Legenda Tok Ibo, Penduduk Pertama Mekar Jaya

Terbit: oleh -79 Dilihat
Lokasi Lagenda Diceritakanan (Sumber KompasBenua)

Zaman dahulu kala di bagian barat pulau Bunguran, hiduplah sepasang suami istri yang bernama Tok Ibo dan Tok Umbok. Mereka tinggal di hulu sungai dekat tanaman bakau dan membuat rumah panggung di sana. Mereka berdua tinggal di tempat tersebut sudah cukup lama dimana di tempat tersebut belum ada seorangpun yang tinggal kecuali mereka berdua. Kampung terdekat adalah kampung Aek Pantes yang terletak berkilo-kilo meter jauhnya.

Tok Umbok sangat suka memakan sirih, tangannnya hampir setiap saat menggenggam kaciep. Sementara Tok Ibo bekerja mencari ikan dan berburu dengan anjingnya. Tok Ibo juga sangat suka membuka lahan untuk berkebun. Zaman dahulu, siapa yang bisa membuka lahan membabat hutan, maka daerah tersebut akan menjadi miliknya. Itulah salah satu alasan Tok Ibo dan Tok Umbok berada di tempat ini. Mereka merasa tertantang untuk menaklukan daerah dekat hulu sungai tersebut.

Singkat cerita, pada suatu malam, Tok Ibo yang sudah tua renta itu menemui ajalnya, berpulang kerahmatullah. Kesedihan teramat sangat dialami Tok Umbok yang ditinggal pergi oleh suaminya selama-lamanya. Dalam ia bersedih, disitu pula ia merasa kebingungan, siapa yang akan menyelenggarakan jenazah suaminya, terlebih haripun sudah malam, gelap gulita. Tok Umbok pun memutuskan untuk menuggu hari terang esoknya, agar ia bisa ke kampung Aek Pantes untuk meminta pertolongan warga di sana.

Dalam kesedihan dan kebingungannya itu, tiba-tiba entah dari mana asalnya datang serombongan orang-orang yang terlihat dari remang-remang malam dengan busana putih-putih dan bersorban ke rumah tok Umbok.

“Alhamdulillah, Tok Leboy datang.”, kata tok Umbok dengan perasaan gembira.

Tanpa berikir panjang Tok Umbok segera mempersilahkan rombongan tok Leboy untuk masuk. Rombongan tok Leboy masuk sementara Tok Umbok duduk berlipat kaki satu di dapur rumah sambil menyiapkan hidangan seadanya. Rombongan tok Leboy langsung duduk di dekat jenazah Tok Ibo dan mulai berdzikir.

“La ilah hel, ngap, la ila hel ngap, lah ilah hel ngap”.
Begitu terdengar suara “dzikir” yang dilantunkan rombongan Tok Leboy. Tok Umbok merasa ganjal dan aneh, namun ia masih bisa berprasangka baik dengan rombongan ini.

“La ilah hel, ngap, la ila hel ngap, lah ilah hel ngap”.
Lantunan dzikir aneh itu terus terdengar sehingga membuat Tok Umbok penasaran, terlebih ketika mereka berdzikir, suaranya seperti sedang mengunyah sesuatu, padahal hidangan dari Tok Umbok belum lagi disajikan. Ditengah rasa penasaran bercampur ketakutan itu, Tok Umbok memberanikan diri kedepan untuk melihat apa yang dilakukan rombongan Tok Leboy.

Dalam remang-remang cahaya bulan yang masuk ke dalam gubuk kecil mereka, betapa terkejutnya Tok Umbok ketika melihat jenazah suaminya sudah tidak utuh lagi, daging-daging Tok Ibo sedikit demi sedikit dikutes oleh Tok Leboy dan rombongannya. Perasaan sedih dan takut bercampur baur didalam benak Tok Umbok, ingin rasanya berteriak minta tolong namun ia takut ketahuan rombongan Tok Leboy ini, dan juga tiada siapapun yang bisa menolong, karena kampung terdekat dari rumah mereka sangatlah jauh.

Tak hilang akal, Tok Umbok berpura-pura menjatuhkan kaciep yang digenggamnya ke bawah rumah. Lalu ia meminta izin untuk mengambil kaciep tersebut di tanah sambil membawa pelite. Setelah tiba di bawah rumah, Tok Umbok yang masih penasaran kembali mengintip rombongan Tok Leboy yang sedang menyantap suaminya tersebut. Benar saja, rombongan Tok Leboy tersebut tidak menjejaki lantai rumah, mereka melayang dan mengambang di udara. Saat itu pula Tok Umbok merencanakan untuk melarikan diri. Untuk mengelabuhi rombongan hantu itu, pelita yang dibawa Tok Umbo diikat pada ekor anjing peliharaannya dan diberi perintah agar lari ketika waktunya tiba untuk mengelabuhi rombongan hantu ini.

Kemudian dengan serta merta Tok Umbok lari menyelamatkan diri menuju Aek Pantes untuk meminta pertolongan. Tok Umbok lari sekuat tenaga tak peduli berapa jauhnya. Tok Umbok tetap berlari menyelamatkan diri, sedih, letih, dan takut bercampur baur di dalam diri Tok Umbok mengenang kejadian yang baru saja ia alami. Setelah tiba di kampung Aek Pantes, ia langsung meminta pertolongan warga sekitar.

Kemudian Tok Umbok bersama warga Aek Pantes langsung menuju ke rumah Tok Umbok di hulu sungai. Setelah tiba di rumah, apa yang didapat Tok Umbok sangat menyayat hati. Jenazah suami tercintanya sudah tinggal tulang-belulang. Kondisi tersebut membuat warga termasuk tok Umbok merasa sangat ketakutan. Mereka serta merta lari untuk menyelamatkan diri. Sementara tulangbelulang Tok Ibo dibiarkan begitu saja di gubuknya.

Cerita Tok Ibo dan Tok Umbok ini merupakan cerita rakyat yang sudah turun-temurun diceritakan oleh para orang tua di kampung. Tempat tinggal Tok Ibo dan Tok Umbok yang berada di hulu sungai dengan satu tanaman bakau itu saat ini disebut dengan Pian Nyigheh .

Sementara tulang-belulang Tok Ibo ini menjadi misterius, terkadang terlihat, terkadang tidak. Beberapa kesaksian warga menceritakan pernah menemukan tulang-tulang di Pian Nyigheh tersebut.
1. Kaciep = alat untuk membelah buah pinang
2. Leboy = sebutan untuk orang yang paham agama
3. Kutes = mengambil sedikit demi sedikit
4. Pelite = lentera, pelita, obor kecil untuk pencahayaan
5. Pian = Tepian, sisi sungai, atau tempat menambatkan perahu / kolek
6. Nyigheh = Tanaman Nyirih, salah satu jenis Mangrove yang memiliki buah seukuran jeruk bali


Narasumber :
Zainab, warga Dusun Sebuton, 85 th
Romli, warga Dusun Air Batang, 75 th

Sumber : KompasBenua


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *