Jejak Perjalanan, Kisah Nyata Bagian (1) Rapid Test Antibodi Vs Antigent

Terbit: oleh -79 Dilihat
Amran

SIANG itu, Rabu 06 Januari 2021 telepon genggam saya berdering, setelah di buka terlihat beberapa penggilan tak terjawab dan pesan baru belum terbaca. Dalam beberapa hari memang saya mengatur jarak dengan telepon genggam, karena terlalu banyak informasi membingungkan.

Selain informasi kacangan yang masuk memenuhi dinding pesan, juga karena ada beberapa tagihan hutang yang belum terbayarkan, mulai dari sewa kantor, sewa kendaraan, jaringan telepon dan lain-lainnya, membuat saya enggan mendekati telepon genggam itu. Sementara uang tagihan hasil kerja keryawan di beberapa sumber belum ada yang bisa di ambil.

Setelah di buka pesan di terima kali ini berbeda, bukan tentang tagihan hutang tetapi kabar dari keluarga yang berada jauh di Tanjungpinang. Satu nomor telepon meminta agar segera ke Tanjungpinang karena ada musibah tak terduga, yakni telah terjadi kecelakaan sepeda motor yang berakhir di ruang operasi RSUP Kepri.

Satu nomor telepon lagi juga meminta agar saya ke Tanjungpinang, bedanya tidak ada perintah segera, cukup jika bisa saja, karena anaknya akan menikah pada tanggal 21 Januari 2021. Beliau adalah saudara kandung saya nomor tiga dari tujuh bersaudara. Resepsi pernikahan itu merupakan yang perdana untuk keturunannya.

Pelabuhan Selat Lampa Kabupaten Natuna, Provinsi Kepri

Tak hanya dua nomor dari saudara dan pemilik telepon yang berbeda, saya juga menerima pesan dari salah satu nomor menceritakan tentang musibah banjir yang menimpa. Pesan-pesan itu, semuanya datang dari keluarga saya yang berada di Ibu Kota Provinsi Kepri, termasuk dari perempuan cantik yang telah melahirkan dan membesarkan saya. Belum lagi deringan telepon dari beberapa nomor meminta kejelasan tentang pembagian harta warisan yang tak kunjung usai.

Setelah membuka dan membaca satu-persatu isi pesan, hati pun gelisah. Pertama bingung memikirkan kemana harus mencari uang untuk biaya berangkat. Kedua memang bawaan malas untuk bepergian ke luar daerah, karena cuaca buruk dan banyaknya aturan pemerintah di masa pandemi Covid-19. Namun dalam hati berbisik, lalu berucap kata “saya harus pergi”.

Kamis 07 Januari 2021 usai berbalas pesan melalui chat WhatsApp, salah satu dari saudara kandung meminta nomor rekening saya, “minta ude nomor rekening pak cik ya,” tulisnya dalam pesan tersebut. “Dah ude kirim 1 juta,” katanya melanjutkan chat selang waktu berjalan.

Dari kiriman uang itu, saya coba mencari tahu jadwal keberangkatan transportasi laut bernama KM. Bukit Raya, sebuah kapal yang masih terbilang setia melayani masyarakat Pulau Tujuh (nama tempo dulu) hari ini sudah berubah bahkan terpecah menjadi tiga bagian, dua kabupaten, satu kecamatan.

Pulau Tujuh dalam pengertian Gugusan Kepulauan Natuna, hari ini menjadi Kabupaten Natuna. Gugusan Kepulauan Anambas, hari ini menjadi Kabupaten Kepulauan Anambas. Gugusan Kepulauan Tambelan, hari ini menjadi kecamatan dibagian Timur Kabupaten Bintan.

Dulunya ketiga gugusan itu, adalah eks kewedanaan Pulau Tujuh. Hari ini terdengar ada keinginan masyarakat menyatukan kembali wilayah eks kewedanaan tersebut menjadi sebuah provinsi yang bersifat khusus. Memang ada banyak pertimbangan bisa di lihat, mulai dari kondisi wilayah, sosial budaya, maupun sosial politik. Dengan topografi secara makro, Pulau Tujuh secara umum adalah topografi maritim kelautan dan kepulauan.

Jika melihat kondisinya, Pulau Tujuh termasuk daerah dengan wilayah sangat luas. Sehingga layak untuk dijadikan provinsi secara khusus. Sebagai salah satu provinsi di  kepulauan maritim. Nah! saya sendiri berada di Natuna, negeri penghasil Migas, daerah perbatasan yang memegang posisi stretegis hubungan Indonesia kepada dunia luar terutama negara-negara ASEAN.

Setelah berhasil menghubungi salah satu nomor agen tiket yang ada dalam daftar kontak telepon, saya memperoleh kiriman jadwal keberangkatan kepal. Berdasarkan jadwal di kirim pada Kamis, 07 Januari 2021 menyebutkan kapal akan bertolak dari Natuna hari Senin, 11 Januari 2021 pukul 07.00 WIB dengan tujuan Tarempa-Letung-Batam-Belinyu-Tanjung Priok.

Bagian bawah tabel jadwal keberangkatan kapal itu, disebukan jadwal sewaktu-waktu bisa berubah, mengikuti perkembangan cuaca. Bagi yang akan melakukan perjalanan wajib mengikuti protokol kesehatan, yakni mengantongi hasil rapit tes. Kata kawan saya “maklum, musim pandemi,”. Usai berbincang-bincang dengan istri dan rekan-rekan kerja di rumah dan kantor, saya memutuskan berangkat ke Tanjungpinang.

Saat itu, uang 1 juta kiriman dari ibu kota suda berada di saku celana saya. Besok harinya Jum’at, 08 Januari 2021 dengan langkah pasti saya bergerak menuju RSUD Natuna mengikuti antri panjang guna memperoleh surat keterangan bernama rapit tes yang menjadi salah satu sarat agar bisa berangkat menggunakan transportasi laut.

Usai mendaftar, mengisi formulir dan menyerahkan poto copy KTP, saya juga menyerahkan uang sebesar Rp 150 ribu kepada petugas rumah sakit untuk biaya pembuatan surat tersebut. Beberapa menit kemudian seoarang medis dengan Alat Pelindung Diri (APK) Covid-19 memanggil nama saya. Duduk di kursi berhadapan, sambil bertanya-tanya, medis itu kemudian menusukan jarum ke jari.

Dalam kondisi terkejut, (karena takut melihat jarum) hitungan sekedip mata, darah pun menetes dari jari manis tangan sebelah kiri, “kita cek dulu ya pak!” ujar medis itu tersenyum. “Bapak ke ruang tunggu dulu ya! nanti kita panggil lagi jika sudah selesai,” katanya melanjutkan.

Sebelumnya, saat mendaftar petugas pemberi pertolongan pertama atas keselamatan manusia itu, sempat membubuhkan beberapa pertanyaan kepada saya. “Pak! ingin berangkat ke mana?” katanya bertanya. Saya pun menjawab “Batam”. Petugas itu, kembali bertanya “berangkat pakai apa dan kapan,” ujarnya. Sesuai pertanyaan saya menjawab “Bukit Raya, minggu ini”.

Mungkin pembaca juga ingin bertanya, kenapa tidak ke Tanjungpinang? Kenapa harus ke Batam? Jawabnya, di masa pandemi Covid-19 untuk sementara waktu salah satu dari 25 kapal angkutan penumpang milik PT Pelayaran Nasional Indonesia (PT. PELNI) Persero itu, terpaksa meniadakan jadwal keberangkatannya menuju Pelabuhan Kijang (Bintan-Tanjungpinang) karena belum mendapat izin dari pemerintah setempat.

Kapal yang terdiri dari beberapa kelas dengan kapasitas 900 tempat tidur dan mampu menampung hingga 1.500 penumpang, dengan rute satu kali dua minggu mengarungi hamparan Laut Cina Selatan hingga ke Pulau Bintan, Bangka Belitung sampai Jakarta dan Kalimantan Barat itu, hanya diizinkan bersandar di Pelabuhan Batu Ampar, Batam.

Lumayan lama juga duduk di ruang tunggu. Pada area terbuka itu, saya sempat menghisap dua batang rokok Dji Sam Soe. Saat hendak menghabiskan rokok kedua, tiba-tiba dari pengeras suara terdengar nama saya di panggil dan saya pun menghampirinya. “Mohon di baca ya pak! Cek dulu mana tau ada yang salah,” kata petugas menyerahkan amplop kuning didalamnya berisikan hasil pemeriksaan.

Sesuai arahan, saya pun membuka amplop lalu membacanya. Judul besar pada surat keterangan itu, tertulis Rapid Test Antibodi. Berdasarkan hasil pemeriksaan yang dilakukan Jum’at 08 Januari 2021, saya dinyatakan non-reaktif sehingga boleh melakukan perjalanan ke luar daerah. Setelah merasa memiliki surat keterangan sehat itu, saya kemudian menuju tempat penjualan tiket.

Di agen resmi penjualan tiket kapal pelni, saya di minta menyerahkan poto copy KTP dan surat tersebut sebanyak dua rangkap. “Ada rapid test-nya pak?,” tanya si penjual tiket. “Ada” jawab saya singkat. “Poto copy sama KTP-nya dua rangkap, setelah itu silakan isi formulirnya,” kata si penjual tiket, meminta saya menunjukan surat keterangan dan KTP asli. “Oke, 250 ribu ya pak!,” lanjutnya menyebutkan harga satu tiket.

Tiba di rumah, saya kemudian melihat-lihat isi tiket yang telah saya beli dengan uang kiriman saudara saat ini tersisa 600 ribu di saku celana. Pada tiket menyebutkan kapal akan berangkat pada hari Senin 11 Januari 2021 pukul 07.00 WIB. Saya juga sempat membaca isi surat yang telah dikeluarkan oleh RSUD Natuna. Sejauh ini, tidak ada kendala dan saya merasa siap untuk mengarungi lautan luas bersama KM. Bukit Raya.

Minggu malam, 10 Januari 2021 saya memutuskan untuk mengumpul rekan kerja beserta orang tuanya, termasuk istri dan keluarga memberitahukan bahwa saya akan bertolak ke Batam menuju Tanjungpinang besok pagi. Saya juga sempat menghubungi salah satu teman yang memiliki angkutan roda empat untuk mengantar saya ke Pelabuhan Selat Lampa.

Kuatir akan tertinggal kapal, karena jadwal berangkat terlalu pagi, usai mengadakan pertemuan malam itu, saya memutuskan untuk tidak merebahkan badan ke tempat tidur. Lalu membuat janji dengan si pemilik mobil, “besok kita gerak jam 5 pagi ya saudare” kata saya mengingatkan dan dijawab “Oke, siap bang!” oleh si pemilik mobil.

Waktu berjalan, jarum pendek pada arloji lengan kanan saya sudah menujukan pukul 6.30 WIB, si pemilik mobil belum juga terlihat. Beberapa menit kemudian saya menerima sebuah pesan WhatsApp setelah di buka ternya berasal dari si pemilik mobil. “Jadwal berubah, kita gerak jam 11.00 aja, info kapal jam 13.00 baru sandar di pelabuhan” tulisnya.

Mengingat masih ada waktu, usai menjawab “Oke” dengan si pemilik mobil, saya kemudian membangunkan rekan kerja dan memintanya menemani saya hingga pukul 11.00 WIB. “Wan, tolong belikan kue dan rokok, sekalian bangunkan kawan-kawan kita ngobrol-ngobrol di belakang, karena kapal masih lama,” pinta saya kepada seorang rekan kerja bernama Riduan sambil mengulurkan uang 150 ribu.

Hati kecil berbisik, apa mungkin akan sampai ke Tanjungpinang sementara uang di saku celana hanya tersisa 450 ribu. Belum sempat berpikir panjang, Riduan pun datang disusul rekan-rekan lainnya. Saat itu, waktu sudah menujukan pukul 10.15 WIB. Tidak ada pembahasan berarti, hanya ngobrol santai menikmati aneka kue hingga si pemilik mobil datang.

Usai menyalami istri dan anak juga satu-persatu rekan kerja, saya bergegas menuju pintu depan mobil yang sudah terparkir di belakang halaman rumah. Satu jam menempuh perjalanan, saya menerima kabar bahwa penumpang yang turun di Pelabuhan Batam wajib mengantongi Rapid Tes Antigen bukan Rapid Tes Antibodi. Saat itu, sudah pukul 12.40 WIB, saya kemudian meminta si pemilik mobil putar belakang menuju RSUD Natuna guna memperoleh Rapid Test Antigen.

Tiba di RSUD Natuna, seorang petugas meminta saya untuk melakukan rapid di Rumah Sakit TNI AU. “Maaf pak, kami sudah tutup, dokternya tidak ada lagi karena jadwalnya sudah habis, coba ke Rumah Sakit TNI AU,” katanya menyarankan. Tak banyak fikir, saya dan si pemilik mobil memutuskan bergegas menuju Rumah Sakit TNI AU.

Ternyata bagian pelayanan khusus rapid test di RS TNI AU juga sudah tutup. “Maaf petugas kami sedang istirahat, akan buka kembali setelah makan siang,” kata salah seorang petugas. Menurutnya tidak ada masaalah bagi penumpang kapal laut dari daerah 3T (Terluar, Terdepan, Tertinggal). “Mungkin nanti di Batam akan di rapid test ulang,” terangnya.

Dalam bingung, si pemilik mobil pun bertanya, “gimana bang? lanjut berangkat apa kembali?,”. Saat itu saya hanya terdiam, si pemilik mobil kembali berucap, “saya coba telepon orang pelni ya bang! kita coba tanya mereka,” kata si pemilik mobil yang kelihatannya juga ikut bingung. Entah lah! beruntung si pemilik mobil adalah teman dekat yang bisa diminta bolak balik.

Usai berbincang-bincang dengan salah seorang petugas pelni, si pemilik mobil mengatakan ada peraturan baru bagi penumpang yang turun di Pelabuhan Batam, wajib menggunakan Rapid Test Antigen bukan Antibodi. “Tak bisa turun katanya bang! harus antigen bukan antibodi, mereka juga baru dapat info tadi pagi,” cetus si pemilik mobil.

Sepontan, saya meminta si pemilik mobil menghentikan mobilnya di sebuah toko. Lalu membelikan sebungkus rokok yang biasa dihisapnya. Saya juga membeli beberapa bungkus rokok dan bekal perjalanan. Usai belanja, saya menghitung uang di saku tersisa 200 ribu. “Tancap saja gas menuju pelabuhan ya! sudah terlanjur, tak mungkin rasanya kembali,” pinta saya kepada si pemilik mobil untuk melanjutkan perjalanan.

Mobil berlari kencang, telinga terasa akrab mendengar lantunan musik. Sepanjang perjalan itu, hanya ada dua terngiang dalam pikiran. Pertama tentang uang di saku cela. Kedua tentang nasib akan surat rapid test ketika turun di Pelabuhan Batam. Meski tidak terucap, tetapi hati tetap saja berbisik lalu berkata-kata, “sungguh aneh, kenapa bisa terjadi mis komunikasi antara pemerintah pusat, provinsi dan daerah?” (Bersambung).


Penulis : Amran


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *