Kepemimpinan Dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Sektor Publik

Terbit: oleh -995 Dilihat
Herman Mahasiswa STIE Jurusan Manajemen

Pengembangan Sumber Daya Manusia Aparatur di Indonesia

ASN yang handal dan berkualitas dalam suatu organisasi sektor publik dibangun dan dipersiapkan sejak awal keberadaannya dalam organisasi. Perencanaan SDM sejak awal ini dinilai penting. Perencanaan SDM aparatur harus dilaksanakan dengan baik, salah satunya melalui proses pengembangan kompetensi. Pengembangan kompetensi ASN, sebagaimana tercantum dalam Undang Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, diselenggarakan melalui pendidikan dan pelatihan. Pengembangan kompetensi melalui pendidikan dilaksanakan melalui pendidikan formal dengan mekanisme tugas belajar atau ijin belajar. Pengembangan kompetensi melalui pelatihan dilaksanakan melalui pelatihan secara klasikal maupun non klasikal. ASN terdiri atas Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Pengembangan kompetensi bagi PNS maupun PPPK dilaksanakan secara terbuka dan mempunyai kesempatan yang sama untuk diikutsertakan dalam pengembangan kompetensi. Namun dalam            peraturan         perundang- undangannya terdapat perbedaan mengenai pengembangan kompetensi antara PNS dan PPPK. Pengembangan kompetensi PNS minimal dilakukan selama 20 Jam Pelatihan (JP) per tahun, sementara untuk PPPK dilakukan maksimal 24 JP per tahun. Untuk merespon persaingan global yang masuk dalam ranah digital, SDM di sektor publik dituntut untuk dapat lebih adaptif agar kinerja pelayanan pemerintah lebih optimal. Pemerintah melalui Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi menerapkan Human Capital Management Strategy menuju Smart ASN 2024. Smart ASN mempunyai profil yadipersiapkan untuk memasuki era disrupsi yang membutuhkan kemampuan adaptif dalam merespon tantangan global yang semakin kompleks. Profil Smart ASN terdiri dari integritas, nasionalisme, profesionalisme, berwawasan global, menguasai IT dan bahasa asing, berjiwa hospitality, berjiwa entrepreneurship, dan memiliki jaringan luas.

Presiden Republik Indonesia meluncurkan Core Values “BerAKHLAK” dan Employer Branding Aparatur Sipil Negara (ASN) “Bangga Melayani Bangsa” pada tanggal 27 Juli 2021 melalui Surat Edaran Menteri PANRB Nomor             20 Tahun 2021 Tentang Implementasi Core Values dan Employer Branding ASN. Peluncuran Core Values dimaksud memiliki tujuan untuk menyeragamkan nilai-nilai dasar (core values) untuk keseluruhan ASN di Indonesia yang mengarah pada pembentukan budaya kerja ASN yang profesional. Core values BerAKHLAK adalah singkatan dari Berorientasi Pelayanan, Akuntabel, Kompeten, Harmonis, Loyal, Adaptif, dan Kolaboratif.              Penetapan      core values memberikan penguatan pada budaya kerja ASN yang profesional serta memudahkan     ASN     untuk     proses penyesuaian saat melakukan mobilitas antar instansi pemerintah. Peran ASN sebagai perekat dan pemersatu bangsa pun dapat semakin diperkuat dengan penerapan core values ini secara umum (www.menpan.go.id/site/beritaterkini/p residen-jokowi-luncurkan-berakhlak- untuk-percepatan-transformasi-asn).

Tuntutan untuk transformasi budaya kerja ASN demi terwujudnya pelayanan publik yang profesional juga turut mendorong inovas dalam pengembangan sumber daya manusia aparatur di Indonesia. Pembangunan corporate university menjadi salah satu tren yang sedang dikembangkan di berbagai instansi pemerintah di Indonesia untuk mencapai tujuan birokrasi handal. Konsep corporate university mengubah penyelenggaraan pelatihan konvensional menjadi penyelenggaraan pengembangan sumber daya manusia berbasis human capital management. Skema pengembangan sumber daya manusia yang ada dalam corporate university memfungsikan seluruh instansi pemerintah sebagai lembaga pembelajaran dengan memberikan   variasi metode pembelajaran pengembangan kompetensi yang progresif edukatif, seperti e-learning,coaching, mentoring dan on the job training. Corporate University menawarkan jargon belajar di mana saja, kapan saja, dan siapa saja melalui proses belajar yang dinamis (Fauziah, 2019).

Kepemimpinan Dalam Pengembangan Sumber Daya Manusia Aparatur di Indonesia

Menurut Suryanto (2021) terdapat tiga komponen penting dalam kerangka kebijakan pengembangan kompetensi aparatur di Indonesia saat ini, yaitu: (1). learning management system, (2). pengembangan bantuan komunikasi secara terintegrasi, pengembangan kompetensi widyaiswara dan (3). kebijakan akreditasi untuk mendukung organisasi pelatihan. Jika menilik satu per satu aspek dimaksud, maka poin pertama dapat dikaitkan dengan penggunaan teknologi informasi yang cukup masif terutama saat pandemi Covid-19 yang membatasi ruang gerak seluruh masyarakat. Poin kedua mengenai pengembangan bantuan komunikasi secara terintegrasi tentunya mengarah pada perubahan tren bantuan komunikasi sektor publik di Indonesia yang mulai berlomba untuk membangun corporate university. Dan selanjutnya untuk poin ketiga mengenai pelaksanaan akreditasi pelatihan berkaitan dengan penerapan budaya mutu dalam organisasi pengembangan sumber daya manusia.

Learning Management System (LMS) adalah teknologi berbasis web atau aplikasi piranti lunak yang digunakan untuk merencanakan, melaksanakan, dan menilai proses pembelajaran (Amer dalam Setiawati, 2021). Kehadiran LMS dalam proses pembelajaran pelatihan merupakan satu pertanda bahwa muncul perhatian sangat besar terhadap solusi teknologi informasi dalam pengembangan kompetensi ASN. Pemanfaatan teknologi informasi baik dalam hal sistem informasi maupun sistem manajemen pembelajaran akan menentukan keberhasilan dari proses transformasi pengembangan kompetensi ASN (Suryanto et al, 2021).

Vlok (2019) menyimpulkan dalam penelitiannya bahwa kompetensi kepemimpinan dalam mendorong inovasi tekologi informasi dapat berupa hal-hal sebagai berikut:

  1. Kompetensi pemimpin integratif Pemimpin inovasi teknologi   yang sukses      memiliki  kemampuan integratif  yang  luar biasa dalam menyatukan elemen teknologi, bisnis, dan manusia dalam keberhasilan inovasi Perilaku pemimpinyang mendorong inovasi teknologi dapat dilihat dari pemimpin yang memimpin dengan memberi contoh sebagai panutan, mengembangkan visi yang menginspirasi secara intelektual, melibatkan, memberdayakan dan mendukung staf, mengapresiasi inovasi, memiliki kerangka kerja perencanaan inovasi.
  2. Kompetensi keterhubungan teknologi

Para pemimpin inovasi teknologi selalu berhubungan dengan perubahan teknologi yang dapat mempengaruhi apa yang mereka lakukan atau rencanakan. Para pemimpin ini memiliki saluran mereka sendiri yang memberi mereka berita, dan memiliki jaringan pribadi untuk mengakses para ahli dalam bidang teknologi informasi. Pemimpin ini sangat tanggap terhadap tren terbaru teknologi, dan selalu dapat membentuk model alternatif untuk menghadapi perubaha teknologi di masa depan.

  1. Kompetensi untuk mencapai keselarasan antar pemangku kepentingan

Para pemimpin inovasi teknologi harus sering berinteraksi dengan orang-orang yang mempengaruhi

keberhasilan inovasi teknologi secara positif atau negatif. Keberhasilan pemimpin inovasi teknologi bergantung pada interaksi untuk memahami kepentingan pemangku kepentingan mereka yang akan mengakomodasi eksplorasi ide-ide baru dan membangun citra yang menarik dari inovasi masa depan. Para pemimpin ini kompeten dalam komunikasi mereka, dalam mendapatkan dukungan dari pemangku kepentingan, dan dalam mengelola kemungkinan konflik di antara mereka.

  1. Kompetensi untuk membebaskan pola pikir

Para pemimpin teknologi berfokus pada pendobrakan untuk berfikir di luar kebiasaan, dan untuk secara kreatif mengeksplorasi paradigma baru yang dimungkinkan oleh kemajuan atau pencapaian ilmu pengetahuan dan teknologi. Perilaku yang mendasari ini menunjukkan bahwa pemimpin inovasi teknologi yang sukses dapat meningkatkan pemikiran dalam tim melampaui apa yang dapat dicapai dengan praktik ide tradisional. Para pemimpin ini berhasil membangun energi kreatif yang berfokus pada pemikiran solusi integratif dan peningkatan nilai dengan membingkai ulang tantangan dan dengan memprovokasi pemikiran baru dalam ruang yang kondusif.

  1. Kompetensi penciptaan nilai

Para pemimpin inovasi teknologi yang sukses mampu membimbing orang lain untuk mengubah pemikiran kreatif mereka untuk terwujud. Beberapa pemimpin inovasi teknologi yang sukses menggabungkan penciptaan nilai dan kompetensi dalam membebaskan pola pikir untuk berkontribusi secara simultan pada inovasi teknologi. Pemimpin inovasi teknologi yang sukses tampaknya meminimalkan risiko dan  memaksimalkan pembelajaran dengan bekerja secara intensif dengan pelanggan untuk memahami kebutuhan terpendam mereka, bekerja secara kolaboratif dalam tim lintas fungsi, dan melakukan eksperimen pemasaran berbiaya rendah untuk menghasilkan inovasi teknologi yang sukses yang dirasakan pelanggan untuk diciptakan. nilai dalam hal potensi pendapatan.

  1. Kompetensi realisasi nilai

Para pemimpin inovasi teknologi yang sukses mampu memfasilitasi adopsi atau penyebaran teknologi baru sehingga manfaat dari pekerjaan mereka terwujud sesuai dengan tujuan strategis mereka. Para pemimpin cenderung menjadikan inovasi teknologi sebagai tanggung jawab mereka yang terlibat dalam sistem inovasi untuk menyampaikan apa yang dianggap sebagai nilai oleh penerima, dan mereka akan menerapkan dan menskalakan implementasi untuk memaksimalkan realisasi nilai. Para pemimpin ini juga menggunakan mekanisme dukungan inovasi teknologi mereka untuk mengidentifikasi peluang baru bagi inovasi masa depan.

Pengembangan kompetensi ASN yang terintegrasi dituangkan dalam pengembangan Corporate University (Corpu) yang didefinisikan sebagai alat atau fungsi strategis organisasi dalam mengintegrasikan sumber daya untuk mencapai tujuan dan misi organisasi dengan fokus pengembangan dan pembelajaran, karier, peluang pelatihan, dan kepemimpinan (Suryanto, 2021). Maria (2021) menjelaskan bahwa peran Corporate University harus dapat mengarah kepada 3C, yaitu Collaboration, Change, dan Complexity. Collaboration atau kolaborasi merupakan bentuk kompetensi baru yang sangat fundamental dan Corpu dituntut mampu  membangun budaya pengembangan dan pembelajaran yang kolaboratif. Change atau perubahan mengarah pada peran Corpu yang dititikberatkan pada kemampuan merespon perubahan,   serta mempersiapkan individu menghadapi perubahan tersebut. Complexity atau kompleksitas yang terjadi dapat diurai dengan penerapan konsep Corpu pada lembaga pengembangan SDM instansi dengan metode yang variatif dan pemanfaatan sumber daya yang ada. Keseluruhan peran Corpu yang telah disebutkan di atas harus juga diadopsi dalam konteks ASN Corpu. Collaboration, Change, dan Complexity memiliki strategi masing-masing untuk dapat mengejawantahkan peran tersebut, untuk menghasilkan dampak yang maksimal. Collaboration dapat dicapai dengan model pembelajaran 70:20:10, yang menekankan proses kolaborasi dari berbagai stakeholders. Kemudian, C yang kedua, yaitu change bisa merujuk pada pengimplementasian dynamic curriculum, yang nantinya mengarah pada pembentukan budaya learning agility dalam ASN Corpu. Terakhir, C yang ketiga, yaitu complexity dapat diatasi melalui pemanfaatan inovasi teknologi informasi sebagai metode pembelajaran pada ASN Corpu. O’leary (dalam Wargadinata, 2016 menjelaskan delapan syarat yang dapat diterapkan untuk kepemimpinan kolaboratif di tingkat daerah, yaitu sebagai berikut:

  1. Kepemimpinan kolaboratif harus diarahkan oleh visi yang jelas yang diterjemahkan dalam sekumpulan tujuan yang ingin dicapai dan bisa menjadikannya sebagai tujuan dan sasaran yang juga ingin dicapai oleh seluruh stakeholders. Kesamaan tujuan akan memperkuat kapasitas pemerintah daerah karena setiap tindakan akan didukung secara politis oleh segenap masyarakat dan sekaligus dididukung oleh pegawai pemerintah dan stakeholders lainnya.
  2. Kepemimpinan kolaboratif membutuhkan inovasi, kreativitas dan fleksibilitas untuk meningkatkan kapasitas pemerintah daerah. Kepala daerah memiliki kemampuan untuk mendorong seluruh stakeholders agar memiliki inovasi dan kreatif dalam rangka pengembangan ekonomi lokal. Mekanisme yang dibangun bisa berupa kemitraan dengan pelaku bisnis lokal, menggandeng perguruan tinggi lokal serta membangun koalisi dengan masyarakat
  3. Kepemimpinan kolaboratif harus memiliki komitmen kuat untuk menciptakan suasana kondusif atas manajemen sumber manusia yang menggunakan prinsip merit sistem dan mengutamakan penilaian kinerja setiap individu secara Kepala daerah haus menyadari bahwa keberhasilan kolaborasi sangat ditentukan oleh kapasitas SDM yang terlibat di dalamnya sehingga mampu mewujudkan tujuan yang ingin dicapai. SDM yang dibutuhkan dalam kolaborasi adalah SDM yang profesional, memiliki kompetensi dan inovatif.
  4. Kepemimpinan kolaboratif mampu meningkatkan keterbukaan di tingkat lokal, kepemimpinan kolaboratif perlu menciptakan lalu lintas dan pertukaran informasi         dan pengetahuan dari unit yang berbeda yang dapat diakses oleh semua pihak yang Hubungan antar organisasi dalam mekanisme kolaborasi akan mendorong keterbukaan penyelenggaraan pemerintahan melalui proses yang terintegrasi, merampingkan struktur organisasi dan meningkatkan kualitas pelayanan.
  5. Kepemimpinan kolaboratif mampu menciptakan kolaborasi vertikal dan Kepemimpinan kolaboratif harus bisa mendorong semua pihak terlibat sebagai upaya untuk meningkatkan efektivitas, mencegah terjadinya duplikasi kegiatan/program.              Melibatkan organisasi vertikal dan horizontal mampu mengatasi masalah-masalah yang sensitif, seperti: pajak-restribusi pungutan daerah, sistem audit dan manajemen pegawai pemerintah daerah.
  6. Kepemimpinan kolaboratif harus mampu meyakinkan seluruh PNS di tingkat lokal untuk memahami dengan jelas pentingnya melakukan kolaborasi lintas sektor/interdivisional di lingkungan pemda maupun kolaborasi lintas batas/intergovernmental sebagai upaya untuk meningkatkan kapasitas masing-masing.

Selain  itu kepemimpinan kolaboratif harus peka terhadap nilai lokal, mampu bekerjasama dengan mass media lokal sebagai upaya untuk meningkatkan pengertian tentang implementasi prinsip-prinsip tata kelolapemerintahan di tingkat lokal/local governance. Pemimpin kolaboratif harus mampu meningkatkan keterbukaan, partisipasi warga, akuntabilitas dan integritas. Menciptakan kemitraan/partnership dan berkolaborasi dengan LSM lokal, para sukarelawan dan masyarakat sehingga pemerintah daerah dapat menghadapi keterbatasan sumber daya. Kepemimpinan kolaboratif harus menyampaikan pencapaian kinerja organisasi dan individu secara terbuka sebagai umpan balik agar pencapaian kinerja akan lebih baik di masa datang.

Respon terhadap perubahan mengharuskan seluruh komponen di dalam organisasi menjadi gesit (agile) dan adaptif. Model kepemimpinan adaptif dibentuk melalui 4 aspek (Fridayani, 2021), yaitu sebagai berikut :

  1. Aspek antisipasi, meliputi tiga sikap. Pertama sigap menghadapi peluang, dalam era adaptasi kebiasaan baru, pemimpin harus mampu melihat dengan jeli peluang yang muncul berkaitan dengan tujuan organisasi yang dipimpinnya, hal ini dapat dilakukan dengan memperbanyak referensi dan analisis mengenai kondisi internal dan ekternal organisasi dan memetakannya dalam analisis
  2. Kedua, dalam pengambilan keputusan pemimpin harus memilih yang berorientasi pada aksi nyata, terlebih situasi pandemi seperti saat ini membutuhkan respon yang cepat, maka sebaiknya        pemimpin menghindari pengambilan keputusan yang masih bersifat jangka panjang dan kurang implementatif bagi keberlangsungan Ketiga, pemimpin harus menjadi arsitektur atau perancang dari teknologi yang berkembang baik secara sistem maupun alatnya, dalam hal ini pemimpin seharusnya memiliki kemampuan untuk memberdayakan kemajuan teknologi dalam menunjang efektifitas dan efisiensi organisasi, contoh nyata yang dapat dilakukan adalah menyederhanakan proses administrasi, alur pelaporan, meminimalisasi pertemuan dalam forum, dengan memanfaatkan teknologi.
  3. Aspek artikulasi dalam kepemimpinan adaptif dilaksanakan dengan memperjelas peran masing- masing anggota organisasi sehingga dapat dipertanggungjawabkan ,contoh dalam hal ini adalah kebijakan work from home yang diterapkan oleh pemerintah di beberapa waktu dalam satu tahun terakhir saat pandemi Covid-19 sedang Kebijakan tersebut dapat dikaji dan kemudian dipertimbangkan apabila dapat terus dijalankan, misalnya dengan menerapkan metode hybrid, yaitu menggabungkan metode work from anywhere dan work at office. Dengan demikian maka mobilitas peran masing-masing individu dapat dijalankan dan pemantauannya dapat memanfaatkan pengembangan teknologi. Sistem kerja seperti ini dapat terus dikembangkan sesuai dengan tujuan organisasi, yang pada akhirnya untuk menunjang keberlanjutan organisasi dalam rangka mempersiapkan pemimpin di masa yang akan datang.
  4. Aspek adaptasi diimplementasikan dengan mengalokasikan sumber daya secara fleksibel, hal ini sangat relevan dilakukan dalam adaptasi kebiasaan Contohnya      dalam mengalokasikan anggaran biaya, jika sebelum pandemi telah dialokasikan anggaran untuk mengadakan pertemuan secara daring maka dana tersebut dapat dialihkan dengan memberikan subsidi pulsa bagi karyawan serta pengembangan infrastruktur teknologi untuk lebih menunjang remote working.

Sebaliknya jika organisasi merupakan aspek bisnis yang terdampak cukup signifikan karena adanya pandemi, maka sebaiknya pemimpin mengambil keputusan untuk mengalokasikan sumber dayanya dengan lebih lentur, termasuk dalam hal ini adalah pengaturan sumber daya manusia. Senada pada paragraf di atas, keputusan pengalokasian sumber daya di masa pandemi, sebaiknya dikaji ulang dan dianalisis kembali, apakah hal itu akan lebih menguntungkan organisasi jika tetap dijalankan. Dengan demikian maka akan terjadi proses pembelajaran yang berkelanjutan dalam organisasi, dalam konteks ini pemimpin dapat menerapkan kebersamaan dan menumbuhkan rasa melayani bagi organisasi dan anggotanya.

Dalam aspek akuntabilitas, pemimpin adaptif harus menerbitkan panduan strategis yang dapat ditindaklanjuti, hal ini sangat penting, terutama di jaman adaptasi kebiasaan baru, dimana perubahan dapat terjadi secara cepat, anggota organisasi membutuhkan arahan yang secara sistematis memberikan panduan untuk dapat terus bekerja dan menjalankan kebijakan pemerintahan dalam masa pandemi. Oleh karena itu, pemimpin juga wajib memberikan transparansi informasi kepada para anggotanya, sehingga akan tercipta suasana yang aman bagi organisasi. Dengan demikian maka organisasi akan tetap terus berjalan di tengah situasi yang penuh ketidakpastian. Kebijakan akreditasi lembaga pelatihan dan program pelatihan menjadi tolak ukur pengendalian mutu penyelenggaraan pelatihan di sebuah organisasi penyelenggara pelatihan (*).

 

Biodata penulis

Nama : Herman

Nim     : 21612219

Jurusan: Manajemen

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *