Narasi penghematan anggaran negara terus digaungkan pemerintah, seolah menjadi solusi utama atas tekanan fiskal yang semakin membesar. Namun di balik jargon efisiensi itu, diam-diam ada kelompok yang menanggung beban terberat, warga kecil yang setiap harinya sudah bergulat dengan harga kebutuhan pokok yang terus melonjak.
PENGHEMATAN anggaran sering kali dibingkai sebagai langkah bijak demi menjaga kesehatan fiskal negara. Namun dalam praktiknya, kebijakan ini tidak pernah sepenuhnya netral. Ketika pemangkasan menyasar sektor-sektor vital seperti subsidi energi, bantuan langsung tunai, dan program pemberdayaan ekonomi masyarakat miskin, maka rakyat kecillah yang justru menanggung biaya dari apa yang disebut efisiensi itu.
Bagi sebagian besar rumah tangga di lapisan bawah, keberadaan subsidi bukanlah kemewahan, melainkan penyangga hidup. Ketika harga BBM naik karena subsidi dipangkas, seluruh rantai harga pangan pun ikut melonjak. Ketika anggaran kesehatan dan pendidikan disesuaikan, akses layanan dasar pun menjadi semakin sempit. Ironisnya, kelompok elite dengan penghasilan stabil dan proteksi ekonomi justru tak terlalu merasakan dampaknya.
Efisiensi seharusnya berangkat dari evaluasi menyeluruh atas alokasi anggaran yang tidak produktif atau sarat kepentingan politik. Namun realitanya, penghematan lebih sering menyentuh belanja yang berkaitan langsung dengan kebutuhan rakyat. Belanja infrastruktur besar dan proyek prestisius kerap tetap jalan, sementara anggaran untuk gizi anak, subsidi petani, dan akses pendidikan justru dikurangi.