JAKARTA (KP), – Seiring dengan perkembangan zaman jumlah manusia semakin banyak dengan segala atribut yang menyertai berbagai perubahan tersebut. Begitu pula dengan perkembangan teknologi yang telah merubah model dan pola perilaku manusia dalam memandang suatu fenomena. Termasuk di dalamnya adalah perilaku–perilaku yang menyimpang dalam koridor hukum positif atau yang biasa disebut dengan kriminalitas. Perilaku kriminal pun banyak yang bertransformasi dengan berbagai bentuk, ukuran, warna dan usia. Nyaris menjadi fenomena metamorfosa yang sempurna.
Terkait hal ini, media mewawancarai Board of Advisor Neuroleadership Indonesia yang juga Komisioner Kompolnas RI Dede Farhan Aulawi di ruang kerjanya, Selasa (3/9). Dede berpendapat bahwa jika dilihat dari struktur dan fungsi otak, ada yang namanya Amigdala, yaitu bagian dari otak yang terlibat dalam ketakutan, agresi dan interaksi sosial, termasuk yang mendorong perilaku keterlibatan dalam kejahatan.
“Menarik ketika membaca hasil penelitian neuroimagingnya Dustin Pardini, Ph.D dari University of Pittsburgh. Dalam penelitian tersebut ditemukan bahwa pria berusia 26 tahun dengan volume amigdala lebih rendah, akan lebih cenderung agresif, ganas dan menunjukkan sifat psikopat, dibanding pria pada usia yang sama dengan amigdala berukuran lebih normal. Hal ini juga diperkuat oleh hasil penelitian psikolog Andrea Glenn, Ph.D dari University of Alabama yang menunjukkan bahwa amigdala yang ukurannya lebih kecil memiliki kecenderungan psikopat,” Ujar Dede.
Selanjutnya Dede juga menambahkan bahwa defisit (amigdala kecil) dapat muncul jauh sebelum orang melakukan kejahatan. Hal ini sesuai dengan penelitian Adrian Raine, DPhil dari Departemen Kriminologi di University of Pennsylvania yang memeriksa pengkondisian rasa takut yang tergantung pada fungsi amigdala.
Anak-anak yang melakukan kejahatan, biasanya tidak mampu menunjukkan rasa takut ketika kebanyakan dari orang lain merasa takut. Anterior cingulate cortex (ACC) yang memainkan peran utama dalam perilaku dan juga terkait dengan kejahatan. Oleh karena itu, kita perlu mengubah otak untuk mengubah perilaku. Artinya perlu satu intervensi, meskipun sekedar intervensi sederhana karena dapat membuat perbedaan.
Dalam uji coba terkontrol acak terhadap tahanan di Inggris, ditemukan bahwa mereka yang menerima vitamin, mineral dan suplemen asam lemak esensial melakukan rata-rata 26,3 persen lebih sedikit pelanggaran. Intinya bahwa aspek biologi bukanlah takdir, karena siapapun dapat mengubah akar biologis tersebut agar tidak menumbuhkan tunas–tunas kejahatan, termasuk perilaku anarkis yang menyukai kekerasan dan kerusakan. “Benar sekali kalam Ilahi yang menyatakan bahwa Allah SWT tidak akan merubah nasib suatu kaum, jika mereka sendiri tidak mau mengubahnya,” pungkas Dede mengakhiri percakapan. (KP).
Laporan Redaktur