Natuna Mendunia, Duduk Menjaga Marwah Berdiri Menjaga Tuah

Terbit: oleh -697 Dilihat
Penulis-dan-salah-satu-gambar-aksi-demo-yang-terjadi-di-Kabupaten-Natuna-Provinsi-Kepri

TAJUK KORANPERBATASAN.COM


MERASA bagaikan manusia lanang, berlari kencang mengitari matahari. Tak pernah terlintas rasa ingin berhenti. Sebelum hitam hati benar-benar menjadi arang. Ibaratkan perempuan cantik yang menjadi rebutan, bertemu buih di tengah lautan kecang gelombang harapan.

Begitulah Natuna saat ini, masyarakatnya bagaikan sedang dilatih untuk menjadi petarung hebat. Mereka dengan terpaksa diminta untuk mampu menghadapi berbagai persoalan besar. Begitu juga dengan para pemangku kebijakannya, mereka ditantang untuk dapat mengurai benang-benang kusut dan membuka simpul yang terikat erat.

Kata “Tolak” saat ini menjadi satu-satunya kalimat yang sering terucap oleh lisan dan paling sering terdengar oleh telinga. Jum’at 03 Januari 2020 dua organisasi besar menaungi beberapa organisasi kepemudaan di daerah perbatasan Negara Kesatuan Republik Indonesia tersebut dengan lantang menolak kejahatan illegal fishing dan klaim batas wilayah oleh China di perairan Laut Natuna Utara.

Pada Selasa, 14 Januari 2020 masyarakat kembali menggelar aksi penolakan terhadap pengiriman ratusan kapal nelayan Pantura ke Natuna. Mereka menolak karena menganggap kebijakan Pemerintah Pusat melalui Kementerian Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) RI sebagai solusi untuk mengusir nelayan asing yang mencari ikan illegal di ZEE kurang tepat.

Selanjutnya, Jum’at 31 Januari 2020, masyarakat beramai-ramai mendatangi rumah aspirasinya. Mendesak wakil rakyat yang mereka pilih segera mengadakan rapat. Menolak rencana evakuasi 200 lebih WNI dari Negeri Tirai Bambu ke tanah air melalui Bandara Internasional Hang Nadim, Batam, menuju Natuna. Penolakan itu dilakukan guna memperoleh kepastian keselamatan warga, terkait simpang siurnya informasi akan virus mematikan bernama corona.

Berbagai persolan datang bertubi-tubi. Menghantui masyarakat yang tinggal di daerah perbatasan, yang berbatasan langsung dengan negara-negara luar seperti Vietnam, Philipina, Malaysia, Singapore, Thailand, China, Kamboja, dan Brunei. Mereka bagaikan sedang diminta untuk berlari kencang mengejar ketidak pastian. Bahkan hampir tidak ada kepastian, karena apa yang sedang terjadi bukan keinginan.

Berbagai aksi penolakan pun terjadi. Hampir dilakukan oleh seluruh masyarakat. Bentrok dengan aparat tak dapat dihadari. Pekik tangis bercampur teriakan terdengar lantang. Besar kemungkinan hal ini terjadi karena masyarakat sudah benar-benar muak akan kebijakan sepihak yang dilakukan oleh pemerintah. Sementara ada beribu harapan penghuni kampung yang terabaikan. Sampai hari ini belum terjawab oleh pemerintah.

Semerbak terlelap. Bagaikan terkena sihir perempuan cantik. Mengejar waktu yang hanya tersisa sedikit. Untuk dapat mempersembahkan mahkota kebanggaan hidup. Mereka masyarakat Natuna duduk menjaga marwah, berdiri menjaga tuah. Berharap pemerintah tidak lagi hanya sekedar singgah mengantar Natuna ke dermaga cinta palsu yang selama ini disandarkan.

Karena perempuan cantik yang menjadi perumpaan hidup itu, adalah petaka. Belayarlah menuju samudera impian dan harapan. Meskipun dengan perahu kecil keterasingan. Karena jika diteruskan, pasti akan sampai ke negeri harapan. Seperti yang ada dalam doa penghuni kampung halaman. Menjadi azam diawal pengembaraan.

Pemerintah jangan lagi membiarkan masyarakat Natuna berjalan bersama lusuh dunia. Sebagai rakyat kecil tentu saja mereka tidak sanggup menahan beban amarah. Mereka ingin tarian perempuan mungil bertelanjang paha dan bertelanjang dada yang menjadi ibarat itu, segera enyah dari lamunan. Seperti malam yang gelap, mereka berharap dapat menghitamkan hati dari kebugilan cinta palsu seorang perempuan cantik.

Wahai sang pemangku kepentingan negeri. Melalui pesan ini aku titipkan doa. Pada sang penguasa hati pencipta jagad bumi. Ampunilah dosa-dosa para penguasa ya Allah. Dari kelalaian dan kelupaan yang kian menggoda. Yaaaa robbana, matikanlah mereka dalam keadaan beriman dan sempurna. Jangan dalam keadaan lalai dan durhaka.

Diseperempat abat kisah hidup. Aku mulai teringat mimpi silam. Aku terkenang rotan di tangan dan pakaian ketat tembus padang. Aku bermimpi kembali melewati belukar, lembah dan tebing terjal jalan menuju bangku sekolah. Aku terbangun dan menemukan risau hebat. Aku berbisik dan bertanya. Mengapa kampung halamanku tidak lagi indah seperti dulu.

Hari ini, aku milihat pohon rindang berubah menjadi kepingan yang tersusun rapi di dadalam gudang. Lembah berbukit dan tebing rata menyatu tanah. Bebatuan terjal indah mengagumkan binasa tergiling alat berat. Saat ini, kampung halaman tempat dimana darah rahim emak-ku tumpah melahirkan aku berubah menjadi ladang sumber penghasilan sekelompok orang. Mereka bagaikan kehilangan mata hati sehingga sulit untuk dimengerti.

Ratapan melihat pembangunan hanya berdasarkan keinginan untuk memenuhi hajat pemangku kepentingan. Mereka yang haus kekuasaan seakan-akan telah menciptakan pembangunan hanya untuk sekelompok orang. Pembangunan itu, telah mengurangi rasa kebersamaan dan melahirkan ketidak adilan. Karena yang dibangun bukannya kebutuhan, bukan pula untuk kepentingan penghuni kampung halaman.

Demo penolakan terus berlangsung. Penambahan pasukan pun terus berdatangan ke Natuna. Belum ada solusi atas aksi yang dilakukan warga. Bupati Natuna, Hamid Rizal dan Wakil Bupati, Ngesti Yuni Suprapti bersama Ketua DPRD, Andes Putra, Ketua KNPI, Ketua MPC Pemuda Pancasila, dan beberapa tokoh masyarakat akhirnya membawa aspirasi protes masyarakat menghadap Presiden RI, Ir. Joko Widodo di Jakarta.

Sebelum dapat bertemu langsung dengan Presiden Jokowi, rombongan pembawa harapan masyarakat Natuna ini terlebih dahulu bertemu Menko Polhukam, Mahfud MD. Menko Polhukam dengan senang hati menerima kunjungan utusan pembawa suara hati masyarakat Natuna yang saat itu didampingi Menkes RI, Mendagri, Kapolri dan Panglima TNI di Kemenko Polhukam, Selasa 04 Februari 2020.

Sementara beberapa tempat di Ibu Kota Kabupaten Natuna, terlihat sepi. Masyarakat diketahui mengungsi kesejumlah daerah. Ada yang kembali ke Pulau Tiga, Midai, Serasan, Sedanau dan Kelarik, bahkan berangkat keluar daerah menuju Tanjungpinang, Batam dan Kalimantan. Mereka masih cemas akan virus berbahaya yang belum ada penawarnya. Meskipun kementerian terkait memastikan 200 lebih WNI dari China yang ada di Natuna dalam keadaan baik dan bebas virus corona.

 

Kondisi pasca keberangkatan Bupati, Wakil Bupati, dan Ketua DPRD Natuna bersama rombongan menghadap orang nomor satu di Indonesia yang sempat mampir disalah satu siaran televisi dan disaksikan warga secara langsung lewat Indonesia Lawyers Club (ILC) setelah tiga hari demo akhirnya perlahan kondusif. Warga terlihat kembali beraktifitas seperti biasa, Natuna pun mendunia.

Sayangnya bebagai sorotan negatif dari luar Natuna datang bertubi-tubi. Sejumlah orang menganggap Natuna tidak berprikemanusiaan, karena menolak kehadiran saudaranya dari negeri orang. Padahal kenyataan sedang berkata, Natuna adalah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Natuna itu merah putih, masyarakatnya berdiri bukan karena tak sudi. Tetapi berdiri memelihara tuah negeri, tersebab duduk dianggap mati suri. (KP).


Koranperbatasan.com, Rabu, 05 Februari 2020


Nama Penulis : Amran 


Pekerjaan :

Capten Kapal Kargo KM. Singkarak Jaya (2002-2006)

Olimen Kapal Penumpang MV. Santosa 16 (2006-2007)

Salesmen Seperpak PT. Semangat Niaga (2007-2008)

Offic Boy Wisma Indo Bunga (2008-2009)

Pemimpin Redaksi SKU-TANTANGAN (2009-2011)

Pendiri SKU Revolusi Time (2011)

Kepala Gudang PT. Konsindo Bangun Perkasa (2017)

Pemimpin Redaksi Koran Perbatasan (2017-Sekarang)


Organisasi :

Pendiri Ikatan Kelurga Besar Segeram Natuna (2012)

Ketua LSM Revolusi Biru Natuna (2009-2013)

Sekretaris PWI Reformasi Korcab Natuna (2011-2013)

Ketua DPC Gerakan Indonesia Baru Natuna (2013-2015)

Ketua Umum Pelita Natuna (2011-Sekarang)


 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *