Jejak Perjalanan, Kisah Nyata Bagian (2) Rapid Test Antibodi Vs Antigent

Terbit: oleh -65 Dilihat
Amran

PUKUL 14.15 siang itu, Afrizal tidak buru-buru, dengan santai ia menghentikan mobil di area parkir Pelabuhan Selat Lampa. Sebab, kapal penumpang berbendera merah putih buatan Galangan Jos L Meyer Papenburg Germany tahun 1994 itu, belum menampakan diri.

Padahal sesuai jadwal, kapal angkutan penumpang yang masih terbilang setia melayani masyarakat maritim kepulauan sejak tahun 90-an itu, akan bertolak pukul 07.00 Wib dari Pelabuhan Selat Lampa, Kabupaten Natuna menuju Pelabuhan Tarempa – Letung – Batam – Belinyu  dan Tanjung Priok.

“Belum masuk! Infonya kapal agak terlambat, mungkin karena angin kencang dan ombak tinggi, harap maklum,” tutur Omi salah seorang pengusaha jasa konsultan yang kebetulan sedang menjemput kelurganya datang menggunakan kapal tersebut dari Kecamatan Midai. “Kapal kan belum masuk, pesan kopi dulu, kita ngobrol,” ujar Omi tersenyum.

Saya, Afrizal dan Omi duduk berhadapan di kantin depan pintu keluar masuk Pelabuhan Selat Lampa yang sebenarnya adalah tempat bongkar muat Bahan Bakar Minyak (BBM) milik Pertamina. Usai memesan minuman sesuai selera, kami pun berkelakar sampai KM Bukit Raya menampakan dirinya.

Saat itu, arloji pada tangan saya mengarahkan jarum pendeknya pada angka 2, sedangkan jarum panjang berada diantara angka 7 dan 8. Nah! Itu lah sebabnya mengapa saya membuat surat rapid test dan membeli tiket jauh-jauh hari sebelum keberangkatan. Memang sudah menjadi kebiasaan disetiap saya melakukan perjalanan bersama “Sang Donald Bebek”  yang kelelahan.

Kami bertiga beranjak dari tempat duduk, lalu berpisah meninggalkan kantin terbuat dari rakitan kayu hutan secara tradisional itu, saat pengeras suara dari dalam kapal memberi sinyal kedua dan penumpang turun sudah tampak berkurang.  Sebelum beranjak pergi, saya terlebih dahulu memegang uang 50 ribu, kemudian menyalami Afrizal sambil menggenggam erat tangannya dan berkata “Jal! terima kasih, abang izin ke Tanjungpinang dulu ya,” ucap saya tersenyum.

Saat itu, Afrizal tampak bimbang, bukan karena salam tempel uang 50 ribu. Tetapi tentang Rapid Test Antibodi yang saya miliki, karena ia tahun bahwa di Pelabuhan Kota Batam memberlakukan Rapid Test Antigent. Sebagai seorang sahabat, Afrizal ikut merasa kuatir akan nasib saya saat turun di Batam nanti. “Iya bang, hati-hati! mudahan tidak ada masaalah di Batam,” imbuhnya.

Afrizal adalah salah satu sahabat juga rekan kerja yang saya kenal beberapa tahun silam. Secara pribadi saya menganggap ia adalah bagian dari keluarga. Usai bersalaman kami pun berpisah. Dengan langkah pasti, saya langsung menuju tangga pintu masuk KM Bukit Raya. Setelah melalui proses pengecekan protokol kesehatan, saya kemudian bergegas menuju Dek 5 bagian belakang.

Duduk di kursi panjang deretan penumpang kapal, dengan tatapan mata tepat mengarah ke puncak gunung. Posisi kapal bersandar di dermaga berada dibagian kaki gunung menyatu lautan luas. “Kopi mas?” tanya seorang pedagang di atas kapal menawarkan jualannya. “Iya, kapal api,” kata saya menjawab tawarannya.

 

Kopi siap saji tinggal dinikmati, spontan saya memasukan tangan ke saku celana bagian depan, lalu mengambil uang tersimpan didalamnya. “Berapa,” tanya saya. Dengan cepat si pedagang menjawab “10 ribu mas,” katanya tersenyum. Setelah mebayar, si pedagang pun pergi. Saat itu, saya menemukan uang tersisa hanya tinggal 100 ribu.

Dari pengeras suara terdengar petugas mengumumkan tiga puluh menit kedepan kapal akan segera diberangkatkan menuju Pelabuhan Tarempa Kabupaten Kepulauan Anambas. Petugas juga meminta para pedagang dan pengantar serta pengunjung untuk segera turun. Tali di ponton dermaga Pelabuhan Selat Lampa terbuka, KM Bukit Raya pun berlayar, haluannya menuju Pelabuhan Tarempa. Saat itu, jam menujukan pukul 16.00 Wib. Berbekal surat Rapid Test Antibodi dan uang saku yang tersisa Rp 100 ribu, saya berlayar menuju Tanjungpinang Ibu Kota Provinsi Kepri.

Angin bertiup kencang, malam itu ruangan kapal terlihat sepi. Gerak terasa luas, tidak seperti biasa yang selalu sesakan dada. Entah lah! Saya juga tidak mengerti, mengapa transportasi laut antar pulau terluar itu sepi penumpang. Adakah karena masa Pandemi Covid-19 berkepanjangan yang sarat dengan aturan.

 

 

Sebelumnya, saat berada di dalam kapal, saya sempat bertemu dengan salah seorang karyawan PT Pelni yang bertugas di Natuna. Dengannya saya sempat bertanya terkait surat Rapid Test Antibodi yang saya miliki. “Aduh maaf bang, kayaknya di Batam ketat, disini kami bisa saja naikan, tapi kami tidak berani jamin saat turun di Batam nanti,” tegasnya.

Saat itu, saya sempat melontarkan beberapa pertanyaan kepadanya. Pertama mengapa Pelni tidak mengumumkan atau memberitahu kepada calon penumpang kapal sebelum berangkat?. Kedua kenapa pihak terkait seperti rumah sakit dan agen penjualan tiket juga tidak memberitahu kepada calon penumpang, bahwa mereka harus Rapid Test Antigen bukan Rapid Test Antibodi?.

Menjawab pertanyaan, yang bersangkutan mengatakan, mereka baru menerima informasi pada Senin, 11 Januari 2021 saat kapal dalam perjalanan menuju Natuna. “Maaf bang, kami juga baru dapat informasinya tadi pagi. Saat itu, saya langsung share ke Facebook dan beberapa group WhatsApp. Peraturan itu, mulai diberlakukan tanggal 09 Januari 2021,” terangnya.

 

“Lalu bagaimana dengan daerah 3T (Terluar, Terdepan dan Tertinggal) apakah diberlakukan juga?,” tanya saya kembali. Dengan cepat ia menjawab, “saya kurang paham juga bang, memang 3T peraturan dikelurkan oleh pemerintah pusat dan daerah menyesuaikannya. Nah! dari peraturan itu, Batam menerapkan Rapid Test Antigent. Jadi kami tidak berani jamin apakah penumpang yang Rapid Test Antibodi nantinya bisa turun di Batam,” pungkasnya.

Teringat akan penjelasan itu, mata pun tak mampu terpejam, meski sudah beberapa kali merebahkan badan di atas kasur bernomor 199. Berbatang-batang rokok bergiliran di bibir, asapnya bertaburan terbawa angin kecang musim utara. Lautan tampak tak bersahabat, gelombangnya tinggi membuat kapal seperti menari-nari. Malam itu, benar-benar gelap, dari pancaran cahaya lampu sesekali terlihat hujan turun begitu deras.

Waktu terus berjalan, KM Bukit Raya baru berhasil bersandar dengan baik di Pelabuhan Tarempa, sekitar pukul 03.15 Wib. Memang agak telat, biasanya jika cuaca mendukung dari Natuna – Tarempa hanya memakan waktu 9 jam saja. Di Tarempa saya sempat menelepon salah seorang rekan kerja, meminta tolong agar dibelikan beberapa jenis obat, maklum badan mendadak tak kuat. Perut mual kepala pusing terasa seperti ingin muntah.

 

 

Usai menurunkan dan menaikan penumpang, KM Bukit Raya kemudian melanjutkan perjalanannya menuju Pelabuhan Letung, sebuah daerah maritim kepulauan berada dalam wilayah Kabupaten Kepulauan Anambas, sama dengan Tarempa. Kapal bertolak bersamaan dengan suara azan sholat subuh dikumandangkan. Dalam perjalanan Tarempa – Letung, saya tertidur. (Bersambung).


Penulis : Amran


 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *