Penetapan HPM Pasir Kuarsa di Kepri Terlalu Tinggi, Ady: Perhitungannya Kami Anggap Keliru

Terbit: oleh -1664 Dilihat
Ketua Umum Himpunan Penambang Kuarsa Indonesia (HIPKI), Ady Indra Pawennari.

KEPRI – Pengusaha tambang kuarsa yang beroperasi di wilayah Kabupaten Natuna Provinsi Kepulauan Riau melalui Himpunan Penambang Kuarsa Indonesia (HIPKI) mengajukan permohonan kepada Pemerintah Provinsi Kepri untuk meninjau kembali Harga Patokan Mineral (HPM) komoditas mineral bukan logam jenis tertentu (pasir kuarsa).

Surat permohonan yang ditujukan langsung kepada Gubernur Provinsi Kepulauan Riau, H. Ansar Ahmad tersebut ditandatangani oleh Ketua Umum HIPKI, Ady Indra Pawennari dan Syahrul Ramadhan selaku Sekretaris Jendral HIPKI tertanggal 15 Juli 2024 di Jakarta.

“Tanggal 15 Juli 2024 lalu kami sudah menyurati gubernur agar meninjau kembali HPM yang telah ditetapkan. Karena perhitungannya kami anggap keliru. Seharusnya, penetapan HPM berdasarkan harga di mulut tambang, bukan di atas mother vessel,” tulis Ady melalui pesan WhatsApp yang dikirim ke Redaksi koranperbatasan.com, Rabu, 18 Desember 2024.

Dalam surat permohonan tersebut, Ady menyampaikan komoditas pasir kuarsa merupakan salah satu produk pertambangan Mineral Bukan Logam dan Batuan (MBLB) yang memiliki kontribusi besar terhadap peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) karena pajaknya menjadi kewenangan daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor: 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, serta hilirisasi memberi nilai tambah secara signifikan bagi percepatan peningkatan perekonomian nasional yang ujungnya bermuara pada kesejahteraan masyarakat Indonesia.

Ady menjelaskan komoditas pasir kuarsa merupakan salah satu produk pertambangan yang sedang dipersiapkan program hilirisasinya untuk mendorong terciptanya ekosistem kendaraan listrik (Electric Vehicle/EV) dan energi terbarukan (renewable energy) di Indonesia.

Kemudian lanjut Ady, berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2023 Tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah Pasal 21 ayat (1) dan (2) disebutkan bahwa dasar pengenaan MBLB adalah nilai jual hasil pengambilan MBLB yang dihitung perkalian volume atau tonase pengambilan MBLB dengan harga patokan (HPM) tiap jenis MBLB.

Menurut Ady, penetapan HPM untuk komoditas pasir kuarsa di Kabupaten Natuna dan Kabupaten Lingga sebesar Rp250.000 perton adalah yang tertinggi di Indonesia dengan beberapa perbandingan. Dimana nilai HPM ini lebih tinggi 460% dari rata-rata HPM pasir kuarsa di Kalimantan Barat yaitu Rp66.038 perton untuk Kabupaten Sambas (378%), Rp26,415 perton dan untuk Kabupaten Ketapang (946%), serta Rp69,434 perton untuk Kabupaten Mempawah (360%).

Nilai HPM tersebut juga dianggap lebih tinggi 220% dari HPM pasir kuarsa di kabupaten/kota se-Provinsi Kalimantan Tengah yaitu Rp300,000 per m3 atau setara dengan Rp113.208 perton (BJ 2,65) untuk kadar SiO2 >99,5%. Nilai HPM tersebut juga lebih tinggi 500% dari HPM pasir kuarsa di Bangka Belitung, yaitu Rp50.000 perton (berdasarkan laporan dari anggota HIPKI di Bangka Belitung).

Dalam surat permohonan tersebut Ady juga memastikan bahwa nilai HPM yang ditetapkan juga lebih tinggi 1.426% dari HPM pasir kuarsa di Lampung, yaitu Rp17.500 perton untuk Kabupaten Tanggamus (berdasarkan laporan dari anggota HIPKI di Lampung).

“Bahwa, berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2023 Tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah Pasal 21 ayat (3) disebutkan bahwa HPM dihitung berdasarkan harga jual ratarata tiap jenis Mineral Bukan Logam dan Batuan pada mulut tambang yang berlaku di wilayah daerah yang bersangkutan,” ungkap Ady.

Menanggapi keputusan tersebut, HIPKI menduga adanya ketimpangan HPM antara Provinsi Kepulauan Riau dengan daerah-daerah penghasil pasir kuarsa lain di Indonesia disebabkan karena penentuan HPM di Provinsi Kepulauan Riau tidak sepenuhnya merujuk pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2023 Pasal 21 yang menyebutkan bahwa penentuan HPM harus berdasarkan harga jual rata-rata pada mulut tambang.

“Bahwa, kegiatan penjualan pasir kuarsa untuk ekspor juga dikenakan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 dengan tarif 1,5% (satu koma lima persen) dari nilai ekspor. Bahwa, penentuan HPM dengan menimbang harga jual lebih jauh dari mulut tambang berpotensi menyebabkan pajak ganda dimana terjadi pengenaan jenis pajak yang sama terhadap subjek pajak dan atas objek pajak yang sama,” tegas Ady.

Ady memastikan dengan adanya HPM yang terlalu tinggi menyebabkan investasi pasir kuarsa di Provinsi Kepulauan Riau menjadi kurang kompetitif sehingga menurunkan daya saing daerah dalam menarik investasi pasir kuarsa yang layak, dapat diandalkan, dan berkelanjutan.

HPM yang terlalu tinggi ini juga mengancam kelayakan ekonomi investasi pasir kuarsa terutama saat terjadi tekanan harga komoditas pasir kuarsa yang terjadi belakangan ini dimana harga jual pasir kuarsa di mother vessel menyentuh angka USD 23-24 per ton, dan di tongkang (barge) pada angka USD 11-13 perton. Sebagaimana umumnya komoditas pertambangan yang lain, harga jual pasir kuarsa akan terus mengalami fluktuasi mengikuti harga pasar baik nasional maupun internasional.

“Situasi sebagaimana disebutkan di atas telah menyebabkan terjadi perlambatan atau stagnasi laju investasi pasir kuarsa di Provinsi Kepulauan Riau, yang secara umum juga akan menghambat perputaran ekonomi pada level lokal dimana kegiatan eksplorasi dan operasi produksi pasir kuarsa dilakukan,” pungkas Ady.

Kata Ady untuk mempertahakan momentum kelayakan investasi, menjaga daya saing investasi daerah, mendorong percepatan pertumbuhan ekonomi, serta terus merawat rencana program hilirisasi pasir kuarsa, HIPKI dengan ini mengusulkan agar Gubernur Kepulauan Riau dapat meninjau kembali penetapan HPM di Provinsi Kepulauan Riau sehingga memberi rasa keadilan bagi pelaku usaha, pemerintah daerah, dan masyarakat secara bersama-sama.

“Bahwa, untuk memastikan penentuan HPM sesuai dengan yang diamanatkan oleh Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2023 Tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah maka kami mengusulkan agar salah satunya dilakukan permintaan penjelasan dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) mengenai defisini dan mekanisme perhitungan harga jual rata-rata pada mulut tambang,” tutup Ady.

Permohonan tersebut disampaikan HIPKI menindaklanjuti Keputusan Gubernur Kepulauan Riau Nomor 1051 Tahun 2022 Tentang Harga Patokan Mineral Bukan Logam, Mineral Bukan Logam Jenis Tertentu Dan Batuan di Provinsi Kepulauan Riau yang menentukan bahwa Harga Patokan Mineral (HPM) untuk komoditas Pasir Kuarsa di Kabupaten Natuna dan Kabupaten Lingga adalah Rp250.000 perton.

Screnshoot salinan Peraturan Daerah Kabupaten Natuna Nomor 15 Tahun 2023 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

HIPKI Minta Pemkab Natuna Tinjau Ulang Rencana Kenaikan Pajak Pasir Kuarsa 40 Persen

Sejumlah pengusaha tambang pasir kuarsa yang tergabung dalam HIPKI meminta Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Natuna, meninjau ulang rencana pemberlakuan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 15 Tahun 2023 yang mengatur kenaikan pajak daerah dan retribusi daerah pasir kuarsa sebesar 40 persen di wilayah paling utara Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) tersebut.

“Ini bukan waktu yang tepat untuk menaikkan pajak daerah di tengah kondisi harga jual pasir kuarsa di pasar internasional mengalami penurunan drastis hingga 40 persen. Kita minta ditinjau ulang. Kalau harga sudah stabil, pasti kita dukung,” ungkap Ketua Umum HIPKI, Ady Indra Pawennari, Selasa, 17 Desember 2024.

Permintaan itu disampaikan Ady menanggapi rencana Pemkab Natuna menaikkan pajak daerah pasir kuarsa yang semula ditetapkan sebesar 10 persen menjadi 14 persen dari HPM pasir kuarsa yang diterbitkan Gubernur Kepri, Ansar Ahmad melalui Keputusan Nomor : 1051 Tahun 2022 sebesar Rp250 ribu per metrik ton.

Rencana menaikkan pajak daerah pasir kuarsa tersebut, mengemuka setelah Badan Pengelolaan Keuangan dan Pendapatan Daerah (BPKPD) Kabupaten Natuna menggelar sosialisasi Perda Nomor 15 Tahun 2023 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah di Ball Room Gajah Mina Adiwana, Jelita Sejuba Hotel, Ranai, Natuna, Selasa, 17 Desember 2024.

Salah satu isu yang menjadi perhatian utama dalam sosialisasi itu, adalah kenaikan pajak daerah pasir kuarsa yang sebelumnya sebesar 10 persen menjadi 14 persen atau mengalami kenaikan sebesar 40 persen. Belum lagi, pajak tersebut masih harus ditambah dengan pajak provinsi sebesar 25 persen dari nilai pajak daerah, sehingga total beban pajak yang harus ditanggung oleh pengusaha mencapai 17,5 persen per metrik ton.

“Ini berarti terjadi lonjakan pajak daerah sebesar 75 persen yang tentu menambah beban berat bagi para pengusaha tambang pasir kuarsa di Kabupaten Natuna,” jelas Ady yang juga Direktur Utama PT. Multi Mineral Indonesia itu.

Menurut pria peraih anugerah Pahlawan Inovasi Teknologi Tahun 2015 itu, kenaikan pajak daerah yang begitu tajam tentu menambah tantangan bagi sektor pertambangan pasir kuarsa di Natuna yang sudah menghadapi berbagai kesulitan lain. Salah satu masalah utama adalah penurunan harga pasir kuarsa yang sangat signifikan sebesar 40 persen.

Sebelumnya, harga pasir kuarsa di pasar internasional berkisar USD31 – USD32 per metrik ton di FOB Mother Vessel. Kini, harga pasir kuarsa terjun bebas menjadi sekitar USD19 – USD20 per metrik ton. Dengan situasi harga yang jatuh drastis seperti ini, penambahan beban pajak daerah yang signifikan tentunya tidak sejalan dengan prinsip ekonomi yang sehat.

Seharusnya, lanjut Ady, dalam situasi harga komoditas yang turun tajam seperti ini, pemerintah daerah justru harus menyesuaikan tarif pajak agar tetap mendorong kegiatan ekonomi dan menjaga kelangsungan usaha di daerahnya. Pemerintah yang baik akan berpikir panjang untuk memberikan insentif atau kebijakan yang mendukung agar roda ekonomi terus bergerak.

“Yang terjadi saat ini, justru sebaliknya. Pemerintah Kabupaten Natuna dan Provinsi Kepulauan Riau malah memilih untuk menaikkan pajak daerah secara drastis, yang dapat memperburuk kondisi perekonomian daerah. Kebijakan ini tentu berisiko besar terhadap daya tarik investasi di Kabupaten Natuna,” bebernya.

Sebagaimana diketahui, Natuna memiliki sejumlah tantangan geografis yang mempengaruhi biaya produksi dan distribusi, seperti biaya logistik dan transportasi yang tinggi akibat lokasinya yang jauh dan akses yang terbatas.

Ditambah lagi, pertambangan pasir kuarsa di Natuna hanya dapat dilakukan selama 8 bulan dalam setahun, karena pada musim angin utara penambangan dan pengiriman pasir kuarsa keluar Natuna tidak dapat dilakukan demi alasan keselamatan. (KP).


Laporan : Denny Jebat


 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *