Kritik Sastra Puisi “Gadis Peminta-minta” karya Toto Sudarto Bachtiar

Terbit: oleh -86 Dilihat
Riri Adiska Rahmi

GADIS PEMINTA-MINTA Oleh Toto Sudarto Bachtiar

Setiap kali bertemu, gadis kecil berkaleng kecil
Senyummu terlalu kekal untuk kenal duka
Tengadah padaku, pada bulan merah jambu
Tapi kotaku jadi hilang, tanpa jiwa

Ingin aku ikut, gadis kecil berkaleng kecil
Pulang ke bawah jembatan yang melulur sosok
Hidup dari kehidupan angan-angan yang gemerlapan
Gembira dari kemayaan riang

Duniamu yang lebih tinggi dari menara katedral
Melintas-lintas di atas air kotor, tapi yang begitu kau hafal
Jiwa begitu murni, terlalu murni
Untuk bisa membagi dukaku

Kalau kau mati, gadis kecil berkaleng kecil
Bulan di atas itu, tak ada yang punya
Dan kotaku, ah kotaku
Hidupnya tak lagi punya tanda

“Gadis Peminta-minta” adalah sebuah puisi karya Toto Sudarto Bachtiar, yang menunjukkan keharuan dan kasih sayang terhadap kehidupan seorang pengemis kecil di jalanan Jakarta. Mengemis digambarkan sebagai jiwa kota Jakarta yang penuh pesona metropolitan, dan mengemis seolah menjadi tanda kehidupan urban. Pengemis diberikan harkat dan martabat yang sama dengan orang lain, hanya saja hidupnya berbeda dan tertindas.

Gadis kecil itu menjadi simbol dan identitas Ibukota yang penuh kehidupan gemilang. Penderitaan pengemis cilik ini seakan melengkapi kemewahan Ibukota Jakarta, bahwa di balik gemerlap dunia juga ada kehidupan kelam. Penyair mengatakan bahwa kehadiran pengemis ini sangat penting, meskipun penyair mengatakan bahwa kehidupan di Jakarta akan menjadi sepi dan kehilangan jati dirinya ketika pengemis itu tiada.

Setiap kali bertemu, gadis kecil berkaleng kecil
Senyummu terlalu kekal untuk kenal duka
Tengadah padaku, pada bulan merah jambu
Tapi kotaku jadi hilang, tanpa jiwa

Pada bait puisi di atas menggambarkan seorang gadis membawa sebuah kaleng, dia tersenyum dan mengulurkan sebuah kaleng kepada orang-orang di kota. Seorang gadis mengemis dengan kaleng kecil di tangannya. Dengan kata lain, tidak peduli seberapa banyak gadis itu memohon, keterampilan dan pengalaman hidupnya masih kecil, jadi dia tidak akan mendapatkan banyak keuntungan dari itu. Ini ditunjukkan dengan kaleng kecil di tangannya.

“Senyummu terlalu kekal untuk kenal duka”, gadis pengemis menunjukkan bahwa dia selalu tersenyum, bahkan ketika dia sedang sedih. Gadis pengemis itu selalu tersenyum dan tidak tahu dia sedang berduka.

“Tengadah padaku, pada bulan merah jambu”, baris dari bait tersebut menandakan bahwa gadis itu sedang melakukan aktivitas meminta-minta dan meminta pada orang-orang yang masih memiliki cinta kasih kepada sesama. “Tapi kotaku jadi hilang, tanpa jiwa”, banyak dari orang-orang ini menunjukkan bahwa mereka telah kehilangan hati nurani untuk mencintai dan memperhatikan orang lain.

Ingin aku ikut, gadis kecil berkaleng kecil
Pulang ke bawah jembatan yang melulur sosok
Hidup dari kehidupan angan-angan yang gemerlapan
Gembira dari kemayaan riang

Pada bait puisi di atas menggambarkan seseorang yang ditanya oleh gadis itu merasa kasihan dan ingin berjalan pulang dengan gadis pengemis itu menyeberangi jembatan dan kehidupan gadis kecil pengemis sepanjang waktu penuh dengan mimpi dan kebahagiaan kosong, dia hidup tanpa apa-apa.

Duniamu yang lebih tinggi dari menara katedral
Melintas-lintas di atas air kotor, tapi yang begitu kau hafal
Jiwa begitu murni, terlalu murni
Untuk bisa membagi dukaku

Bait puisi di atas menggambarkan bahwa dunia yang diimpikan gadis pengemis itu jauh melampaui kemewahan dan kemegahan yang ada. “Menara katedral” merupakan tanda keagungan dan kemewahan. “Melintas-lintas di atas air kotor, tapi yang begitu kau hafal”, baris puisi ini adalah tanda bahwa dia atau gadis kecil yang mengemis sangat terikat dengan kehidupan di bawah jembatan atau sungai yang kotor. Hidupnya juga sangat dekat dengan hal-hal kotor.

“Jiwa begitu murni,  terlalu murni, untuk bisa membagi dukaku”,  “Aku” dalam hal ini, dia merasakan simpati dan empati yang besar terhadap gadis kecil itu, sehingga dia tidak bisa berbagi kesedihannya. Yang bisa dia selamatkan hanyalah kesedihannya yang tak terbendung.

Kalau kau mati, gadis kecil berkaleng kecil
Bulan di atas itu, tak ada yang punya
Dan kotaku, ah kotaku
Hidupnya tak lagi punya tanda

Bait puisi di atas pengemis mewakili pengemis pada umumnya, dan ini menggambarkan  kemiskinan di tengah kemewahan. Ketika pengemis tiada, setelah sebelumnya menyadari bahwa gadis kecil itu mewakili pengemis pada umumnya, maka tidak ada lagi kontras di kota. Artinya, tidak ada orang atau pihak yang akan meminta dan memberi bantuan, apalagi makna kematian pengemis cilik itu adalah hilangnya rasa cinta terhadap sesama dalam masyarakat yang penuh kemuliaan.

Kesimpulan yang dapat saya ambil dari puisi di atas mengajak kita semua untuk menginstropeksi diri bahwa semua manusia sama di mata Tuhan tidak memandang kaya atau miskin semuanya sederajat. (*).


Biodata Diri

  • Nama : Riri Adiska Rahmi
  • NIM : 2003010088
  • Prodi : Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
  • Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan
  • Universitas Maritim Raja Ali Haji