Ady Indra Pawennari: Pasir Kuarsa Komoditas Potensial Layak Mendapat Perhatian

Terbit: oleh -88 Dilihat
Ketua Umum Himpunan Penambang Kuarsa Indonesia (HIPKI), Ady Indra Pawennari

TANJUNGPINANG – Ketua Umum Himpunan Penambang Kuarsa Indonesia (HIPKI), Ady Indra Pawennari, menerangkan pertambangan dalam perekonomian nasional sudah tak perlu diragukan lagi. Selain sebagai salah satu sumber penerimaan negara dan devisa, sektor pertambangan juga merupakan sektor yang signifikan dalam menyerap banyak tenaga kerja serta sektor yang mengakselerasi transfer teknologi.

Jika dikelola dengan baik, sektor pertambangan bahkan dapat berkontribusi lebih. Pertambangan memiliki peran atau misi kewilayahan yaitu meningkatkan perekonomian daerah, membuka daerah-daerah baru (remote) dan memperkecil kesenjangan kemajuan antar daerah. Pengembangan industri pertambangan juga artinya membuka kesempatan berusaha di daerah serta pengembangan masyarakat sekitar wilayah tambang.

Ady menjelaskan, Doktor Sosiologi dari Universitas Padjadjaran yang juga pengamat sosial dan kebijakan publik, serta peneliti di Indonesian Initiative for Sustainable Mining (IISM), Jannus TH Siahaan, menyebutkan dari sisi perdagangan internasional, sektor pertambangan dan pengolahan mineral menjadi salah satu sektor andalan yang menopang ekspor Indonesia selain komoditas CPO (Crude Palm Oil) tentunya. Artinya, dinamika sektor pertambangan nasional akan memberi pengaruh kepada performa perekonomian nasional.

Kabar baiknya, setelah mengalami penurunan di awal pandemi Covid-19, sektor pertambangan nasional mulai kembali bergairah dan menunjukkan kinerja yang positif. Sepanjang tahun lalu, misalnya, dari Januari hingga November 2021, nilai ekspor sektor pertambangan mencapai 34,11 miliar dolar AS, naik tajam hingga 94,29 persen dibanding Januari-November 2020 yang sebesar 17,55 miliar dolar.

Tahun 2022 ini pun tampaknya demikian. Kenaikan harga minyak ikut mengerek naik harga komoditas lainnya. Di Indonesia, hal itu dengan mudah bisa dilihat dari nilai keuntungan yang dibukukan oleh perusahaan-perusahaan tambang nasional di awal tahun ini.

Misalnya PT Vale Indonesia Tbk. (INCO) beserta entitas anak usahanya yang membukukan kenaikan laba bersih pada kuartal I/2022, meskipun kuantitas produksinya justru mengalami penurunan. Dilihat dari laporan keuangan perusahaan, laba bersih pada tiga bulan pertama 2022 saja menembus 67,64 juta dolar atau sekitar Rp 983,19 miliar (kurs Rp14.534 per dolar AS 9 Mei 2022).

Sementara untuk komoditas batu bara, keuntungan perusahaan tambang PT Adaro Energy Indonesia Tbk (ADRO) yang moncer pada kuartal I-2022 juga layak dijadikan acuan. Baru tiga bulan berjalan tahun 2022, Adaro sudah membukukan laba bersih sebesar 400,07 juta dolar atau sekitar Rp 5,8 triliun (asumsi kurs Rp 14.480 per dolar AS). Perolehan laba tersebut meroket 457,6 persen dibandingkan dengan 71,75 juta dolar laba periode berjalan yang dapat diatribusikan kepada pemilik entitas induk pada periode yang sama tahun lalu.

Kata Ady sejauh ini sektor pertambangan nasional masih terpaku pada komoditas tradisional yang relatif sama sedari dulu, seperti nikel, biji besi, emas, dan tembaga. Dengan adanya perkembangan dunia, sudah saatnya Indonesia melirik komoditas-komoditas pertambangan potensial lainnya, sesuai momentum arah perkembangan industri dan pasar global.

Salah satu komoditas potensial yang layak mendapat perhatian adalah pasir kuarsa. Komoditas ini memiliki manfaat yang sangat dibutuhkan oleh dunia industri modern. Sejumlah pengusaha asal China, Korea Selatan, dan India yang bergerak di bidang industri pengolahan mineral pun belakangan ini sedang bersemangat dan kencang berburu pasir yang satu ini di beberapa daerah di Indonesia.

Tak tanggung-tanggung, Ady menceritakan para pengusaha internasional tak segan-segan mematok harga tinggi demi mendapatkan pasir kuarsa yang dicarinya. Indonesia sendiri membolehkan ekspor pasir kuarsa setelah melewati proses pengolahan dengan kadar silika di atas 99,5 persen dan kadar besi di bawah 120 ppm.

Meningkatnya permintaan pasir kuarsa tersebut sangat bisa dipahami mengingat nilai strategis dan vital komoditas ini. Pasir kuarsa berguna sebagai bahan penolong untuk sektor industri mulai dari industri ban, karet, semen, beton, keramik, tekstil, kertas, kosmetik, elektronik, cat, film, pasta gigi, dan lain-lain. Tidak hanya itu, pasir kuarsa juga bermanfaat untuk industri genteng, metal dan logam.

Pasir kuarsa juga mendadak menjadi komoditas strategis hari ini karena karakter unik yang dimilikinya. Kandungan silikon pada pasir kuarsa merupakan bahan tahan api (refractory) sehingga banyak digunakan dalam teknologi luar angkasa dan industri kebutuhan rumah tangga seperti berbagai kompor dan alat masak masa kini lainnya.

Pasir kuarsa juga merupakan bagian penting dari proses produksi microchip. Setelah melalui beberapa proses dan pencampuran, silikon mengisi mata rantai utama di industri elektronik sebagai bahan baku transistor (silicon transistor). Transistor ini adalah semikonduktor yang merupakan komponen vital microchip elektronik dan panel surya.

Sebagaimana diketahui, microchip digunakan secara luas setidaknya pada industri mobil, telepon pintar (smartphone), dan laptop dan telah menjadi salah satu produk yang menghangatkan perang dagang antara China dan Amerika Serikat dalam beberapa tahun terakhir. Sementara itu, produk panel surya adalah andalan dunia dalam transisi menuju energi terbarukan.

Dengan semakin meningkatnya kebutuhan manusia akan peralatan dan teknologi tersebut maka dipastikan kebutuhan dunia akan pasir kuarsa akan terus meningkat. Dengan kata lain, pasir kuarsa adalah komoditas masa depan, komoditas manusia modern.

Pengembangan pasir kuarsa menjadi strategis bagi Indonesia setidaknya karena beberapa hal. Pertama, industri pasir kuarsa dapat menjadi motor diversifikasi sektor pertambangan sekaligus menjadi sumber pemasukan baru bagi negara dari ekspor mineral terolah.

Kedua, secara internasional, pengembangan pasir kuarsa akan meningkatkan daya tawar geoekonomi dan geopolitik Indonesia di dalam ekosistem value chain global. Ketiga, dalam perspektif ekonomi makro, pengembangan pasir kuarsa juga akan memperluas kesempatan kerja dan menambah sumber pertumbuhan ekonomi baru bagi daerah-daerah penghasil pasir kuarsa.

Semakin penting, sesuai peraturan perudang-undangan di Indonesia, seluruh pajak dan retribusi pasir kuarsa sebagai mineral bukan logam jenis tertentu akan masuk ke kas daerah sebagai Pendapatan Asli Daerah (PAD). Oleh karena itu, pengembangan pasir kuarsa juga dapat menjadi andalan lokal untuk meningkatkan kapasitas fiskal dalam rangka pemulihan ekonomi pascapandemik Covid-19 secara mandiri tanpa harus selalu bergantung kepada program-program pemulihan ekonomi dari pusat.

Untuk itu, pemerintah perlu melakukan langkah-langkah optimalisasi sebagai berikut. Pertama, memfasilitasi promosi industri pasir kuarsa Indonesia pada forum-forum industri pertambangan dan mineral nasional dan internasional. Agenda ini dapat dilakukan dengan menggandeng asosiasi yang mewadahi para penambang kuarsa di Indonesia.

Kedua, menjembatani konektivitas dengan investor domestik maupun asing, termasuk lembaga-lembaga perbankan. Hal ini penting mengingat para penambang kuarsa biasanya berbasis di daerah sebagai pengusaha lokal yang relatif masih jauh terhadap akses investasi permodalan.

Mekanis Ketiga, mengawal penerapan praktek-praktek berkelanjutan agar meminimalkan dampak lingkungan dan pada saat yang sama mendorong reklamasi dan rehabilitasi lahan bekas tambang. Pemerintah juga perlu secara perlahan dan bertahap mendorong pengolahan kuarsa dalam negeri secara lebih lanjut untuk meningkatkan nilai tambah dan membuka lapangan kerja yang lebih luas.

Dengan demikian Indonesia dapat menambah percepatan pemulihan ekonomi secara mandiri dan pada saat yang sama menegaskan peran strategisnya dalam percaturan industri modern dunia.

Pasir kuarsa menyebar luas di banyak tempat di Indonesia. Namun jenis yang mengandung silika dioksida tinggi (>99,0 persen) umumnya terdapat di Kepulauan Riau, Bangka Belitung, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan.

Ady Indra Pawennari, Ketum HIPKI, dan Ketum DPP Geram Kepri Bersatu serta Redaksi koranperbatasan.com poto bersama, Sabtu, 23 Juli 2022 malam, di Hotel Rav, Tanjungpinang, ketika diminta tanggapannya terkait rencana penambangan kuarsa di Natuna, yang sempat menuai aksi pro kontra.

Menurut Ady, sebanyak 19 perusahaan tambang yang diketahui telah berhasil mengantongi Wilayah Izin Usaha Produksi (WIUP), dan terpublikasi dalam aplikasi sistem informasi berbasis web, milik Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) bernama ESDM One Map Indonesia tersebut, baru sebatas melirik potensi.

“Saya pikir teman-teman itu, baru melihat potensi pasir kuarsa di Natuna, dan semua perusahaan yang ada di peta MOM itu, belum tentu bisa sampai keoperasi produksi,” ungkap Ady, menjawab koranperbatasan.com, Sabtu, 23 Juli 2022 malam, di Hotel Rav, Tanjungpinang, ketika diminta tanggapannya terkait rencana penambangan kuarsa di Natuna, yang sempat menuai aksi pro kontra.

Kata Ady, tidak mudah bagi perusahaan tambang untuk dapat memiliki Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi (IUP Operasi Produksi). Sebuah izin yang diberikan kepada perusahaan, setelah selesai pelaksanaan IUP Eksplorasi, melakukan tahapan kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, dan studi kelayakan, untuk melakukan tahapan kegiatan operasi produksi.

“Pertama mereka belum melakukan studi kelayakan. Setelah mereka melakukan studi kelayakan, ditemukan data-data pendukung. Layak atau tidak di tambang. Kalau misal cadangannya 20-30 senti, tentu tidak layak. Kemudian berdasarkan hasil lab, kalau silikanya dibawah 90 persen, tidak mungkin di tambang. Ada beberapa prameter sampai keoperasi produksi. Jadi tidak semua perusahaan yang ada di MOM itu, bisa mulus sampai keoperasi produksi,” ujar Ady.

Lelaki yang mengaku sempat menggeluti dunia jurnalistik, sebelum terjun ke dunia usaha pertambangan, bahkan sempat memperoleh penghargaan sebagai Pahlawan untuk Indonesia 2015 Bidang Inovasi Teknologi digelar MNC Media ini menjelaskan, hanya perusahaan-perusahaan dengan modal besar dan didukung teknologi tinggi, mampu berjuang sampai ketahap produksi.

“Kemudian dalam kegiatan pertambangan ini kan padat modal. Jadi pengusaha-pengusaha yang padat modal lah yang bisa eksis dipertambangan itu. Kecuali dia melakukan kerjasama dengan investor. Karena itu, membutuhkan biaya besar sekali. Bayangkan saja untuk jaminan reklamasi saja, dia harus mengeluarkan Rp100 juta per hektar, itu duit kes,” terang Ady.

Dijelaskan Ady, setelah mengantongi WIUP, perusahaan wajib membayar Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Pungutan ini harus dibayarkan baik oleh orang pribadi maupun sebuah badan. Memiliki manfaat langsung maupun tidak langsung, atas layanan atau pemanfaatan sumber daya, dan hak yang diperoleh negara, berdasarkan peraturan perundang-undangan.

“Yang pertama untuk memulai tambang itu, awalnya kita mengajukan permohonan wilayah dulu, Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) namanya. Kemarin itu, masih kewenangan Kementerian ESDM, sekarang sudah beralih ke daerah sesuai dengan Perpres 55. Kemudian setelah mendapatkan WIUP, kita harus bayar PNBP. Pencadangan wilayah, pencetakan peta itu, perusahaan harus bayar ke negara. Kemudian untuk naik eksplorasi, kita menyetor jaminan eksplorasi. Jaminan itu, sesuai dengan ketentuan harganya Rp150 ribu per hektar, tinggal dikali. Hitung saja, dari sekian banyak izin itu, untuk Natuna berapa luasnya, tinggal dikali Rp150 ribu. Segitulah banyak duit yang harus dibayarkan,” jelas Ady.

Dalam hal ini, sosok pengusaha muda yang terbilang ulet, dan pernah menjabat Ketua Asosiasi Industri Sabut Kelapa Indonesia (AISKI) Provinsi Riau, (2012-2017) ini memastikan daerah yang dijadikan ladang pertambangan kuarsa memiliki banyak keuntungan.

“Dari kegiatan tambang ini, keuntungan bagi daerah adalah pajak. Berdasarkan UU Nomor 28 tahun 2009 tentang retribusi dan pajak daerah, tambang mineral non logam 100 persen masuk ke kas daerah. Beda dengan logam kayak bauksit, dan timah itu, masuk ke pusat. Jadi daerah penghasil bahan tambang itu, cuma dapat bagi hasil. Kalau kuarsa 100 persen masuk kas daerah,” tutur Ady.

Ia pun mencontohkan bahwa di Kabupaten Lingga dari Rp16 milyar sampai hampir Rp60 milyar semuanya masuk ke kas daerah. Katanya, dulu waktu Lingga produksi timah, dan bauksit tidak pernah PAD-nya mencapai angka Rp50 milyar.

“Dengan kuarsa bisa sampai Rp50 milyar. Karena semuanya masuk ke kas daerah. Makanya kemarin ada anggota dewan ketemu saya dorong agar bupatinya cepat menerbitkan peraturan bupati, tentang pajak dan retribusi daerah yang mengatur pertambangan mineral bukan logam. Karena itulah penghasilan daerah paling besar, mungkin bisa kalah bagi hasil dari migas,” cetus Ady.

Dihadapan Redaksi dan Staff Redaksi koranperbatasan.com malam itu, pria kelahiran Wajo, Sulawesi Selatan, 14 April 1973 silam yang kabarnya banyak memetik pelajaran dari falsafah burung ini, menerangkan dalam UU Nomor 28 tahun 2009, daerah boleh memungut pajak maksimal 25 persen.

“25 persen pajak itu besar sekali. Tinggal daerah menetapkan berapa harga pokok penjualan. Kalau di Lingga ditetapkan bupati Rp100 ribu per kubik. Natuna maunya seperti apa?. Mau mengikuti Lingga atau naikkan lagi, gak ada masaalah, sepanjang pengusaha masih bisa. Karena kita harus bayar pajak, dan kalau tidak ikut aturan bupati, gak berjalan,” beber Ady.

Lebih jauh Ady menceritakan, perusahaan tidak akan pernah bisa melakukan kegiatan ekspor kuarsa, jika belum membayar pajak kepada daerah. Karena persyaratan ekspor itu, harus dibuktikan setoran pajaknya terlebih dahulu. Setoran pajak itu, 100 persen untuh untuk daerah penghasil.

“Begitu naik ke tongkang, sebelum tongkang bergerak, sudah harus bayar pajak. Cuma saya belum tahu, apakah Natuna sudah memiliki Perda yang mengatur tentang itu. Saya bilang kemarin, dewan seharusnya mengecek bupati sudah menetapkan peraturan itu belum. Kalau belum, dorong bupatinya, Perdakan dulu, supaya masuk barang itu. Biasanya Perda itu sudah ada, tinggal ditindaklanjuti peraturan bupati. Cuma disanakan belum pernah ada tambang, saya yakin belum diatur,” papar Ady.

Sejauh ini, Ady melihat di Natuna belum ada satupun perusahaan yang diperbolehkan melakukan operasi produksi. Oleh karena itu, ia meminta kepada pemerintah daerah segera menyiapkan perangkat-perangkatnya, antisipasi beroperasinya perusahan-perusahaan tersebut.

“Kalau perusahaannyakan belum ada yang berjalan. Saya pikir dan saya berharap pemerintah bisa menyiapkan perangkat-perangkatnya. Termasuk tadi bagaimana sih, kalau misalnya betul-betul jalan, Pemda Natuna sudah harus siapkan perangkatnya, untuk memungut pajak tadi. Dulu tambang timah dan bauksit di Lingga gak dapat apa-apa, pajaknya ke pusat. Begitu saya benahi, mineral non logam pasir bangunan, pasir kuarsa masuk ke daerah semuanya. Makanya zaman Pak Wello, APBD Lingga tembus Rp1,1 triliun,” pungkas Ady.

Ady juga sempat menyebutkan bahwa tidak semua kawasan boleh dijadikan area pertambangan. Beberapa kawasan tersebut diantaranya, kawasan hutan, pariwisata, dan konservasi.

“Sesuai penjelasan dari Dinas PUPR dan Tata Ruang Natuna, bahwa dikawasan permukiman, pertanian dan perkebunan boleh dilakukan penambangan, sepanjang disitu ada potensi. Tidak boleh itu, dikawasan pariwisata, konservasi, yang lain boleh, dengan ketentuan khusus. Secara UU saya memang tidak terlalu mendalami. Tapi beberapa kasus, kayak di Lingga, kawasan perkebunan, pertanian, boleh dilakukan penambangan, sampai hari ini,” sebut Ady.

Pengusaha sukses yang pernah menawarkan konsep penyelamatan lingkungan dengan teknik reklamasi dan revegetasi lahan kritis dan pasca tambang menggunakan media sabut kelapa ini menegaskan, khusus untuk kawasan hutan masih boleh dilakukan penambangan, jika Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengeluarkan izin.

“Sebetulnya dikawasan hutan juga boleh, dilakukan penambangan, sepanjang ada izin dari menteri kehutanan. Setelah mendapatkan izin operasi produksi, boleh mengajukan pinjam pakai. Pinjam pakai kawasan hutan ke menteri. Tentu dengan beberapa pertimbangan. Kalau di Natuna, langsung beli lahan, sepanjang surat menyuratnya ada gak masaalah, dan itu pun diluar kawasan hutan. Kalau dikawasan hutan gak boleh? Gak boleh, sepanjang belum ada izin menteri kehutanan,” tegas Ady.

Terkait pasca tambang, Ketum HIPKI ini pun memastikan, para pengusaha tambang tentunya akan mengikuti kebijakan yang dibuat oleh pemerintah setempat.

“Kita mengikuti kebijakan daerah, konsenya apa, kita mengarahkan pasca tambang kesitu. Misal konsepnya pertanian, perkebunan, pariwisata atau perikanan, kan ada banyak model yang bisa kita gunakan. Misalnya budidaya, bekas-bekas galian itu, kita jadikan kolam budidaya. Tapi kalau kuarsa, dia beda dengan tambang lain.

Kuarsa, dipermukaan biasanya, dia gak terlalu dalam. Kegiatan rehabilitasinya lebih mudah, dibandingkan pasir bangunan. Kalau pasir bangunan ada sampai 60 meter, kuarsa tidak ada yang lebih dari 3 meter. Apa lagi di Natuna, saya survey kedalamannya rata-rata 1 meter,” tutup Ady. (KP).


Laporan : Amran


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *