Konflik Laut Natuna Diantara Nine Dash Line dan UNCLOS 1982

Terbit: oleh -675 Dilihat

TAJUK KORANPERBATASAN.COM

OLEH : AMRAN


LAUT CHINA SELATAN adalah laut tepi, bagian dari Samudra Pasifik, yang membentang dari Selat Karimata dan Selat Malaka hingga Selat Taiwan dengan luas kurang lebih 3500000 kilometer persegi. Laut ini memiliki potensi strategis yang besar karena sepertiga kapal di dunia melintasinya.

Istilah dominan dalam bahasa Inggris laut ini disebut South China Sea. Nama South China Sea muncul ketika orang eropa menggunakan laut ini sebagai rute pelayaran menuju Asia Selatan. Pada abad ke-16, pelayar Portugal menggunakan sebutan Laut Tiongkok. Kawasan ini memiliki kekayaan laut  serta mengandung potensi Migas yang sangat besar.

Desikitar perairan ini diketahui memiliki banyak sumber kekayaan laut cadangan masa depan dan ratusan pulau-pulau kecil. Dimana sebagian besar dari pulau-pulau tak berpenghuninya diperebutkan oleh berbagai negara sampai saat ini. Untuk dapat menguasai laut ini, jauh-jauh hari China telah membuat sembilan garis putus-putus pada peta wilayahnya dikenal dengan sebutan Nine Dash Line.

Mereka kemudian mengklaim wilayah Laut China Selatan, dari Kepulauan Paracel (yang diduduki China tapi diklaim Vietnam dan Taiwan) hingga Kepulauan Spratly yang disengketakan dengan Filipina, Brunei, Malaysia, Taiwan dan Vietnam. Panjang Nine Dash Line atas klaim China hampir seluruh Laut China Selatan, membuat negara itu bersengketa secara tumpang tindih dengan wilayah ZEE negara-negara tetangga Indonesia.

Nine Dash Line ini berdampak  hilangnya  perairan Indonesia seluas kurang lebih 83.000 km2 atau 30 persen dari luas laut Indonesia di Natuna. Selain Indonesia negara-negara lain seperti Filipina dan Malaysia luas lautnya juga menjadi berkurang 80 persen, Vietnam 50 persen dan Brunei 90 persen.

Selain menggunakan dasar Nine Dash Line, China juga mengklaim perairan laut Kabupaten Natuna, Provinsi Kepulauan Riau salah satu daerah terluar di Republik Indonesia sebagai wilayah penangkapan ikan tradisional nelayan China. Ini mengacu pada batas wilayah China sejak zaman Dinasti Ming.

Pengadilan Arbitrase atau Permanent Court of Arbitration (PCA) di Den Haag, Belanda, pada 12 Juli 2016 menyimpulkan tidak ada landasan hukum bagi Tiongkok untuk mengklaim hak mengeksplorasi kekayaan alam di sepanjang area yang mereka sebut sebagai  Nine Dash Line di Laut China Selatan.

Sengketa negara-negara ASEAN diputuskan dalam South China Sea Tribunal 2016 menyatakan bahwa China tak memiliki hak atas Laut China Selatan. Sedangkan soal Natuna, pada konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang membahas tentang Hukum Laut dalam UNCLOS 1982 memutuskan perairan Natuna adalah Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI).

Konvensi Hukum Laut ini mendefinisikan hak dan tanggung jawab negara dalam penggunaan lautan di dunia serta menetapkan pedoman untuk bisnis, lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam laut. Tindak lanjut atas ratifikasi UNCLOS, Indonesia sejak tahun 2014 telah memiliki payung hukum yang menekankan kewilayahan laut Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang kelautan disahkan pada tanggal 17 Oktober 2014.

Kemudian pada Juli 2017, Indonesia menegaskan kedaulatannya, mengganti nama Batas Utara Zona Ekonomi Eksklusifnya di Laut China Selatan menjadi “Laut Natuna Utara” yang terletak di sebelah Utara Kepulauan Natuna berbatasan dengan ZEE Selatan Vietnam dan bagian Selatan Laut China Selatan.

Sayangnya China tidak mengakui UNCLOS 1982 bahwa perairan Natuna masuk dalam ZEE Indonesia. China berdalih bahwa kawasan Natuna masuk dalam Nine Dash Line. Sementera Nine Dash Line merupakan garis yang dibuat sepihak oleh China tanpa melalui Konvensi Hukum Laut di bawah PBB atau UNCLOS. Padahal Tiongkok merupakan salah satu anggota dari UNCLOS 1982.

Sejarah Nine Dash Line

Sejarah Nine Dash Line bisa dirunut pada 1947, saat China masih dikuasai Partai Kuomintang pimpinan Chiang Kai Sek, sudah menetapkan klaim teritorialnya atas Laut China Selatan. Saat itu, pemerintahan Kuomintang menciptakan garis demarkasi yang mereka sebut sebagai ‘eleven dash line’. Berdasarkan klaim ini China menguasai mayoritas Laut China Selatan termasuk Kepulauan Pratas, Macclesfield Bank serta Kepulauan Spratly dan Paracel yang didapat China dari Jepang usai Perang Dunia II.

Klaim ini tetap dipertahankan saat Partai Komunis menjadi penguasa China pada 1949. Namun, pada 1953, pemerintah China mengeluarkan wilayah Teluk Tonkin dari peta ‘Eleven Dash Line’ buatan Kuomintang. Pemerintah Komunis menyederhanakan peta itu dengan mengubahnya menjadi Nine Dash Line yang kini digunakan sebagai dasar historis untuk mengklaim hampir semua wilayah perairan seluas 3 juta kilometer persegi itu.

Sejarah Hukum Laut Internasional

Pada tanggal 13 Desember 1957, Ir. Djuanda Kartawidjaja Perdana Menteri yang diangkat oleh Presiden Soekarno menggantikan Ali Sastroamidjojo menyatakan kepada dunia bahwa laut Indonesia adalah termasuk laut sekitar, diantara dan didalam kepulauan Indonesia menjadi satu kesatuan wilayah NKRI.

Deklarasi ini memiliki pengaruh sangat besar pada wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Karena berkat adanya deklarasi ini laut yang menjadi penghubung pulau di Indonesia sekarang dianggap sebagai wilayah resmi dari Indonesia. Sebelumnya laut antar pulau hanya dianggap sebagai kawasan yang bebas ditengah-tengah wilayah Indonesia, membuat kapal-kapal asing dapat berlayar secara bebas termasuk kapal-kapal perang.

Laut tersebut bisa dilewati oleh siapa saja karena dianggap bukan bagian dari Negara Republik Indonesia. Sebab yang diakui sebagai wilayah Indonesia saat itu hanyalah wilayah perairan sejauh tiga mil dari garis pantainya. Hasil dari Deklarasi ini memberikan ketegasa antara darat, laut, dasar laut, udara dan seluruh kekayaan termasuk semua di dalam satu kesatuan wilayah Indonesia.

Sebelumnya, kapal-kapal Belanda dapat dengan bebas menjelajahi perairan laut diantara pulau-pulau di Indonesia sesuai dengan hukum laut internasional yang berlaku saat itu. Indonesia tidak memiliki hak untuk melarangnya ditambah kekuatan Angkatan Laut Indonesia tidak sekuat Belanda.

Keberadaan laut-laut bebas diantara pulau-pulau di Indonesia ini terlihat janggal. Bagaimana wilayah suatu negara yang berdaulat dipisahkan oleh laut-laut bebas antara pulau-pulaunya. Oleh karena itu, muncullah ide untuk memperbaharui hukum laut dan Djuanda Kartawidjaja kala itu mempunyai inisiatif mengubah aturan ini sehingga beliau menjadi tokoh yang memprakarsai Deklarasi Djuanda ini.

Dalam deklarasi ini sendiri terkadung sebuah konsep negara maritim nusantara yang melahirkan konsekuensi bagi pemerintah dan juga bangsa Indonesia hingga saat ini. Karena telah memperjuangkan dan juga mempertahannya sehingga bisa mendapatkan pengakuan secara internasional.

UNCLOS 1982

Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) tentang Hukum Laut  atau United Nations Convention on the Law of the Sea yang disingkat UNCLOS, juga disebut Konvensi Hukum Laut Internasional atau Hukum Perjanjian Laut, adalah perjanjian internasional yang dihasilkan dari Konferensi Perserikatan Bangsa Bangsa  tentang Hukum Laut yang ketiga (UNCLOS III) yang berlangsung dari tahun 1973 sampai dengan tahun 1982.

Konvensi Hukum Laut ini mendefinisikan hak dan tanggung jawab negara dalam penggunaan lautan di dunia serta menetapkan pedoman untuk bisnis, lingkungan, dan pengelolaan sumber daya alam laut. Konvensi disimpulkan pada tahun 1982, menggantikan perjanjian internasional mengenai laut tahun 1958. UNCLOS diberlakukan pada tahun 1994, setahun setelah Guyana menjadi negara ke 60 untuk menandatangani perjanjian. Untuk saat ini telah ada 158 negara, termasuk Uni Eropa, telah bergabung dalam konvensi.

Dalam perumusan konvensi ini, Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa Bangsa  (PBB) menerima instrumen ratifikasi dan aksesi. PBB menyediakan dukungan untuk pertemuan negara-negara peserta konvensi. PBB tidak memiliki peran operasional langsung dalam pelaksanaan konvensi. Peran PBB hanyalah melalui organisasi-organisasi dunia yang menangani masalah-masalah maritim dan kelautan seperti Organisasi Maritim Internasional.

Mengelola Sengketa Laut China Selatan Menjadi Investasi Bersama

Kawasan ini memiliki kekayaan laut  serta mengandung potensi Migas sangat besar. Klaim China di Laut Natuna mencakup Lapangan Gas Natuna D-Alpha dan Lapangan Gas Dara yang kegiatan eksplorasinya telah dilakukan sejak akhir 1960an. Ketika itu salah satu perusahaan Migas Itali, AGIP, melakukan survei seismik laut yang ditindaklanjuti dengan melakukan 31 pengeboran eksplorasi.

Kegiatan ini  berhasil menemukan Cadangan Migas terbesar sepanjang 130 tahun sejarah permigasan Indonesia dengan Cadangan Gas 222 trilliun kubik kaki (tcf) dan 310 juta bbl minyak, dengan luas  25 X 15 Km2 serta tebal batuan reservoir lebih dari 1.500 meter. Namun sayangnya hingga ditemukan di tahun 1973, Lapangan Gas D-Alpha ini belum dapat dieksploitasi karena membutuhkan biaya yang tinggi disebabkan kandungan Gas CO2-nya mencapai 72 persen.

Pada 1980, pengelolaan blok ini digantikan oleh Esso dan Pertamina. Esso kemudian bergabung dengan Mobil Oil menjadi Exxon Mobil dan telah menghabiskan biaya sekitar US$400 juta untuk melakukan kegiatan eksplorasi dan kajian pengembangan lapangan. Namun tetap saja lapangan gas ini belum berhasil dieksploitasi.

Saat ini ada 13 perusahaan Migas, dua diantaranya perusahaan Migas Nasional,  melakukan kegiatan operasi perminyakan di Laut Natuna. Enam  blok diantaranya merupakan blok yang telah dan akan berproduksi. Tujuh blok lainnya masih dalam tahapan eksplorasi. Keempat blok produksi di Laut Natuna ini  masing-masing adalah, Conoco Phillips, Premier Oil, Star Energy, dan TAC PAN (Pertamina)  dengan total produksi Migas yaitu Produksi Minyak 25.000 bbl/hari, Produksi Gas 491 juta kaki kubik/hari serta Produksi LPG sejumlah 19.000 ton/tahun.

Produksi gas dari blok-blok produksi di laut Natuna sebagian besar disalurkan ke Malaysia dan Singapura. Gas bumi dari lapangan Belanak di Indonesia  disalurkan ke Lapangan Duyong, Malaysia melalui jalur pipa laut sepanjang  98 Km yang kemudian dipipakan ke Kertih di Pantai Timur Semenanjung untuk diolah di Industri Petrokimia. Ironisnya, sebagian produk petrokimianya itu diekspor ke Indonesia.

Klaim China di Laut China Selatan, tepatnya terhadap Laut Natuna, Indonesia, seharusnya memicu pemerintah menggalakkan kegiatan operasi Migas di wilayah ini. Apalagi kegiatan ini telah berlangsung  sejak lebih dari 50 tahun yang lalu, khususnya pengembangan Lapangan Gas D-Alpha yang sejak ditemukan di tahun 1973 dan Lapangan Gas Dara yang ditemukan di tahun 2000 hingga saat ini belum berhasil untuk dieksploitasi.

Seandainya pemerintah telah memberikan dukungan sejak 5-10 tahun yang lalu, maka pemerintah tentunya sudah mendapatkan penerimaan. Paling tidak, jika proyek belum selesai, para kontraktor proyek telah membayar pajak, tersedianya lapangan kerja untuk sekian ribu orang. Selain itu, yang tidak kalah pentingnya, China pun akan berfikir dua kali mengklaim laut disekitar Blok Migas D-Alpha yang telah ada kegiatannya.

Sebelumnya, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China, Geng Shuang menyebut wilayah ZEE Indonesia di Natuna Utara sebagai kedaulatan mereka, yakni area penangkapan ikan tradisional atau dikenal dengan istilah Nine Dash Line. Artinya China sama sekali tidak mengakui adanya UNCLOS 1982 dan tetap mempertahankan Nine Dash Line. Menurut PCA dasar klaim yang dilakukan oleh pemerintah Cina tidak dikenal dalam UNCLOS dimana Indonesia dan China adalah anggotanya.

Jika China tetap berpegang teguh pada Nine Dash Line dan Indonesia mengacu pada UNCLOS 1982, maka akan lebih baik jika Indonesia mengirim banyak nelayan untuk melaut di perairan Natuna. Tujuannya adalah membuktikan bahwa wilayah yang kini diklaim China tersebut adalah bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Para nelayan Indonesia tentunya harus dikawal dengan patroli oleh petugas keamanan laut sebagaimana yang dilakukan China.

Meningkatkan Status Dari Kabupaten Menjadi Provinsi

Pemerintah hari ini bisa saja belajar dari peristiwa masa lalu. Karena dulunya laut tersebut dimanfaatkan oleh para nelayan dan para pelayar-pelayar dari berbagai suku bangsa secara bersama-sama. Mereka yang dulunya dikenal dengan sebutan lanon sama-sama mencari keuntungan dari hasil laut tersebut, tetapi tidak menimbulkan ketegangan bahkan sempat menjalin ikatan keluargaan hingga beranak cucu. Hari ini Indonesia sudah memiliki kekuatan hukum internasional UNCLOS 1982 memperoleh ZEEI hingga 200 mil.

Klaim China terhadap Laut Natuna adalah pembelajaran bagi Bangsa Indonesia menuju negara maritim dunia. Ada banyak pertimbangan bisa dilihat. Mulai dari kondisi wilayah, sosial budaya, maupun sosial politik. Dengan topografi secara makro, Natuna secara umum adalah topografi maritim kelautan dan kepulauan. Jika melihat kondisinya, Natuna termasuk daerah dengan wilayah sangat luas. Sehingga layak untuk dijadikan Provinsi secara khusus. Sebagai salah satu Provinsi di kepulauan maritim Indonesia.

Mengapa harus Provinsi bersifat khusus. Pertama karena Natuna berada di cekungan ASEAN. Memegang sebuah posisi stretegis dalam hubungan Indonesia kepada dunia luar terutama negara-negara ASEAN. Jika sudah berstatus provinsi, tentu Natuna bisa menjadi perpanjangan tangan Pemerintah Pusat untuk mengatur politik luar negeri dalam skala terbatas ASEAN. Termasuk perdagangan internasional dalam skala terbatas ASEAN.

Hubungan internasional adalah membatasi dimana ASEAN sebagai kawasan Natuna. Sedangkan politik luar negeri untuk kepentingan nasionalnya. Karena Republik Indonesia menerapkan politik bebas aktif bagi dunia internasional, meskipun kewenangan politik selama ini diatur oleh pemerintah pusat.

Tujuannya adalah membuka wacana, Indonesia memerlukan satu Provinsi memaikan politik internasional. Dalam pengertian terbatas kawasan ASEAN. Artinya Natuna merupakan perpanjangan tangan rezim nasional. Dalam memainkan percaturan politik internasional diotonomikan kepada satu Provinsi secara khusus. Kewenangan tersebut Provinsi ini-lah yang akan memainkan sebagai garda terdepan.

Supaya nanti jika ada yang masuk bagaimana supaya ini bisa diatur oleh pemerintah secara bersama-sama agar konflik itu tidak menimbulkan ketegangan yang mengakibatkan “perang” dan akhirnya menjadi kerugian besar. Tentu akan lebih baik mengelola konflik tersebut menuju kepengeloalaan bersama secara damai yang diatur oleh hukum internasional. Bisa saja dengan cara kerjasama investasi seperti membangun jalan tol di daratan.

Orang membangun pabrik di daratan saja bisa, padahal yang membangun pabrik itu juga perusahaan asing. Tetapi kan tidak menjadi soal, apakah kita usir mereka? Kenyataanya kan tidak, yang penting ada hukum internasional mengatur bagaiman laut itu dapat dikelola secara bersama-sama mendatangkan keuntungan bagi rakyat. (***).


Koranperbatasan.com, Selasa, 07 Januari 2020


 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *