Webinar Antar Bangsa Mengembalikan Natuna Sebagai Pusat Poros Maritim Dunia

Terbit: oleh -53 Dilihat
H. Umar Natuna, S.Ag, M.Pd.I narasumber utusan dari Pusat Kajian Tamadun Melayu

NATUNA – Yayasan Abdi Umat (YAU) bekerjasama dengan Pemerintah Daerah Kabupaten Natuna, melalui Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Kabupaten Natuna, Provinsi Kepulauan Riau, akan mengadakan Webinar Antar Bangsa dalam rangka Milad STAI Natuna Ke-19 dengan tema “Mengembalikan Natuna Sebagai Pusat Poros Maritim Dunia”.

Kegiatan yang dijadwalkan berlangsung pada hari Sabtu, 04 September 2021 pukul 09:00 – 14:15 WIB di Aula Kampus STAI Natuna Lantai 4 secara virtual (Zoom Meeting) tersebut menghadirkan Wakil Bupati Natuna Rodhial Huda sebagai Keynote Speaker, dengan moderator Lukman Nurchakim, S.Ag, MA, dan Drs. H. Kamaruddin, MM, M.Si.

Kegiatan yang dibagi menjadi dua sesi tersebut, menghadirkan narasumber, Nik Abdul Rakib bin Nik Hasan (Pusat Kajian Nusantara), Assoc Prof. Dr. Mohammad Reevany Bustami (Universitas Sains Malaysia), H. Kartubi, SE, MEI, (Ketua STAI Natuna), Dr. Bambang Sulistiyono (Universitas Dirgantara), Datuk Rida K. Liamsi (Sejarawan dan Budayawan Kepri), H. Umar Natuna, S.Ag, M.Pd.I (Pusat Kajian Tamadun Melayu), dan Dr. Muhammad Hadi bin MD Melayong (Pusat Kajian Sejarah Brunei), serta Dr. Ali Maksum (Universitas Muhammadiyah Yogyakarta).

Pembina Yayasan Abdi Umat Kabupaten Natuna, H. Umar Natuna, S.Ag, M.Pd.I, juga salah satu dari sembilan narasumber webinar, ketika diminta tanggapannya mengatakan, “Mengembalikan Natuna Sebagai Pusat Poros Maritim Dunia” bagian dari merajut kembali jaringan keagamaan (ulama) dan pendidikan di Bandar Maritim Natuna, termasuk adat hidup sama sekampung, tunjuk ajar sambung menyambung, adat hidup senegeri, tunjuk ajar sama mewarisi dan adat hidup sama sebangsa serta tunjuk ajar sama dirasa.

“Pendidikan bukanlah menabur benih pada dirimu, melainkan menumbuhkan benih-benih yang ada dalam dirimu,” sebutnya kepada koranperbatasan.com melalui pesan WhatsApp, Kamis, 02 September 2021 malam.

Kata H. Umar Natuna, senarai masa lalu Natuna adalah pusat dan pintu masuk  persinggahan berbagai kapal perniagaan dari berbagai bangsa. Perkampungan tua yang disingahi antara lain Segeram, Seluan, Kelarik, Seluan, Setahas, dan tercatat sejak 1350 M laut Natuna telah dilayari dan disinggahi berbagai kapal dari Majapahit, Sangka (Thailand), Cina, Arab dan Persia.

“Perkempungan Larik, Setahas, Siantan, Jemaja, Pulau Midai, Pulau Panjang dan Serasan (Wan Modh Shaghir Abdullah, 2002),” katanya.

Ia menjelaskan, Tome Pires mencatat bahwa di Kesultanan Malaka terjalin perdagangan Muslim asal Persia, Banggal dan Arab setelah beralih dari Samudera Pasai. Salah satu ciri perkembangan kawasan Kepulauan Riau, termasuk Natuna terdapat kehidupan maritim dan perkotaan. Penduduknya adalah pelaut, nelayan dan tukang, bersifat urban, karena masyarakat maritim selalu berhubungan dengan luar negeri untuk berdagang dan lainnya (Ong Hok Ham, 2007).

Jaringan ulama (keagamaan) dan pendidikan dikawasan Asia Tenggara, tentu tidak terlepas dengan Natuna, dimana terjadi proses islamisasi. Islamisasi diawali dari Kesultanan, Perlak, Samudara Pasai (Abad 13), terus ke Kesultanan Malaka, Johor dan seterusnya sampai ke Natuna, ketika Engku Fatimah mengislamkan Demang Megat keturunan bangsawaan Fatani.

“Bukti-bukti arkiologi, literasi, aksara dan tokoh agama (ulama) dapat kita jumpai dalam berbagai tempat, Situs Makam Keramat Binjai, Situs Makam Tua Kampung Segeram, naskah kitab, tulisan lafaz berupa Allah, kalimat syahadat dan nama sahabat Nabi di Mimbar Mesjid Baitul Makmur di Mahligai Desa Sungai Ulu,” jelasnya.

Banner Webinar Antar Bangsa, Mengembalikan Natuna Sebagai Pusat Poros Maritim Dunia

Ia mengatakan aktivitas keagamaan dan pendidikan di Natuna diperkirakan dilakukan oleh berbagai kalangan mulai dari Fatani, Semanjung Malaysia, Brunai, Banjar, Bugis, dan lain-lainnya.

Masyarakat Islam Fatani, mengutus seorang pendakwah bernama Haji Wan Abu Bakar bin Wan Taksim/Taklim berasal dari Pulau Bunguran menyebarkan Islam. Anaknya Haji Wan Abdul Rahman, Imam Masjid pertama di Masjid Jamik Baitul Rahman Sabang Mawang Midai, kemudian ada Syeikh Muhammad Nasir Pulau, Haji Muhammad Yunus Ahmad.

“Aktivitas agama dan pendidikan di Natuna masa lalu bertumpu pada rumah-rumah tok guru, masjid dan baru kemudian ke madrasah,” tuturnya.

Sedangkan transformasi dari istana, masjid ke madrasah, lanjut H. Umar Natuna, masa-masa awal proses islamisasi dan pendidikan di Alam Melayu bermulai dari istana, mesjid kemudian bertransformasi ke madrasah.

Menurutnya, istana telah menjadi pusat pengembangan ilmu pengetahuan dimana berkumpulnya para cerdik pandai baik dari dalam maupun dari luar istana. Selain itu, istana juga menjadi pusat dakwah Islam yang terintegrasi dengan mesjid.

“Dari istana, mesjid inilah kemudian proses pendidikan bertransformasi ke madrasah. Madrasah Al-Hamidah di Kedah, Madrasah Al-Iqbal di Singapura, Al-Khoirat di Jakarta, Madrasah Adabiyah, Padang (M. Murtadlo, 2018), Madrasah Assegaf di Singapura, tempat orang Natuna belajar,” terangnya.

Begitu pula dengan muatan Bandar Maritim Melayu, salah satu ciri peradaban Melayu adalah ada bandar, aktivitas literasi (pendidikan) dan mesjid (tempat beribadah). Tradisi keilmuan Melayu di topang oleh istana (pemerintahan), kepengarangan (buku) dan penerbitan.

“Pujangga Melayu Raja Ali Haji dalam Guridam 12 menyebutkan tiga aspek yang harus dimiliki oleh masyarakat yang maju, yaitu ilmu, akal dan adab, diplomasi politik dan perdagangan,” pungkasnya.

Dari modal dan kekuatan serantau, modal sejarah dan budaya yang sudah berurat berakar di masa lalu adalah kekuatan untuk membangun kembali jaringan keagamaan dan pendidikan. Bahasa Melayu adalah media utama untuk megembangkan aktivitas keagamaan dan pendidikan saat itu.

Merajut jalinan persaudaraan dan aktivitas keagamaan, serta pendidikan bersama Fatani (Thailand) Malaysia (Kelantan-Terangganu, Serawak, Brunai dan Natuna,” imbuhnya.

Sejalan dengan itu, Natuna tentunya layak menjadi pusat poros maritim dunia baru. Kabupaten Natuna harus diproyeksikan menjadi pusat poros maritim dunia baru berbasis kesetaraan, kesejehtaraan dan perdamaian sejati.

Oleh karena itu, Natuna harus memiliki pusat literasi (pendidikan) berbasis Tamadun Melayu, berbasis nilai dan kepribdian bukan perbasis daya saing, melainkan berorientasi peningkatan kualitas hidup yang bersandar pada tindakan bernilai (valuable acts), berkesempatan (oppprtunities) dan kebebasan (freedom).

Mesjid  dikembangkan sebagai pusat perubahan peradaban dan evaluasi prilaku para penyelenggara pemerintahan. Sedangkan ulama dikembalikan sebagai penjaga moral dan pelita sosial dan spritual.

“Transaksi  ekonomi dan perdangan berbasis industry pangan halal dunia, dan peningkatan status wilayah kabupaten menjadi setingkat provinsi khusus maritim,” tegasnya.

Ia mengungkapkan langkah awal keagamaan dan pendidikan jaringan kerjasama antar negara, bangsa, serumpun, serantau Fatani (Thailand), Malaysia, Berunai dan Natuna dalam waktu dekat ini awalnya saling bertukar pelajar, mahasiswa, dosen dan ulama. Mengembangkan  suatu model pendidikan bersama yang ramuan kurikulumnya berbasis pada Tamadun Melayu.

“STAI Natuna siap membuka program studi bersama sebagai langkah awal pengembangannya, mengembangkan donasi bersama untuk beasiswa bagi putra-putri terbaik negara serumpun,” pungkasnya.

Sebagai renungan penutup, H. Umar Natuna mengingatkan bahwa sejarah adalah perlombaan antara pendidikan dan malapetaka (H.G. Wells). Jika ingin meletak seseorang di atas alas sejarah taruklah guru. Mereka adalah pahlawan masyarakat (GUY Kawasaki).

“Belajar dari masa lalu, hidup untuk hari ini, berharap untuk masa depan, yang penting jangan berhenti mempertanyakan (Albert Eistein),” tutupnya. (KP).


Laporan : Johan


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *