Di warung, ibu-ibu mulai berhitung bukan soal gizi, tapi soal cukup atau tidak cukup. Harga kebutuhan pokok terus naik, sementara pendapatan tetap, dan bantuan hanya datang sebagai janji. Di tengah tekanan hidup yang semakin berat, pertanyaan paling mendasar pun mengemuka siapa sebenarnya yang mendengar suara rakyat?
SETIAP MINGGU harga kebutuhan pokok merangkak naik tanpa aba-aba. Tapi solusi dari pemerintah tak kunjung turun. Sementara rakyat terus menghitung ulang isi dompet, pejabat sibuk menyusun narasi yang tak menyentuh realita.
Pertanyaannya siapa sebenarnya yang mendengar keluhan rakyat?
Di pasar-pasar tradisional, para ibu menyesuaikan belanja bukan berdasarkan kebutuhan, tapi berdasarkan harga. Satu kilogram beras diganti setengah. Sayur-mayur harus berbagi tempat dengan mie instan. Bahkan daging atau telur jadi kemewahan yang hanya bisa diimpikan di akhir bulan.
Sementara itu, pemerintah berbicara soal pertumbuhan ekonomi, stabilitas fiskal, dan angka inflasi yang katanya masih “terkendali”. Tapi rakyat tidak hidup di grafik dan laporan, mereka hidup di dapur yang semakin sunyi. Dan setiap kali harga naik, tak ada instrumen perlindungan yang benar-benar bekerja.