahun 2021 sebanyak 297 perkara, sedangkan perkara yang diputus tahun 2021 sebanyak 303 perkara, maka sisa perkara tahun 2022 belum diputus sebanyak 3 perkara.
Kata Helmy, berdasarkan kedaan perkara di peradilan Kantor Pengadilan Agama Natuna, jumlah perkara perceraian lebih banyak dilakukan oleh perempuan ketimbang lelaki sebagai pemohon percerain.
“Kita terbagi menjadi dua, yaitu cerai gugat sama cerai thalak, cerai gugat apabila perempuan yang mengajukan, tapi kalau suami yang mengajukan namanya cerai thalak. Untuk jumlah cerai gugat sendiri yang masuk pada tahun 2022 seingat saya ada 171, dan cerai thalak ada sekitar 42,” terang Helmy.
Selain itu, Helmy juga menceritakan bahwa jumlah pernikan yang tidak tercatat di Kantor Urusan Agama (KUA) biasa disebut nikah siri, atau nikah di bawah tangan di Natuna juga terbilang tinggi.
“Mohon maaf, mungkin di Natuna banyak masyarakat kurang sadar hukum. Contohnya masih banyak pernikahan siri, seharusnya pernikahan siri tidak boleh terjadi lagi. Tapi masyarakat kita masih banyak melakukannya, memang pengadilan tidak boleh memaksanya, kita pengadilan hanya menunggu. Mereka mau sidang silakan, kalau enggak ya enggak. Tidak boleh pengadilan datang-datang nyuruh mereka sidang, itu tidak boleh,” ujar Helmy.
Menurut Helmy, berdasarkan data diperoleh dari disdukcapil ada sekitar 1000 lebih Kartu Keluarga (KK) yang pernikahannya tidak tercatat. Hal itu diketahui saat pendataan oleh disdukcapil, dan disaat anak-anak dari pernikahan tersebut memerlukan surat keterangan dari Pengadilan Agama untuk berbagai kebutuhan seperti pendidikan militer.
“Makanya kalau pernikahan kayak gitu di catat otomatis jumlah perkara di Pengadilan Agama Natuna bisa lebih dari 1000-an. Jadi memang banyak, dan saya belum bisa membandingkan dengan kota-kota lain, karena jumlah penduduknya beda-beda. Kalau kita lihat ini juga tinggi, penyebabnya karena kesadaran masyarakat masih kurang, sehingga banyak diantara mereka yang nikahnya tidak tercatat, cerainya pun tidak tercatat,” cetus Helmy.
Dalam hal ini, Helmy mengingatkan nikah siri sangat berefek bagi kaum hawa. Dalam pernikahan siri, perempuan secara otomatis akan dirugikan, selain setatus anak juga tidak adanya perlindungan hukum atas pernikan tersebut.
“Jadi perempuan harus sadar kalau nikah siri itu merugikan kalian, kalau misalnya nikah siri dia melahirkan anak udah enggak dapat status, enggak dapat perlindungan hukum, dampaknya banyak sekali. Jadi model-model yang seperti itu harus disadari oleh masyarakat,” tegas Helmy.
Helmy mengaku kerab menerima curhat masyarakat yang melakukan nikah siri selama menjalani persidangan. Curhat yang diterimanya dalam penetapan sidang perkara nikah siri biasanya karena akses. Kemudian memang karena meraka tidak ingin mengurus, dan tiba-tiba kawin lari.
“Sudah namanya jatuh cinta kawin lari dari orang tua, kemudian tiba-tiba punya anak. Misalnya anaknya mau masuk pendidikan militer, kan harus ada buku nikah orang tua. Jadi memang harus ke Pengadilan Agama minta penetapan, kecuali yang non muslim, mereka harus ke Pengadilan Negeri,” pungkas Helmy.
Menurut Helmy, nikah siri atau nikah di bawah tangan tidak dianggap sebuah pernikahan, walaupun peristiwa itu terjadi. Mereka butuh penetapan dari pengadilan supaya pernikahan yang telah terjadi bisa dianggap oleh negara, dengan cara meminta penetepan dari hakim.
“Dan ini harus kita periksa dulu, apakah benar pernikahan itu telah terjadi, jangan-jangan mereka cuma mengaku-ngaku saja. Tapi yang jelas Pengadilan Agama menangani cerai-cerai orang yang pernikahan sudah tercatat. Memang pada tahun 2022 ini ada penurunan dibanding tahun 2021,” papar Helmy.
Lebih jauh Helmy melihat problem saat ini masih banyak masyarakat membutuhkan status kepastian daripada nikahnya digantungkan. Bahkan sudah menjalaninya cukup lama, tetapi tidak ingin bercerai, bahkan ada yang mengaku malas mengurusnya. Mereka akan mengurus segalanya ketika ada keperluan administrasi negara.
Sebagai Hakim Pengadilan Agama Natuna, Helmy berharap masyarakat tidak meremehkan tentang sebuah pernikahan. Oleh karena itu, setiap orang yang ingin menikah dimintanya untuk mengerti tujuan pernikahan.
“Orang nikah siri itu sebenarnya meremehkan pernikahan, karena dia tidak memikirkan bagaimana akibatnya. Jangan dikit-dikit langsung nikah karena cinta. Jadi harus melihat pernikahan itu tujuanya apa sih? Membangun rumah tangga, jangan sampai masalah suami istri, anak jadi korban,” pungkas Helmy. (KP).
Laporan : Dhitto