Ketika negara mulai menarik rem anggaran, suara pertama yang menghilang bukanlah dari ruang sidang, melainkan dari pasar, warung, dan dapur rakyat. Program-program yang dihentikan demi efisiensi fiskal bukan sekadar baris data dalam laporan keuangan, tetapi denyut penghidupan bagi jutaan warga di lapisan terbawah ekonomi.
EFISIENSI anggaran telah menjadi jargon populer dalam kebijakan fiskal nasional. Namun, pemangkasan program publik seperti bantuan usaha mikro, subsidi produktif, hingga proyek infrastruktur desa justru menghantam ekonomi akar rumput secara langsung. Banyak keluarga yang menggantungkan harapan pada rotasi uang dari belanja negara kini kehilangan pijakan.
Dalam ekonomi pembangunan, ada istilah “demand-side stimulus”, penggerak ekonomi yang berasal dari konsumsi dan belanja pemerintah. Saat program sosial dan proyek layanan dihentikan, roda ekonomi lokal pun ikut melambat. Warung kehilangan pembeli, tukang bangunan kehilangan proyek, dan petani kehilangan pasar. Semua saling terhubung.
Data menunjukkan bahwa sebagian besar belanja pemerintah selama ini turut menopang konsumsi rumah tangga di desa-desa dan kawasan tertinggal. Sayangnya, saat program dihentikan, tidak ada skema transisi yang memadai. Tidak ada strategi mitigasi. Yang ada hanyalah instruksi efisiensi tanpa perhitungan dampak sosialnya.