Perubahan Menjungkir Balik Nilai Budaya Kemajuan Membuat Kita Melangkah Mundur Melayu Bagaikan Kehilangan Arah

Terbit: oleh -47 Dilihat
Anizar-Sulaiman-Ketua-Organisasi-Masyarakat-Ramai.

 

Apakah pestapora di hasilkan dari keringat sendiri. Atau pestapora dari hasil merampok kepunyaan banyak orang. Nah, ini sudah tidak lagi di anggap haram. Tetapi di anggap biasa saja. Artinya kita sudah memaafkan kedurjanaan, disebut dekaredisi moral. Sungguh luar biasa tejadi dalam persepektif kebudayaan. Karena sudah terlepas dari akar kebudayaan. Maka mereka tidak lagi mengenal budaya Melayu itu, seperti apa. Natuna dalam hal ini, adalah sebagian kecil dari kekacauan kebudayaan nasional. Kita sedang mengalami fase gelombang ketiga dari sistim kebudayaan dunia “ Anizar  Sulaiman ( Ketua Organisasi Masyarakat Ramai Kabupaten Natuna).

Natuna, (KP), – Menurut Anizar, lahirnya budaya materialisme mendeteksi moral telah membuat generasi cenderung menganggap sepele sesuatu membahayakan dirinya. “ Kita bisa melihat hari ini pelacur tidak lagi di lokalisir. Tetapi sudah massif di tengah kehidupan kita. Bahkan di lapangan terbuka sekalipun.  Kita cendrung untuk permisif terhadap kemaksiatan yang ada di depan hidung kita. Tetapi hidung kita tumpul untuk mencium semua itu. Mata kita juga sudah kabur, bahkan buta untuk melihat kenyataan realitas. Secara moral kita sudah luar biasa “ beber Anizar.

Saat ini, perubahan kemajuan suatu daerah justru mengarah pada kekacauan nilai budaya. Karena kerukunan sudah mulai jauh dari kehidupan. Kemudian kepedulian juga sudah mulai hilang. Kemajuan budaya sekarang bercermin kepada yang disebut materialisme. Merupakan budaya karya pemimpin. Karena pemimpin menjadi contoh singnifikan. Pemimpin mengkampanyekan, terlepas mereka sadar atau tidak “ ujar Alizar Sulaiman saat berkunjung ke Sekretariat Koran Perbatasan Minggu (10/1) kemarin.

Menurutnya, kamajuan materialisme budaya saat ini bisa dengan mudah terjadi. Semua itu, dikarenakan nilai budaya warisan generasi sebelumnya, sudah tidak di hiraukan lagi oleh generasi hari ini. Tanpa di sadari, kekacauan nilai budaya, dengan sendirinya lahir dan berkembang pesat. Hal tersebut karena banyaknya pemimpin merebut kekuasan dengan cara tidak benar. “ Materialisme semacam tauhid baru, yang muncul sekarang ini. Kenapa demikian, karena pencapaian-pencapaian kekuasaan dilakukan dengan maney politik. Membuat paradigma masyarakat berubah oleh racun maha dahsyat. Sehingga budaya saat ini menjadi kacau nilai. Terutama moral yang terdeteksi habis terguras oleh materialisme. Karena nilai-nilai lama di pegang oleh moyang, sudah di tinggalkan “ ujar Anizar.

Kata Anizar, budaya baru berupa matrialisme tidak kuat di pegang oleh masyarakat. Karena semangat yang lahir saat ini adalah materialisme tidak sehat. Pada akhirnya berhasil melahirkan kekacauan nilai budaya. “ Kalau kita mengatakan semagat hari ini adalah matrialisme biadap. Bukan matrialisme menuju kepada suatu semangat nilai-nilai baru. Dari sebuah pergolakan materialisme kapitalis. Kemudian menjadikan masyarakat ini demokratis. Tetapi demokrasi justru malah menciptakan kekacauan. Karena ada yang salah mengapresiasi atau memahami nilai-nilai demokrasi itu. Sehingga demokrasi menjadi ruang membuat kekacauan nilai budaya “ gerah Anizar.

Dalam hal ini, Anizar menilai kemajuan malah membuat kita melangkah mundur. Bukan kemajuan progresif, atau kemajuan memberikan martabat. Tetapi kemajuan membuat kita jatuh kejurang kehancuran. Anizar menganggap orang-orang di negeri ini sepakat tentang kemajuan demikian. Sebab ada banyak orang mengatakan bahwa negeri sudah berkembang dan maju. Padahal dengan hadirnya dunia-dunia edunisme, hiburan yang mengedepankan glamour pestapora. Dinilainya sangat bertantangan dengan nilai dan makna budaya Melayu  sebenarnya.

“ Apakah pestapora di hasilkan dari keringat sendiri. Atau pestapora dari hasil merampok kepunyaan banyak orang. Nah, ini sudah tidak lagi di anggap haram, tetapi di anggap biasa saja. Kita sudah pemisif, artinya memaafkan kedurjanaan, yang disebut dekaredisi moral. Sungguh luar biasa tejadi dalam persepektif kebudayaan. Karena sudah terlepas dari akar kebudayaan. Maka mereka tidak lagi mengenal budaya Melayu itu, seperti apa. Natuna dalam hal ini, adalah sebagian kecil dari kekacauan kebudayaan nasional. Kita sedang mengalami fase gelombang ketiga dari sistim kebudayaan dunia “ jelas Anizar tersenyum.

Khusus di Natuna, Anizar melihat moralitas, budi pekerti, jati diri dan keperibadian, orang-orang Natuna jika di bandingkan dengan sebelum Natuna berkembang menjadi Kabupaten, di akuinya banyak perubahan. “ Jika melihat kebelakang bahwasanya orang-orang Natuna itu, rukun, saling menghormati sesama. Bukan karena faktor materialisme. Dulunya mereka menghormati sesama sesuai harkat martabat. Bukan dari faktor jabatan, kekuasaan dan uang. Hari ini bukan saja berubah dalam pengertian yang kita sebut sesuai dengan harkat martabatnya. Tetapi justru menjungkir balikkan. Artinya martabat kita sedang di pertaruhkan kejurang kehancuran “ tegas Anizar seraya mengingat-ingat seperti apa kehidupan orang-orang Melayu Natuna tempo dulu.

Seharusnya, lanjut Anizar ada gerakan revolusi moral. Kembali ke dasar restorasi moralitas, dan budi pekerti. “ Nah ini, jalan minimal secara instisisional kita bisa membentuk apa yang disebut dengan majelis adat. Didalam majelis itu, duduk para pemangku adat. Duduk anggota dewan adat, dan disana ada lembaga adat di pimpin oleh para pemangku adat. Pemangku adat itu harus jelas, yang berperan aktif adalah mereka terpanggil atas kondisi sosial budaya saat ini. Siapapun dia, dari manapun asalnya, apakah dia secara etnik disebut orang Melayu kecil, atau Melayu besar “ pungkas Anizar.

Lebih jauh lagi, Anizar menjelaskan yang harus terpanggil, adalah generasi hari ini. “ Kita tidak boleh terlalu banyak membiarkan, jangan di pegang oleh orang sudah mendekati bau kubur. Membangun ini harus di mulai dari generasi muda. Pemerintah adalah motipator, memberikan ruang tumbuhnya semangat kaum muda agar terpangil untuk berfikir membangun negeri. Karena itu sebuah tanggung jawab. Kita melihat pemerintah cenderung membiarkan kehancurkan. Hanya sekedar upacara-upacara, seremonial-seremonial yang maknanya sudah terbang. Umpamakan Al-Qur’an hilang dari muka bumi. Jasadnya ada, tapi ruhnya terbang. Intinya pemerintah membiarkan kehancuran nilai. Mungkin karena mereka memperoleh keuntungan luar biasa besar atas kekacauan ini. Sebab kekuasaan bisa langgeng atas kekacauan nilai “ jelas Anizar.

Sebagai pemerhati, Anizar tanpa ragu menyebut Lembaga Adat Melayu (LAM) Kabupaten Natuna ikut terlibat membiarkan kekacauan nilai budaya. “ LAM sudah jelas identifikasinya. Kekacauan nilai, mereka biarkan begitu saja. Tanpa formulasi, dan upaya gigih, mereka cenderung meng “ YES “ kan oknum pemegang kekuasaan pemerintah. Asal kepentingan terakomodir buat mereka. Mereka cenderung menjadikan ini lahan subur untuk kelanggengan. Hari ini mereka membiarkan semuanya terjadi. Mereka membiarkan kerukunan hancur. Mereka juga membiarkan kepedulian memudar.

Sebakinya, lanjut Anizar, revosisi dan restorasi adat segera ditata ulang. Mulai dari kedudukan institusi, sampai orang-orang di dalam lembaga tersebut. Bahkan memerlukan satu instrument yang disebut majelis adat. Mereka harus di ferifikasi hingga lolos. Siapa saja orang-orangnya, tentu menjadi tanggung jawa para pemuka negeri bersama rakyat Natuna. Kita, menurut Anizar memerlukan refitalisasi kembali kepada adat sesungguhnya. Bukan dengan tifokritisme dan kepalsuan. “ Ini penghancuran kebudayaan, ada semacam sekenario apakah mereka sadar atau tidak. Terlepas dari semua itu, bahwa ini adalah rekayasa menuju kehancuran “ tegas Anizar.

Budaya Melayu, menurut Anizar dengan segala aneka ragamnya memiliki satu nilai. Yaitu nilai budi pekerti dan maratabat, seperti termuat dalam salah satu pelajaran trisakti. “ Jika adat bersendikan ini, tentu ketuhanan tertinggi disebuat adat. Begitulah nilai-nilai taisme yang harus di kembangkan. Dalam sebuah adat hal semacam itu, sudah dimiliki, dan dibangun oleh moyang kita sejak lama. Adat lama adalah nilai kepribadian yang bersendikan kepada keimanan. Jadi kepribadian kita melekat pada ketuhanan, pada peradapan, keadilan dan kebenaran “ papar Anizar. (Amran).

 

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *