NATUNA – Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Natuna, Provinsi Kepulauan Riau, Hadisun, S.Ag, M.AP, mengatakan peran dinas pendidikan dan kebudayaan sangat penting dalam pengembangan sektor pariwisata di Kabupaten Natuna terutama untuk pelestarian kebudayaan lokal.
Menurut Hadisun, dalam pelesatarian tersebut terdapat warisan budaya kebendaan berbentuk bangunan, struktur, situs, kawasan serta benda-benda diduga sebagai cagar budaya. Termasuk warisan budaya bersifat non benda seperti tradisi lisan, manuskrip, adat istiadat, ritus, pengetahuan tradisional, teknologi tradisional, seni, bahasa, dan permainan rakyat juga harus dilestarikan.
Kata Hadisun hal tersebut sesuai dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang cagar budaya dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang pemajuan kebudayaan. Dalam hal ini terdapat empat pilar utama pelestarian kebudayaan yaitu pelindungan, pembinaan, pengembangan dan pemanfaatan mencakup berbagai aspek penyelenggaraan pendidikan hingga keterlibatan sektor pariwisata.
“Jika berbicara hubungan antara pariwisata dan kebudayaan maka pariwisata ada pada ranah pemanfaatan. Nantinya bagaimana kebudayaan dilestarikan dengan proses dilindungi, dibina, dikembangkan bermanfaat menjadi daya tarik perwisata berbasis budaya,” ungkap Hadisun kepada koranperbatasan.com di Ruang Bidang Kebudayaan Museum Natuna, Senin, 13 Januari 2024.
Hadisun memastikan hubungan pariwisata dan kebudayaan sangat penting sehingga tidak dapat dipisahkan sebagai symbiosis mutualisme atau hubungan saling membutukan dan menguntungkan. Kebudayaan tetap harus menjaga kelestarian budaya meskipun upaya semakin sulit setelah ketiadaan para maestro di bidang kesenian seperti kesenian mendu, lang-lang buana, hadrah, berdah dan jepen, maupun alu selesung.
“Pariwisata pasti butuh kebudayaan tanpa pariwisata kebudayaan juga harus tetap jalan, dilestarikan, dan dilindungi. Kalau tidak maka kerugiannya akan terasa 5 hingga 10 tahun kedepan ketika warisan budaya hilang dan musnah. Untuk mengembalikan keberadaannya sangat sulit. Contoh kesenian mendu dan topeng bunguran bila para maestro dan pelaku-pelaku utamanya sudah hilang, memainkan mementaskannya kembali akan sulit. Melatih, membina, membentuk pelaku budaya tersebut tidak mudah butuh proses waktu panjang, bulanan hingga tahunan,” beber Hadisun.
Hadisun menjelaskan pelestarian dan pembangunan kebudayaan adalah investasi jangka panjang memerlukan sumber daya manusia serta finansial besar. Proses pengembangan dan peningkatnnya tidak bisa instan. Peningkatan pariwisata akan terlihat dari kunjungan wisatawan yang memberikan perubahan bagi sektor ekonomi pelaku kebudayaan lokal. Hal ini memacu mereka mengembangkan dan melestarikan serta menjadikanya bermanfaat bagi masyarakat yang menikmati hasil dari kunjungan wisatawan tersebut.
“Pariwisata sendiri juga bermanfaat untuk kebudayaan ketika wisatawan datang akan disajikan pertunjukan seni dan budaya sanggar. Para senimannya juga akan dibayar lalu makin baiklah pertumbuhan kelompok-kelompok sanggar budaya. Dengan peningkatan kunjungan wisatawan dari luar seperti Malaysia, Singapura, Cina dan lainnya. Kita harus menjaga kelestarian kebudayaan jangan sampai ekosistem kebudayaan terkontaminasi secara negative, ini harus diupayakan,” jelas Hadisun.
Kata Hadisun pihaknya sudah melakukan pemetaan terhadap daerah-daerah memiliki potensi pelestarian budaya lokal salah satu dari empat pilar utama yaitu pelindungan. Juga melakukan upaya identifikasi terhadap objek-objek kebudayaan benda maupun non benda serta kelestarian adat tradisi yang ada di Natuna. Menjangkau keseluruh wilayah termasuk kecamatan paling utara yaitu Pulau Laut dan paling jauh Subi, Serasan, Serasan Timur, Pulau Panjang dan Midai.
“Sudah kita identifikasikan kekayaan warisan budaya seperti hadrah, jepen, kesenian gendang panjang, silat, adat istiadat dan beragam khazanah kekayaan pengetahuan tradisional masyarakat kita. Termasuk objek-objek cagar budaya mulai dari Pulau Laut sampai Pulau Bunguran Besar, Midai, Serasan, dan Subi semua ada pelaku dan penggiat budayanya,” tutur Hadisun.
Hadisun menilai pelesatarian budaya lokal perlu melibatkan masyarakat pelaku penggiat budaya. Salah satu contoh yang telah diupayakan adalah keterlibatan berbagai kelompok sanggar seni budaya dalam gelar budaya dendang piwang dilaksanakan secara berkala sejak awal tahun 2022 di alun-alun Pantai Piwang. Kegiatan melibatkan pelajar aktif di sanggar dan kelompok yang ada di sekolah-sekolah hingga pelaku penggiat budaya masyarakat seperti kesenian alu, topeng, hadrah, jepen. Termasuk para sastrawan sulu’, syair dan pemantun.
Kemudian lanjut Hadisun, pada tahun 2023 berkembang secara roadshow menjangkau desa-desa bahkan hampir merata mulai dari Kelarik, Binjai, Kelanga, Sepempang, Cemaga, Pulau Tiga, Pulau Tiga Barat, Bunguran Timur, dan Bunguran Timur Laut.
“Keterlibatan masyarakat desa paling dominan dalam event dendang piwang. Mereka bahkan mau gotong royong menyiapkan pembuatan panggung, tenda, kursi. Ada juga pelaku UMKM membuka warung jualan makanan tradisional seperti kernas, lempar, tabel dan berbagai kuliner tradisi lainnya. Jadi dendang piwang efeknya multiplayer disamping pelaku budaya ditampilkan mereka juga terlibat dalam kebersamaan,” papar Hadisun.
Pada tahun 2024 upaya pelestarian semakin diperluas menjangkau kecamatan yang jauh seperti Serasan, Subi, Pulau Laut, dan Midai. Hal ini dilakukan karena pementasan budaya adalah pelayanan dasar dan pelayanan minimal bagi para pelaku seni budaya yang harus dapat menjangkau pelaku budaya. Bukan hanya di pusat kota saja mendapatkan pelayanan tersebut.
“Semuanya berlaku sama pembangunan kebudayaan harus dijangkau secara merata tidak hanya yang ada di pusat kota saja mendapatkan fasilitasi pementasan kebudayaan. Teman-teman pelaku dan penggiat budaya di kecamatan yang jauh di perbatasan sana juga memerlukan perhatian pembinaan pementasan karya cipta budayanya,” ujar Hadisun.
Hadisun menceritakan pelestarian kebudayaan dengan cara memasukan kurikulum muatan lokal sektor pendidikan, bidang kebudayaan mempunyai program yang telah diatur oleh peraturan perundang-undangan. Dimana pihaknya bekerja tidak bisa melampaui kewenangam. Sejauh ini pihaknya melaksanakan apa yang memang sejalan dengan program kegiatan dan sub kegiatan sudah diatur oleh perundang-undangan berlaku.
“Penyusunan kurikulum muatan lokal ini sudah lama kita susun. Pada tahun 2015-2016 kita pernah menyusun kurikulum muatan lokal kebudayaan dan sempat diterapkan tetapi tidak berlanjut. Sebenarnya kurikulum muatan lokal ini menjadi tanggungjawab bidang-bidang seperti pendidikan dasar. Khususnya bidang yang terkait dengan kurikulum pendidikan karena berkaitan dengan teknis pembelajaran,” papar Hadisun.
Menurut Hadisun saat ini kewenangan pemerintah kabupaten hanya pada pendidikan dasar. Pendidikan menengah telah diambil alih pemerintah provinsi. Artinya bidang inilah yang lebih memiliki kompetensi menyusun kurikulum muatan lokal. Menyangkut kurikulum tentunya tetap bekerjasama dengan bidang kebudayaan yang berkaitan langsung pada materi-matari akan dicantumkan dalam kurikulum muatan lokal kebudayaan tersebut.
Sampai saat ini implementasi atas kurikulum muatan lokal tersebut belum ada kelanjutan. Upaya pembinaan seni budaya juga masih bergantungan kepada kebijakan disetiap sekolah. Program-program yang dapat dilaksankan hanya bersifat pembinaan bagi siswa-siswi.
“Seperti lomba-lomba memang rutin dilaksanakan, beberapa sekola juga sering koordinasi sama kita terkait teknis pembinaan kesenian tradisional music dan tari. Hanya saja dalam bentuk penerapan kurikulum muatan lokal belum berjalan,” pungkas Hadisun.
Hadisun berharap semua pihak sama-sama saling menyadari pentingnya menjaga kelestarian warisan budaya baik benda maupun non benda, sebelum semuanya punah. Jika sudah hilang pasti akan sulit menghadirkan kembali. Sebab kebudayaan diwariskan dari orang ke orang. Ketika para maestronya sudah tidak ada lagi pasti akan sulit mencari menggalinya kembali.
“Ayo sama-sama kita cintai dan kita jaga karena kebudayaan ini memberikan dampak besar sendi-sendi kehidupan. Ketika nilai budaya terjaga akan berpengaruh juga terhadap moral, tingkah laku, adab, dan budi pekerti,” imbuhnya.
Hadisun mencontohkan dimana masyarakat yang berbudaya tentu tidak akan membuang sampah sembarangan. Generasi muda yang berbudaya dan beradab tidak akan ugal-ugalan. Mereka pasti memiliki sopan santun dalam tingkah dan laku. Berdampak pada kehidupan sosial, ketahanan budaya juga pariwisata.
“Kami berharap kedepan kebudayaan tidak lagi bidang, tapi menjadi dinas tidak berpindah-pindah dari pariwisata ke pendidikan dan sebaliknya. Agar kebudayaan bisa mandiri fokus mengurus beragam kekayaan warisan budaya kebendaan dan warisan budaya tak benda. Agar dapat kita manfaatkan untuk kepariwisataan dan ketahanan sosial. Kebudayaan harus dibina, dilindungi, dan dikembangkan dengan baik,” tutup Hadisun. (KP).
Laporan : Dhitto