Asap yang mengepul dari dapur rakyat dulunya jadi simbol sederhana kesejahteraan, masih ada nasi yang bisa dimasak, masih ada keluarga yang bisa diberi makan. Kini makin banyak dapur yang sunyi. Bukan karena rakyat menyerah, tapi karena mereka dipaksa bertahan tanpa cukup pegangan.
DI TENGAH gempuran kenaikan harga dan menyusutnya subsidi, banyak rumah tangga tak lagi mampu memastikan tiga kali makan dalam sehari.
Sayur menjadi lauk utama, daging hanya hadir saat lebaran, dan beras mulai diganti dengan alternatif yang lebih murah. Ini bukan cerita ekstrem, tapi realitas harian yang dihadapi oleh jutaan keluarga Indonesia.
Kondisi ini memperlihatkan bahwa negara belum benar-benar hadir di titik paling penting, dapur rakyat. Kita terlalu sering mendengar jargon-jargon pembangunan dari atas, tapi lupa menengok apa yang terjadi di dalam rumah-rumah kecil di pinggiran kota maupun desa terpencil.
Jika negara benar hadir, maka tidak mungkin rakyat terus menjerit karena urusan makan saja menjadi perjuangan.