TANGGAMUS (KP), – Teknis penyaluran Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) di Pekon (Desa) Karangrejo, Kecamatan Semaka, Kabupaten Tanggamus, Lampung, harus dilakukan evaluasi. Pasalnya, antara struk yang digesek di kartu BPNT tidak sesuai dengan kualitas beras.
“Berdasarkan struk pada penggesekan kartu BPNT tersebut tertera nominal sebesar Rp 110 ribu yang masuk ke rekening pengelola e-warong. Artinya harga beras yang di kelola e-warung seharga Rp 11 ribu per kilo dan itu tidak sesuai dengan harga pasaran,” ujar Arian, Pengurus Lembaga Pemantau Percepatan Pembangunan Indonesia (LP-PPI) Kabupaten Tanggamus, Minggu (1/9/2019).
Menurutnya, pada proses penyaluran BPNT diduga ada banyak oknum yang memanfatkan wewenang untuk meraup keuntungan pribadi, seperti pihak e-warung dan pembantu pendamping PKH sendiri. Hal tersebut jelas merugikan Keluarga Penerima Manfaat (KPM) pemilik kartu BPNT.
Lanjut Arian, seharusnya dengan nominal Rp 110 ribu tersebut, masyarakat penerima manfaat bisa mendapat beras lebih bagus. Harga beras pasaran seperti beras yang dibagikan oleh e-warong itu adalah Rp 9 ribu dan sisanya bisa untuk bahan pokok lainnya seperti telur, namun kenyataannya masyarakat hanya mendapat beras 10 kilogram saja. Artinya bantuan dari pemerintah tidak sepenuhnya sampai pada masyarakat.
“Saya berharap agar pemerintah dapat mengevaluasi teknis penyaluran BPNT dan juga menindak oknum-oknum yang diduga dengan sengaja merugikan masyarakat demi keuntungan pribadi atau kelompok,” tegas Arian.
Sementara Poni selaku Ketua Kelompok PKH Lansia sekaligus pengelola e-warong Pekon Karangrejo, ketika dikonfirmasi mengaku bahwa pihaknya tidak mengetahui persis secara teknis mengenai hal itu. Beliau mengatakan hanya melakukan apa yang di perintahkan oleh pihak Bank. “Saya gak tau, pokoknya disini gesek, berasnya dateng dibagi gitu aja, isi satu sak nya 10 kilo,” ucap Poni, mengaku pengurus selalu memberi kabar dari pihak Bank dan beras yang datang langsung dibagikan.
Perangkat Pekon Karangrejo Budianto secara terpisah menjelaskan bahwa kepengurusan e-warong tidak melibatkan Aparatur Pekon. Sehingga beliau mengaku memang tidak memahami soal teknis kerja serta mekanismenya. Lanjut Budianto, terkait distributor beras, petugas yang diketahuinya adalah Zulyaden selaku Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan (TKSK) Semaka.
TKSK Semaka Zulyaden menyampaikan bahwa pihaknya hanya sebatas mitra kerja Dinas Sosial yang bergerak dibidang Pendamping Rastra. “Saya selaku TKSK hanya sebatas mitra kerja dan bertugas mengawasi, TKSK ini bukan pegawai, tetapi hanya relawan, tidak ada gaji, kalau masalah pengadaan beras bukan ke kami, ada bulog dan penyedia,” terang Zulyaden.
Zulyaden juga menyampaikan bahwa e-warung sudah diberi keuntungan sebesar Rp 5 ribu per Kartu KPM (Keluarga Penerima Manfaat) dari penyelia barang, untuk hal itu Zuyaden mengarahkan untuk konfirmasi langsung ke Dulkarim selaku penyelia. Sementara Dulkarim mengatakan bahwa dirinya hanya membantu pendamping PKH dan TKSK untuk pengadaan beras. “Saya hanya membantu untuk pengadaan beras, nominal bantuan BPNT kan Rp 110 ribu dari pemerintah masuk ke tiap KPM per bulan kemudian digesek masuk ke rekening e-warong,” tuturnya.
Dulkarim menegaskan, bahwa nominal Rp 110 ribu di rekening pemilik kartu BPNT realisasinya ke penyedia beras Rp 97 ribu untuk beras 10 kilogram, Rp 5 ribu adalah keuntungan pihak e-warong dan Rp 8 ribu untuk operasional distrubutor. “Harga beras Rp 97 ribu per 10 kilogram, otomatis pihak e-warong menahan Rp 5 ribu untuk keuntungannya dan yang Rp 8 ribu untuk operasional,” pungkasnya.
Hasil konfirmasi wartawan ke pihak penyedia beras, Duriat mengatakan bahwa pihaknya hanya penyedia barang sesuai harga pasaran. “Kalau beras yang udah ada mereknya saya jual Rp 9.500–Rp 9.700 per kilo, tapi kalau karungnya yang polos Rp 9 ribu, seperti yang saya jual pada pak Dulkarim untuk e-warong, itu yang harga Rp 9.000,” pungkasnya. (KP).
Editor : Muhammad Faisal
Pewarta : Arzal