NATUNA (KP),- Komunitas Natuna Sastra mengadakan panggung seni budaya daerah untuk menghibur warga sekaligus melestarikan budaya tempatan dan menjawab klaim China terhadap Laut Natuna. Kegiatan diselenggarakan di Pantai Piwang, Ranai, Natuna, Sabtu, 04 Januari 2020.
“Menguatkan budaya daerah untuk melawan klaim China atas wilayah Natuna. Kita interpensi melalui seni budaya,” kata Destriyadi Imam Nuryaddin, Koordinator Komunitas Natuna Sastra pada koranperbatasan.com diselah acara panggung budaya tradisional, Sabtu malam.
Kata Destriyadi kegiatan diikuti berbagai komunitas, diantaranya Benua, Sangar Taramaya, Dina Mahkota, dan Kelompok Seni Topeng. “Kegiatan kita didukung oleh Dinas Pariwisata dan Budaya Kabupaten Natuna serta Perkim untuk pasilitas tempat. Tetapi untuk kegiatan kita swadaya teman-teman,” ujarnya.
Selain mempertegas posisi Natuna atas klaim China kegiatan tersebut juga akan dilaksanakan secara rutin untuk melestarikan budaya tradisional, khususnya budaya tempatan.
“Disamping mempertegas dan interpensi masalah itu, tujuan kita ini sebenarnya lebih pada melestarikan tradisi, membangkitkan budaya lokal yang kami liat lambat laun akan punah jika tidak ada tindakan nyata seperti ini,” jelasnya.
Sementara itu, dari berbagai peserta kelompok topeng salah satu tampilan klasik yang menjadi perhatian para penonton. Kelompok yang terdiri dari 8 orang itu adalah bagian satu kesatuan dengan Lang Lang Buana yang dipimpin oleh Anuar. Sedangkan Seni Topeng dipimpin oleh Darmawan dari Kampung Kelanga.
“Seni ini tidak sama dengan Mendu. Beda walaupun hampir mirip, bedanya kalau Mendu mengisahkan tentang kehidupan di bumi, kalau Lang Lang Buana hingga kayangan,” sebut Anuar.
Sedangkan kesenian topeng mengisahkan tentang sekelompok kesatria sakti dari para 7 Raja Indra Buana menguasai bumi hingga kayangan. “Kalau topeng mengisahkan si anak raja yang sakit, lalu ada seorang nujum yang dapat menyembuhkan anak raja tersebut, hanya melalui hiburan rakyat,” kata Darmawan.
Maka, lanjut dia, turunlah perintah raja kepada kesatria topeng untuk mengobati sang anak raja dan anak raja tersebut sembuh. “Kenapa pakai topeng? karena mereka malu mereka orang kampung, orang gunung, orang yang tinggal di hutan Pulau Bunguran, mereka tidak mau dikenal,” terang Darmawan.
Menurutnya, cerita ini sudah turun temurun dari nenek moyang mereka yang telah menjadi legenda. “Cuma kalau seni ini jadi suatu hiburan dimulai sejak kepepimpinan Wan Datuk Kaya, dan kami ini generasi ketiga,” tuturnya. (KP).
Laporan : Cherman