Di tengah gempuran kenaikan harga kebutuhan pokok dan menyusutnya bantuan sosial dari pemerintah, rakyat kecil kembali dipaksa beradaptasi. Bukan dengan kemewahan pilihan, melainkan dengan realitas pahit bertahan hidup dengan penghasilan yang tak ikut naik, sementara beban justru terus bertambah.
SETIAP bulan, kabar buruk datang tanpa jeda, harga beras naik, tarif listrik disesuaikan, bantuan sosial dipersempit, dan subsidi energi dipangkas. Sementara itu, penghasilan mayoritas rakyat stagnan.
Ironi ini menjelma dalam keseharian: piring makan yang makin sederhana, belanja bulanan yang makin irit, dan mimpi hidup layak yang makin menjauh.
Situasi ini memaksa rakyat menjadi “ahli bertahan hidup”. Mereka harus pandai memutar otak agar pengeluaran tak melebihi pemasukan. Ibu rumah tangga harus lebih teliti menyusun daftar belanja. Pekerja informal harus mencari tambahan di luar jam kerja. Bahkan anak-anak pun mulai memahami bahwa jajannya tak bisa seperti dulu.
Namun, sampai kapan strategi bertahan ini bisa diandalkan tanpa dukungan nyata dari negara?