Di balik narasi efisiensi anggaran yang digencarkan pemerintah, ada kenyataan pahit yang sulit dibantah yakni kesenjangan struktural masih mengakar kuat di tubuh ekonomi Indonesia. Kombinasi antara penghematan fiskal dan ketimpangan sosial ini bukan hanya menciptakan tekanan ekonomi, tetapi juga memperbesar risiko keretakan sosial.
KEBIJAKAN efisiensi anggaran kerap didorong atas nama stabilitas fiskal dan disiplin belanja negara. Namun dalam praktiknya, penghematan tersebut cenderung berdampak tidak merata. Ketika pemotongan anggaran dilakukan tanpa mempertimbangkan kondisi sosial-ekonomi masyarakat yang timpang, justru rakyat kecil yang paling dulu merasakan dampaknya.
Kesenjangan struktural di Indonesia telah menjadi isu menahun. Akses terhadap pendidikan berkualitas, layanan kesehatan, dan lapangan kerja masih sangat bergantung pada lokasi geografis dan status sosial ekonomi. Di tengah kondisi ini, kebijakan efisiensi yang tidak diarahkan secara adil justru memperkuat ketimpangan itu sendiri.
Alih-alih memotong anggaran yang tidak produktif, pemangkasan sering kali menyasar subsidi energi, bantuan sosial, hingga program pemberdayaan ekonomi rakyat. Ironisnya, pos-pos itulah yang menjadi penyangga kehidupan bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Tanpa mereka, tekanan biaya hidup akan semakin berat, dan kemampuan adaptasi ekonomi menjadi lemah.
Ketika subsidi dicabut atau dikurangi, harga kebutuhan pokok melonjak, dan layanan publik melesu. Hal ini tidak hanya menekan daya beli, tetapi juga menurunkan kualitas hidup masyarakat di lapisan bawah. Sementara di sisi lain, kelompok ekonomi kuat relatif tidak terdampak secara signifikan oleh kebijakan semacam ini.