Tak Hanya Migas dan Ikan, Natuna Juga Kaya Bahasa Daerah, Bagus Dibuatkan Kamus

Terbit: oleh -32 Dilihat
Hadisun, S.Ag, Kepala Bidang Kebudayaan, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Natuna

NATUNA – Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 Tentang Pemajuan Kebudayaan, pasal 5 menyebutkan bahwa bahasa merupakan salah satu dari sepuluh objek pemajuan kebudayaan.

Di Kabupaten Natuna, Provinsi Kepulauan Riau, memiliki berbagai dialek-dialek bahasa lokal, dimana terdapat beberapa kosa kata berbeda dalam penyampaian atau ucapan, baik secara lisan maupun tulisan. Akan tetapi dari kosa kata yang berbeda itu, mempunyai arti atau makna yang sama.

Sebagai salah satu contoh kosa kata yang berbeda yaitu dek dan dok. Kosa kata dek cenderung digunakan oleh masyarakat yang berada dikawasan Kecamatan Bunguran Timur, Bunguran Utara, dan Bunguran Selatan. Sedangkan dok digunakan oleh masyarakat di Kecamatan Bunguran Barat, Pulau Tiga, Pulau Tiga Barat, Midai, dan Suak Midai.

Sementara kosa kata dek dan dok dalam bahasa Indonesia berarti atau bermakna tidak. Pernyataan ini disampaikan oleh Hadisun, S.Ag, Kepala Bidang Kebudayaan, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) Kabupaten Natuna, menjawab koranperbatasan.com di ruang kerjanya, Rabu, 22 September 2021.

Menurut Hadisun, meskipun masih dalam satu kabupaten, namun banyak perbedaan kosa kata yang ada di 15 kecamatan. Bahkan tak jarang, di setiap kecamatan saling tidak mengetahui makna yang disampaikan seperti kosa kata jorit.

Jorit cenderung digunakan oleh masyarakat di Kecamatan Serasan yang berarti selalu atau sering. Sementara masyarakat di Kecamatan Bunguran Barat menggunakan kosa kata nyah. Begitu juga dengan kecamatan lainnya, berbeda dalam penyampaian kosa kata, tapi satu makna.

“Kalua orang dari Kecamatan Bunguran Barat belum pernah ke Kecamatan Serasan dan tidak pernah mendengar, mungkin belum tahu makna yang disampaikan,” jelas Hadisun.

Kata Hadisun, untuk mengabadikan dialek-dialek lokal itu harus diinstitusionalisasi dan dibuat  kamus. Nanum, untuk mewujudkan itu tidak mudah, tentu diperlukan sebuah riset dan anggarannya harus memadai.

“Jika tidak dibuat suatu penulisan dan upaya penyelamatan yang baik, maka lama-lama akan hilang,” pungkasnya.

Diakui Hadisun tidak mengetahui secara pasti penyabab terjadi suatu perbedaan kosa kata, sementara masih dalam satu kabupaten. Namun menurutnya, perbedaan-perbedaan dialek lokal itu bisa saja dipengaruhi oleh letak geografis suatu wilayah.

“Contoh, Kecamatan Pulau Laut mungkin lebih dekat dengan Kecamatan Subi, sedikit banyak pasti ada campurannya,” sebutnya.

Kemudian lanjut Hadisun, bisa juga karena migrasi orang, seperti Kecamatan Midai, banyak dialek-dialek yang kosa katanya menggunakan bahasa kampar. Hal itu dikarenakan pada zaman dahulu, ketika Syirkah/Koperasi Ahmadi & CO membuka perkebunan kelapa di Kecamatan Midai, banyak mendapatkan orang-orang dari Riau daratan.

“Sehingga hari ini banyak di Kecamatan Midai itu, darah-darah keturunan saudara kita dari Kampar, dan orang Midai, mungkin sudah lazim menggunakan dialek Kampar,” ujarnya.

Ia menegaskan, untuk penjelasan secara detil mengenai perbedaan dialek-dialek lokal dan kosa kata, seperti apa sejarahnya, juga harus dilakukan riset dan anggaran yang cukup.

“Harus ada riset, pentingnya kebudayaan itu, namun kemampuan anggaran masih terbatas,” tutupnya. (KP).


Laporan : Johan


 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *