Dalam wacana ekonomi nasional, istilah efisiensi kerap digunakan untuk membenarkan pemangkasan anggaran, pengurangan subsidi, hingga rasionalisasi program sosial. Namun di luar ruang konferensi pers yang terjadi justru sebaliknya, rakyat kecil dipaksa menjadi lebih hemat jauh sebelum negara mengatur neraca fiskalnya.
KATA “EFISIENSI” terdengar positif di telinga para penyusun kebijakan. Ia memberi kesan pengelolaan yang lebih rapi, penggunaan sumber daya yang optimal, dan pengendalian belanja negara.
Namun, dalam praktiknya, efisiensi sering kali berubah menjadi justifikasi pemangkasan yang membebani warga, terutama kelompok rentan yang selama ini bergantung pada keberpihakan negara.
Resiliensi warga menjadi kata kunci yang mencuat. Rumah tangga dengan penghasilan terbatas sudah lama hidup dalam kondisi hemat: mengatur uang belanja harian, menghindari utang, bahkan mengganti protein hewani dengan sumber nabati lebih murah. Mereka telah berhemat jauh sebelum negara mengucapkan kata efisiensi.
Jika ditilik dari struktur belanja negara, penghematan sering kali menyasar pos-pos sosial, bantuan langsung tunai, subsidi energi, hingga anggaran program penanggulangan kemiskinan. Padahal, di saat yang sama, proyek-proyek pembangunan strategis tetap berjalan dengan angka triliunan.