Wan Hendra Kusnadi: Kehilangan Pulau Pandan Pengurangan Batas Wilayah Kekuasaan Republik Indonesia

Terbit: oleh -55 Dilihat
Wan Hendra Kusnadi (Bang Hen), Tokoh Masyarakat Natuna

“Pencarian Pulau Pandan seharusnya tak berkesudahan. Pulau yang dulunya berada dalam wilayah kekuasaan Datuk Kaya Pulau Tujuh sebagai tempat negosiasi jual beli barang diyakini benar-benar ada. Kehilangan Pulau Pandan berarti pengurangan batas wilayah kekuasaan Republik Indonesia. Apabila pulau tersebut tidak berhasil ditemukan dan atau sudah menjadi milik negara lain, pemerintah, terutama Pemerintah Kabupaten Natuna harus bertanggungjawab kepada rakyat”

Wan Hendra Kusnadi (Bang Hen), Tokoh Masyarakat Natuna

NATUNA – Bukti menyatakan Pulau Pandan memang benar-benar ada semakin kuat. Pulau yang belum berhasil ditemukan oleh tim pencarian dari gabungan Pemda Natuna bersama TNI AL dan Pansus Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) Republik Indonesia dimasa kepemimpinan Drs. H. Ilyas Sabli, M.Si sebagai Bupati Kabupaten Natuna beberapa tahun lalu ternyata memiliki banyak kisah. Selain sebagai titik persinggahan, pulau tersebut juga telah ditetapkan sebagai batas wilayah dan jalur pelayaran internasional Pemerintahan Datuk Kaya Pulau Tujuh.

Menurut cerita salah seorang tokoh masyarakat Natuna yang akrab disapa Bang Hen kepada koranperbatasan.com menyebutkan ada banyak bukti empiris menguak fakta tentang keberadaan pulau tersebut. Salah satu yang masih ada sampai saat ini adalah sebuah peta jalur perdagangan internasional masa lalu yang dikuasai Datuk Kaya Pulau Tujuh.

“Dulu ada serikat perdagangan, misalnya Serikat Perdagangan Ahmadi Company, mereka mempunyai segala jalur perdagangan yang jelas. Jalur itu, melewati beberapa pusat perdagangan internasional seperti, Hongkong, Singapura, dan Bandar Kucing,“ sebutnya memulai cerita.

Kapal Djadajat, sebagian masyarakat Natuna menyebutnya Kapal Soekarno, karena beliau menggunakan kapal ini untuk ekspedisi nusantara tahun 1958, tenggelam dalam perjalanan dari Midai menuju Sedanau / Selat Lampa karena menabrak karang (Foto : FB Natuna Tempo Doeloe).

Kata Bang Hen, pada masa Pemerintahan Datuk Kaya Pulau Tujuh, orang-orang yang berada disekitar Pulau Bunguran (Kabupaten Natuna-red) tidak hanya melakukan perdagangan lokal saja. Perdagangan yang mereka lakukan sudah bertarap internasional. Selain Hongkong, Singapura, dan Bandar Kucing melewati jalur segitiga, secara berkala orang-orang dahulu juga melakukan perdagangan ke beberapa negara lain seperti Vietnam, dan Thailand.

“Jadi inilah yang melatarbelakangi adanya bukti-bukti empiris keterikatan erat antara alur perdagangan ini dengan keberadaan pulau-pulau yang berada di sekitar perairan Natuna termasuk Pulau Pandan itu sendiri,“ terang Bang Hen.

Menurut Bang Hen, dengan memiliki alur perdagangan yang luas pada zamanya, Ahamadi Compony akhirnya dikenal sebagai serikat perdagangan terkaya nomor tiga di Kepulauan Riau. Alur perdagangan yang ada kemudian diteruskan oleh anaknya bernama Wan Muhamad Mansur berkedudukan di Air Mali saat ini menjadi Desa Kelarik Air Mali Kecamatan Bunguran Utara.

“Jadi harus kita pahami, bahwa ini memiliki latar belakang sejarah. Mengapa kita masih harus berusaha untuk mendapatkan Pulau Pandan?. Karena dari bukti sejarah, Pulau Pandan sudah menjadi daerah atau wilayah yang memang berada dalam kekuasaan Datuk Kaya Pulau Tujuh,“ jelas Bang Hen.

Potret salah satu arsip tempo dulu, para pengurus Koperasi Ahmadi Compeny merupakan serikat dagang Melayu sekaligus merupakan koperasi pertama di nusantara, (Foto : FB Natuna Tempo Doeloe).

Lebih jauh Bang Hen mengatakan, kaitan eret antara alur perdagangan dengan keberadaan Pulau Pandan adalah ketika Ahmadi Compeny melakukan perdagangan dari perairan Air Mali menuju ke Singapura, maka mereka akan singgah sebentar di sebuah pulau bernama Tanjung Tokong sebagai alur persinggahan. Selanjutnya ketika perdagangan dilakukan dari Air Mali menuju ke Hongkong maka tempat persinggahan sementara mereka adalah Pulau Pandan.

“Pulau ini menjadi tempat persinggahan, sebagai tempat berteduh, berlabuh dan sebagainya. Biasanya negosiasi perdagangan itu mengirim utusan. Saya bawa ini berapa mau di beli, baru kemudian kalau klir di bawa barangnya. Artinya tokenya harus setuju dulu baru barangnya di bawa, karena dulu tidak ada komunikasi jarak jauh. Jadi cuaca, iklim, sangat menentukan harga barang. Harga barang sangat berperngaruh saat negosisi awal, jika negosiasi awal gagal mungkin barang tidak akan di bawa kesana. Bisa dikatakan Pulau Pandan itu sebagai tempat berunding atau bernegosiasi, juga bisa dikatakan tempat berteduh, kemudian mengirimkan utusan ke daerah atau tempat toke, sehingga ketemulah harga yang cocok untuk diperjual belikan seperti kopra,“ ujarnya menguak fakta dan sempat membuat wartawan koranperbatasan.com terharu.

Bung Hatta saat melakukan kunjungan ke Midai tahun 1949, (Foto : FB Natuna Tempo Doeloe).

Bang Hen menegaskan, jika upaya pencarian Pulau Pandan tidak diteruskan oleh pihak terkait, bahkan menunjukan pulau tersebut tidak ada, atau tidak berhasil ditemukan, ia kuatir akan terjadinya pengurangan batas kekuasan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Karena pulau tersebut merupakan aset peninggalan sejarah dan memiliki banyak sumber daya alam seperti adanya habitat penyu dan binatang laut yang unik bernama Gajah Mina, bahkan sangat bagus jika dijadikan tempat wisata.

“Harus diperjuangkan sampai ketemu. Jangan sampai ada pengurangan batas wilayah, kalau pengurangan batas wilayah ini akan mempengaruhi kebijakan-kebijakan internasional Indonesia, dan ini akan menjadi beban bagi kita yang mengetahui bahwa adanya alur perdagangan yang melintasi pulau bernama Pulau Pandan itu. Sangat kita sayangkan, karena kekuasaan yang sudah jelas-jelas berada dalam genggaman kita kemudian menjadi kekuasaan negara lain, apakah itu Vietnam, China dan sebagainya,“ pungkasnya dan meminta agar pencarian pulau tersebut diteruskan.

Menurutnya, jika pulau yang hari ini dianggap misterius oleh banyak orang hanya dikarenakan terlalu sulit untuk ditemukan ternyata berhasil dikuasi oleh negera asing. Dalam hal ini, Bang Hen menganggap tingkat pengamanan terhadap batas wilayah yang dilakukan oleh pihak terkait sangat lemah.

“Seandainya pulau ini menjadi milik negara lain, kemudian disebut kepulauan apa oleh mereka, berarti ada pencaplokan batas wilayah negara, bisa saja ini merupakan kelalaian kita mempertahankan batas wilayah negara yang seharusnya kita pertahankan. Akan menjadi beban fiktis bagi masyarakat pada umumnya Pemerintah Kabupaten Natuna. Sehingga kita diminta kembali merenung, melihat, memantau, mempelajari bukti-bukti sejarah yang memang kita tahu bahwa itu adalah batas wilayah Datuk Kaya Pulau Tujuh hari ini Negara Republik Indonesia,“ katanya cemas.

Selain dari bukti sejarah alur perdagangan Datuk Kaya Pulau Tujuh, menurut Bang Hen pengakuan nelayan lokal yang sampai saat ini masih sering menemukan pulau tersebut juga bisa dijadikan bukti tentang keberadaan Palau Pandan. Begitu juga dengan ungkapan yang keluar dari lisan masyarakat biasa meskipun hanya sekedar cerita dari turun temurun termasuk sair lagu orang-orang dahulu.

“Cerita terakhir yang saya dapat dari beberapa nelayan ketika mereka pergi mancing dari Pulau Laut sekitar 70 sampai 120 mil sempat menemukan pulau itu. Kata mereka sekarang pulau itu, sudah tidak terlalu besar, sudah mulai mengecil. Disana mereka juga menemukan banyak nelayan-nelayan asing yang berkeliaran,“ pungkas Bang Hen.

Koperasi Ahmadi & Co berdiri pada tahun 1324 H / 1906 M dipelopori oleh Raja Haji Ahmad bin Raja Haji Umar, dimulai di Pulau Midai tahun 1324 H /1906 M (Foto : FB Natuna Tempo Doeloe).

Terkait keberadaan Pulau Pandan yang belum diketahui siapa pemiliknya setelah berakhir Pemerintahan Datuk Kaya Pulau Tujuh. Secara pribadi Bang Hen menganggap Pulau Pandan menjadi salah satu pekerjaan berat yang harus segera diselesaikan oleh pemerintah.

“Keyakinan kita pulau itu masih ada, dan merupakan wilayah kita, karena tidak mungkin orang bernegosiasi di wilayah orang lain, itu berbahaya bisa di rampok. Kemudian sampai hari ini belum ada bukti empiris yang menyatakan bahwa pulau itu masuk ke negara lain atau sudah tidak ada lagi. Kesimpulannya, kita berharap bisa menemukan pulau itu, kemudian menjaganya, lalu memberinya nama, dan membangunnya mungkin bisa dijadikan tempat wisata. Agar tidak dikuasai oleh negara lain, karena ada banyak potensi-potensi yang bisa kita manfaatkan ada disekitar pulau itu,“ cetusnya.

Dalam hal ini Bang Hen berharap pemerintah mampu memberikan argumentasi kepada internasional berdasarkan bukti-bukti yang ada di sejarah Datuk Kaya seperti, sejarah Datuk Kaya Wan Ahmad, kemudian diturunkan kepada Datuk Kaya Wan Muhammad Mansur pada tahun 1890-1940-an, yang kemudian diteruskan oleh Company Muhamad Bakar di Midai, kemudian Company Ahmadi di Air Mali, yang pada akhirnya berubah nama dan bergabung ke perusahaan-perusahaan lain, saat ini sudah menjadi perusahaan biasa.

“Maksudnya sudah tidak ada lagi yang melakukan perdangangan secara empiris, karena ada larangan pada tahun 80-an. Artinya perdangan itu diberhentikan pada tahun 80-an,“ tuturnya menyayangkan.

Sebelum mengakhiri cerita, Bang Hen menegaskan jika pulau tersebut sudah menjadi milik negara lain, “Pemerintah” terutama Pemerintah Kabupaten Natuna harus bertanggung jawab pada rakyatnya. Dengan alasan yang pertama adalah mengapa pulau tersebut bisa diambil oleh negara lain, kemudian jika nanti ditemukan dan pulau tersebut ternyata masuk kedalam negara lain, hendaknya kita melakukan negosiasi dengan negara tersebut.

“Jika negosiasi ini tidak berhasil maka kita harus melakukan negosiasi melalui jalur internasional untuk meletakkan batas wilayah yang jelas antara kita dengan negara-negara tetangga. Selama ini kita mengambil batas wilayah dengan hukum undang-undang ke-tata negaraan  yang baru dilakukan dalam konferensi di Den Haag. Dimana batas wilayahnya untuk suatu negara adalah 200 mil, seandainya pulau tersebut masih berada dalam batas wilayah 200 mil, berarti menjadi batas wilayah kita,“ tegasnya.

Bang Hen memastikan, jika dari Air Mali atau Kelarik sebagai pusat Pemerintahan Datuk Kaya melakukan perjalanan menuju Tarempa yang diperkirakannya hanya berjarak lebih kurang sekitar 70 lebih mil dan tidak mencapai 200 mil. Kemungkinan besar jarak tersebut berada dalam jarak negosiasi ke Hongkong. Katanya, bukti lain yang dapat dijadikan acuan keyakinan dimana masih banyak nelayan kita yang mencari ikan didaerah agak jauh, mencapai sekitar 50 atau 60 mil, menemukan nelayan-nelayan asal negara tetangga memasuki perairan Indonesia.

Salah satu dokumentasi tertua fakta rekam sejarah tentara Jepang ketika mendarat di Kepulauan Natuna tahun 1942, (Foto : FB Natuna Tempo Doeloe).

Hal ini, membuat Bang Hen sendiri meragukan upaya pencarian Pulau Pandan yang kemungkinan besar berada pada hitungan 100-200 mil. Selain meragukan sistem ketahanan yang “bobol,” baik dari segi pertahanan keamanan, maupun segi mempertahankan aset negara, juga dalam mempertahankan sumber daya kelautan. Lalu bagaimana kita bisa menembus sampai 100 mil, apalagi sampai 200 mil.

“Kita menemukan diantara 100 mil itu masih wilayah kita, walaupun batas wilayah kita paling ujung yakni Pulau Sekatung. Dari Sekatung itu, dihitung sampai 200 mil, tapi kenapa nelayan asing bisa mengambil manfaat sampai ke daerah-daerah yang 50 mil masuk ke negara kita. Ini jadi pertanyaan?. Bisa saja isu itu dikembangkan oleh mereka. Lihat itu nelayan mereka (nelayan asing-red) sudah masuk ke wilayah kita. Berarti pulau-pulau yang berada disekitar sini sudah menjadi pulau mereka. Kalau begini nantinya bisa-bisa sampai pada batas 5 mil dalam perairan kita juga di ambil oleh mereka,“ beber Bang Hen. (KP).


Laporan : Amran


 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *