Gambar ilustrasi peta titik lokasi penambangan pasir kuarsa di Kabupaten Natuna yang akan dilakukan oleh 19 perusahaan tambang untuk dibawa ke China.
“Layak selama kebutuhan pasir itu digunakan untuk pembangunan dan kepentingan daerah. Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Kepri tidak mengetahui adanya kegiatan tersebut. Cross check saja ke Pemkab Natuna, kalau tak berizin akan berdampak buruk,” Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Kepulauan Riau, Hendri, ST.
“Pemprov Kepri belum mendapat salinan SK IUP perusahaan yang akan menambang pasir kuarsa di Natuna, baik dari Minerba dan atau BKPM. Pemprov Kepri mengetahui keberadaan izin pasir kuarsa di Natuna melalui update informasi di Aplikasi MOMI Minerba. Seluruh perizinan pasir kuarsa di Natuna diterbitkan pada rentang 2021 oleh pemerintah pusat,” Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Manusia Provinsi Kepulauan Riau, Drs. M. Darwin, MT.
NATUNA – Sampai saat ini sengketa Laut China Selatan yang terjadi sejak tahun 1947 terus berlanjut. Dasar yang digunakan China untuk mengeklaim seluruh kawasan Laut China Selatan adalah sembilan garis putus-putus (nine dash line) yang meliputi sejumlah wilayah milik Filipina, Malaysia, Vietnam, Taiwan dan Brunei Darussalam.
Gambar peta ilustrasi dugaan titik lokasi penambangan pasir kuarsa di Kabupaten Natuna yang akan dilakukan oleh 19 perusahaan tambang untuk dibawa ke China.
Beberapa waktu lalu, China pernah mengirim nota protes ke Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) RI atas kegiatan pengeboran minyak dan gas di lepas pantai Natuna. Dalam memo tersebut, China menyampaikan perintah kepada Indonesia untuk menghentikan sementara pengeboran migas di perairan Laut Natuna Utara.
Mereka mengklaim wilayah tersebut masih merupakan teritorial China. Wilayah perairan di dekat Laut China Selatan ini memang masih menjadi sengkarut dan acap kali menimbulkan ketegangan antara kedua negara.
Secara geografis, Natuna berbatasan dengan Vietnam dan Kamboja di sisi utara. Disisi selatan, Natuna berbatasan dengan Sumatera Selatan dan Jambi. Dibagian barat, Natuna berbatasan dengan Singapura, Malaysia, dan Riau. Dibagian timur, Natuna berbatasan dengan Malaysia Timur dan Kalimantan Barat.
Pada Peta Indonesia, Natuna berada di hujung, di sudut dan terlihat sangat kecil sekali. Jika dilihat pada peta Laut Cina Selatan, ketika kita tarik ring seribu kilo meter, akan terlihat Kuala Lumpur, Singapore, dan Berunai berada sangat dekat dengan Natuna. Namun jika kita tarik ring dua ribu kilo meter, seluruh Ibu Kota Negara Asia terlihat jelas, dan Natuna sendiri berada ditengah-tengahnya.
Dalam hal ini Wakil Bupati Natuna, Rodhial Huda pernah mengatakan bahwa Natuna satu-satunya kabupaten yang berbatasan dengan sangat banyak negara. Natuna berbatasan dengan sembilan negara secara langsung maupun secara terbuka. Natuna memilki wilayah laut yang sangat luas. Ada tujuh pulau terluar yang disebut terdepan. Berbeda dengan Batam, Lingga, Tanjungpinang dan Bintan, hanya berbatasan dengan satu dua negara saja.
Peserta In House Training Jurnalistik Maritim Berwawasan Kebangsaan Zona 3 Natuna dan Anambas sedang mendengarkan paparan yang disampaikan oleh Wakil Bupati Natuna, Rodhial Huda, Senin, 27 September 2021.
Kata Rodhial, wilayah Natuna yang terdiri dari 99 persen laut ada kontradiksi bertentangan dengan keadaan di lapangan. Dimana sebuah kabupaten yang memiliki laut sangat luas, tetapi dalam UU Pemerintah Daerah Nomor 23 Tahun 2014, tidak punya kewenangan di laut. Sehingga kabupaten tidak bisa bicara lebih, tentang kewenangan tersebut.
“Tetapi bukan berarti karena tidak punya kewenangan di laut, kami tidak bicara tentang laut. Itu Thailand, Vietnam, dan China yang hari ini melakukan ilegal fishing mereka tidak punya sama sekali kewenangan di laut itu. Tetapi mereka lah para pemanfaat laut itu sesungguhnya. Dan hari ini mereka lah yang berkeliaran, yang kita anggap melakukan pencurian ikan dan segala macam,” tutur Rodhial saat menjadi keynote speaker ‘In House Training Jurnalistik Maritim Berwawasan Kebangsaan, Senin, 27 September 2021 lalu.
Sebagaimana diketahui, daerah maritim kepulauan yang letaknya berada di jalur pelayaran internasional ini memiliki beragam kekayaan alam. Potensi sumber dayanya yang terkenal adalah kekayaan bumi berupa minyak dan gas (migas). Natuna bagaikan gadis perawan cantik yang menjadi rebutan, semua punya keinginan untuk dapat memilikinya.
Sebab cadangan minyak bumi Natuna diperkirakan mencapai 14.386.470 barel dan gas bumi 112.356.680 barel. Salah satunya adalah ladang gas D-Alpha yang terletak sekitar 225 kilometer utara Pulau Natuna, dengan total cadangan 222 Trillion Cubic Feet (TCT). Ada juga gas hidrokarbon yang bisa didapat sebesar 46 TCT, merupakan salah satu sumber terbesar di Asia. Ladang tersebut masih masuk dalam wilayah ZEE Indonesia.
Kabupaten Natuna sendiri memiliki luas wilayah 264.198,37 kilometer persegi dengan luas daratan hanya 2.001,30 kilometer persegi dan lautan 262.197,07 kilometer persegi. Sebagian besar hasil laut seperti migas “dikuasai” oleh penguasa tambang dari berbagai negara yang memiliki Kontrak Kerja Sama (KKS) dengan Pemerintah RI (SKK Migas).
Letak giografis dan strategis Kabupaten Natuna pada peta yang terlihat berbatasan dan berhadapan langsung dengan sembilan ibu kota negara-negara di Asia. (Foto : Internet).
Kekayaan alam Natuna ini bagaikan berada dalam “genggaman” para penguasa tambang melalui badan usaha tetap atau perusahaan pemegang hak pengelolaan dalam suatu blok atau wilayah kerja yang memiliki hak untuk melakukan kegiatan eksplorasi, eksploitasi migas seperti Medco E&P, Premier Oil, Star Energy, Exxon-Mobil, ConocoPhillips dan masih banyak lagi yang tergabung dalam perusahaan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) dan mitranya, perlahan-lahan menguras isi laut Natuna.
Selain migas terdapat banyak sumber daya laut lainnya yang belum terkelola dengan baik, diantaranya perikanan laut. Saat ini pemanfaatannya hanya 36 persen dari total kekayaan yang ada. Dari 36 persen itu, manfaat yang didapatkan Natuna hanya berkisar 4,3 persen saja. Bahkan saat ini pemerintah pusat melalui kementerian terkait telah memberikan izin kepada kapal-kapal ikan “cantrang” beroperasi di laut Natuna. Hal ini membuat nelayan Natuna semakin tereliminasi di lumbung ikan lautan utara.
Tak hanya kekayaan laut saja, baru-baru ini terdengar kabar sebanyak 19 perusahaan tambang akan “menguras” isi daratan Natuna untuk dibawa keluar negeri. Kabarnya 19 perusahaan tambang tersebut sudah “menggenggam” Wilayah Izin Usaha Produksi (WIUP). Bahkan sudah ada beberapa perusahaan yang melakukan ganti rugi atau pembelian lahan melalui “kaki tangannya” dengan harga Rp2500-3000 permeter bersertifikat dan Rp1000-2000 belum bersertifikat, tergantung letak lokasinya.
Para penguasa tambang ini akan mengambil pasir silika atau pasir kuarsa dengan total ratusan ribu hektar. Satu perusahaan diperkirakan akan menggarap sekitar 2-3 ribu hektar. Pasir jenis silika atau kuarsa yang diketahui memiliki kadar besi (Fe)-nya jauh lebih rendah dibandingkan daerah-daerah lain seperti Kalimantan tersebut akan dibawa ke China.
Ilustrasi sarana perlengkapan untuk proses pengeboran minyak di Natuna berdasarkan profile Blok Natuna salah satu cadangan gas terbesar di dunia. (Foto : Internet).
Meski belum diketahui secara pasti dimana titik koordinat penambangan pasir sebagai bahan baku pembuatan kaca ini, namun beberapa perusahaan telah menurunkan orang-orangnya melakukan survey lokasi dan bernegosiasi dengan pemangku kebijakan setempat, menawarkan perolehan Dana Bagi Hasil (DBH) belum termasuk retribusi yang katanya akan menguntungkan Natuna.
Rayuan “maut” para pengusaha tambang yang menjanjikan penambahan Pendapatan Asli Daerah (PAD) ini sepertinya sulit di tolak oleh para pemangku kebijakan yang “tergiur” akan jumlah pendapatan bagi hasil, karena porsi pembagiannya jauh lebih besar dibandingkan daerah bukan penghasil.
Padahal “rayuan” tersebut bagian dari upaya para penguasa tambang untuk dapat memenuhi syarat memperolah Izin Usaha Pertambangan (IUP), agar mereka dapat segera melaksanakan usaha pertambangan dan mengangkut pasir beharga yang seharusnya tetap berada di bumi laut sakti rantau bertuah tersebut ke China.
“Satu perusahaan pun belum ada yang dikeluarkan IUP, jika ada IUP maka akan keluar izin ekspor,” ungkap salah seoarang lelaki yang namanya dirahasiakan, Selasa, 05 April 2022 di Tanjungpinang.
Dalam hal ini, Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Manusia (ESDM) Provinsi Kepulauan Riau, Drs. M. Darwin, MT memastian secara langsung Pemprov Kepri belum mendapat salinan SK IUP perusahaan yang akan menambang pasir kuarsa di Natuna, baik dari Minerba dan atau BKPM.
Aktifitas tambang pasir kuarsa di Pulau Sebangka, Desa Laboh, Kecamatan Senayang, Kabupaten Lingga, Provinsi Kepri, yang sudah melakukan pengiriman keluar negeri, sempat menjadi buah bibir masyarakat. (Foto : Internet).
Menurut Darwin, Pemprov Kepri mengetahui keberadaan izin pasir kuarsa di Natuna melalui update informasi di Aplikasi MOMI Minerba. Seluruh perizinan pasir kuarsa di Natuna diterbitkan pada rentang 2021 oleh pemerintah pusat.
Saat ini lanjut Darwin, di IUP pasir kuarsa di Natuna dalam tahap kegiatan eksplorasi. Dimana dalam tahap ini dikaji tiga kelayakan diantaranya kelayakan teknis, kelayakan ekonomis dan kelayakan lingkungan. Dengan indikator dokumen Studi Kelayakan (FS) dan dokumen lingkungan (Amdal/UKL/UPL).
“Secara regulasi kelompok Mineral Bukan Logam dan Batuan (MBLB) memberikan kontribusi secara langsung kepada Pemkab Natuna. Dengan indikator Pajak Daerah MBLB yang 100 persen disetorkan ke Pemkab Natuna (jika perusahaan melakukan penjualan),” terang Darwin, menjawab koranperbatasan.com, Kamis, 14 April 2022 melalui telepon seluler.
Terpisah Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Kepulauan Riau, Hendri, ST ketika diminta keterangan terkait dokumen lingkungan mengaku tidak mengetahui adanya kegiatan tersebut.
Menurut Hendri, kegiatan tersebut bisa dibilang layak selama kebutuhan pasir digunakan untuk pembangunan dan kepentingan daerah Kabupaten Natuna. Oleh karenanya ia meminta para penambang melakukan koordinasi dengan instansi pemerintah baik pusat maupun daerah terkait pelaksanaan kegiatan tersebut.
Potret daratan Kabupaten Natuna yang masih terlihat asri berada di pinggir Sungai Segeram menyatu dengan Pulau Bunguran masuk Kecamatan Bunguran Barat, berbatasan dengan Kecamatan Bunguran Utara dan Bunguran Batubi salah satu kawasan strategis yang menjadi incaran pengusaha tambang. (Foto : Internet).
Kata Hendri, penerbitan dokumen Amdal untuk kegiatan tersebut bukan kewenangan pihaknya. Penerbitan persetujuan lingkungan berada pada KLHK sesuai UU Cipta Kerja (CK) dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22 tahun 2021.
“Tidak, mereka tidak menyampaikan. Kita harap mereka mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Melaksanakan ketentuan pelaksanaan kegiatan sesuai dengan Standart Operating Procedure (SOP),” ungkap Hendri, kepada koranperbatasan.com, melalui pesan WhatsApp, Selasa, 12 April 2022.
Hendri juga meminta kepada perusahaan yang akan melakukan penambangan pasir kuarsa di Natuna terlebih dahulu melakukan sosialisasi kegiatan kepada pemerintah daerah, termasuk tokoh masyarakat setempat, sebelum kegiatan pengembangan dilakukan.
“Mereka juga harus menyiapkan dana pinjaman untuk pemulihan fungsi lingkungan hidup sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan,” ujar Hendri.
Selain belum mengetahui secara pasti kemana pasir kuarsa tersebut akan dibawa. Hendri memastikan kegiatan tersebut akan berdampak buruk jika tidak memiliki izin.
“Cross check aja ke Pemkab Natuna, kalau tak berizin akan berdampak buruk,” tegas Hendri.
Ketua Umum Himpunan Penambang Kuarsa Indonesia (HIPKI), Ady Indra Pawennari.
Rencana investor China membangun smelter pasir kuarsa di Indonesia termasuk Kabupaten Natuna, Provinsi Kepulauan Riau ini mendapat dukungan dari Himpunan Penambang Kuarsa Indonesia (HIPKI) sebagaimana dilansir dari suarasiber.com terbit Minggu, 10 April 2022.
Dalam pemberiataan tersebut, HIPKI mendukung dan menyambut baik rencana sejumlah investor asal China yang ingin membangun smelter atau fasilitas pengolahan dan pemurnian pasir kuarsa di Indonesia.
“Kami pasti dukung. Jadi, investor tinggal menyiapkan rencana kerja dan modalnya. Kami siapkan lahan dan perizinannya,” ungkap Ketua Umum HIPKI, Ady Indra Pawennari, usai melakukan pertemuan dengan investor asal China di Sekretariat HIPKI, Menteng, Jakarta Pusat, Minggu, 10 April 2022.
Kata Andy, kepercayaan investor harus kita jaga dan kawal bersama. Jangan sampai mereka batal investasi karena tidak mendapatkan layanan informasi secara benar. Makanya, lanjut Andy, kami sampaikan kepada para investor, jika butuh informasi tentang pasir kuarsa, sila hubungi kami.
Chief Executive Officer (CEO) PT. Multi Mineral Indonesia, PT. Aneka Sumberdaya Indonesia dan PT. Intan Mineral Andalan ini, mengaku optimistis proses hilirisasi pasir kuarsa di Indonesia akan memberikan manfaat yang signifikan bagi perekonomian dan pembangunan di daerah.
Peta Natuna dalam fokus pembangunan pada kawasan strategis mulai dari industri, pariwisata hingga pembangunan pelabuhan bertarap internasional dan perikanan terpadu. (Foto : Internet).
“Pasir kuarsa ini merupakan mineral bukan logam jenis tertentu yang seluruh pajak dan retribusinya masuk ke Kas Daerah (Kasda) sebagai PAD. Jadi sudah pasti kontribusinya terhadap daerah cukup signifikan,” jelasnya.
Ady mencontohkan salah satu daerah di Indonesia, yakni Kabupaten Lingga, Provinsi Kepulauan Riau yang sudah menikmati kontribusi pajak dan retribusi daerah dari kegiatan ekspor pasir kuarsa dalam bentuk low iron silica sand.
“Kabupaten Lingga adalah salah satu daerah yang PAD-nya tidak mengalami penurunan akibat pandemi Covid-19. Bahkan, naik signifikan sejak pandemi Covid-19 mewabah di Indonesia pada awal tahun 2020. Ini karena ekspor kuarsa berjalan lancar,” pungkas Ady.
Perlu diketahui hingga bulan Januari 2022 Perda tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RT-RW) Kabupaten Natuna belum final. Apakah Perda Nomor 10 tahun 2012 tersebut memunculkan potensi perkara agraria pasca diberlakunya UU Kehutanan dan Penerapan Peta Kehutanan diakhir tahun 2021 lalu.
Penerapan UU Kehutaan ini bisa saja tidak semua kawasan atau lahan bisa diperjualbelikan meskipun masyarakat Natuna mengaku telah menguasai lahan dan kebun yang sudah dikelola atau dikuasai sebelum berlakunya UU Kehutanan dan peta kehutanan tersebut.
Dalam hal ini, pemerintah desa dan kelurahan hingga kecamatan khususnya di kawasan tambang pasir kuarsa harus mengerti sebelum mengeluarkan surat tanah.
Sebab DPRD Natuna melalui Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang berlangsung pada Kamis, 09 Desember 2021 lalu pernah mendapat penjelasan terkait perbedaan Peta Ruang Wilayah RT-RW Natuna dengan Peta Kehutanan Kementerian LHK RI. (KP).