Bahkan ketika mendung di ujung timur laut, enggan menuntun mu keluar dari Goa Kamak, lalu menyentuh hempasan-hempasan ombak, justru disana ku lihat tekadmu menyeruak. Disini angin tak henti membisikkan sendu, bahwa kita lupa terlalu, bahwa tak ada mesin pembeku waktu.
Usai mengembara entah dari mana, kau merasa dipecundangi gerimis yang sama, kau bertanya benarkah kita masih memiliki rumah dan desa. Lihatlah selatan dan utara kini sekedar kata, sebab kutub hanyalah metafora, dari ruang fana, dari gemeretak di dada, kelak Natuna menyesali nasibnya menjadi kota dan abadilah sebutir air mata
(Kutipan Puisi Jamal Rahman Iroth, ditulis pada tanggal 12 Mei 2017 dikirim melalui medsos untuk sahabatnya Muttaqien di Natuna).
NATUNA – Secara geografis, Kabupaten Natuna Provinsi Kepulauan Riau berbatasan dengan Vietnam dan Kamboja disisi Utara. Disisi Selatan, Natuna berbatasan dengan Sumatera Selatan dan Jambi. Dibagian Barat, Natuna berbatasan dengan Singapura, Malaysia, dan Riau. Dibagian Timur, Natuna berbatasan dengan Malaysia Timur dan Kalimantan Barat.
Pada peta Indonesia, Natuna berada di hujung, di sudut dan terlihat sangat kecil sekali. Jika di lihat pada peta Laut Cina Selatan, ketika kita tarik ring seribu kilo meter akan terlihat Kuala Lumpur, Singapore, dan Berunai berada sangat dekat dengan Natuna. Jika kita tarik ring dua ribu kilo meter, seluruh ibu kota negara Asia terlihat jelas, dan Natuna sendiri berada ditengah-tengahnya.
Menurut salah seorang tokoh masyarakat Natuna, H. Novain Pribadi, SH, saat ini keberadaan Natuna yang terkenal kaya akan Sumber Daya Alam (SDA), baik di laut maupun di darat sedang berada dalam situasi tidak baik-baik saja.
Lelaki yang dikenal mudah bergaul dan humoris, berprofesi sebagai Notaris dan PPAT di Ibu Kota Kabupaten Natuna tersebut mengatakan, saat ini alam Pulau Bunguran Besar Natuna sedang memanggil, dan membutuhkan pertolongan penghuninya dari ancaman pengusaha tambang.
“Kita harus selamatkan lingkungan kita dari aksi penambang pasir kuarsa,” ujar Novain Pribadi, di Kedai Kopi HDS, Ranai, Kabupaten Natuna, Rabu 11 Mei 2022 malam.
Ungkapan Novain Pribadi disambut positif oleh Ketua Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Kabupaten Natuna, H. Umar Natuna, S.Ag, M.Pd.I. Umar Natuna mengapresiasi terbentuknya sebuah aliansi yang diberinama Aliansi Natuna Menggugat.
Aliansi ini menurut Umar Natuna, bisa mengkritisi berbagai kebijakan dan kegiatan yang merugikan Natuna. Ia pun meminta agar kegiatan pertambangan pasir kuarsa di Natuna sebaiknya dihentikan, karena akan berdampak pada lingkungan dan keanekaragaman hayati, serta berbagai peninggalan sejarah dan artefak yang ada.
“Natuna pulau kecil dan sangat rawan jika pasirnya di keruk tanpa kendali. Karena itu kita minta pemerintah meninjau ulang regulasi dan kebijakan terkait kegiatan penambangan pasir yang ada,” tegas Umar.
Aliansi Natuna Menggugat lahir berkat adanya gerakan moral berbagai komponen masyarakat yang telah menyatukan pandangannya dalam satu tujuan, yakni menyelamatkan lingkungan dan alam Natuna dari kejahatan mafia tambang.
Menurut Koordinator Aliansi Natuna Menggugat, Wan Sofian, saat ini para penambang pasir sudah berkeliaran di Natuna, berdasarkan info yang beredar, ada 19 perusahaan tambang pasir akan beroperasi.
“Jangan ada tambang pasir kuarsa di pulau ini, karena masyarakat terbesar Kabupaten Natuna ada di Pulau Bunguran Besar ini,” pungkasnya.
Kata Wan Sofian, Natuna yang telah ditetapkan sebagai kawasan geopark nasional dan sedang digaungkan menuju geopark internasioanl menjadi salah satu poin penting untuk diselamatkan.
“Kalau tambang pasir kuarsa di Natuna berjalan, Geopark Natuna pasti akan hancur dan tak bisa jadi Geopark Internasioanal. Karena kita lihat peta, hampir seluruh wilayah Pulau Bunguran Besar telah dikuasai oleh perusahaan tambang pasir kuarsa,” bebernya.
Sebagaimana diketahui, daerah maritim kepulauan yang berada di jalur pelayaran internasional ini memiliki luas wilayah 264.198,37 kilometer persegi dengan luas daratan 2.001,30 kilometer persegi dan lautan 262.197,07 kilometer persegi. Sebagian besar hasil lautnya seperti migas sudah lama dikuasai penguasa tambang dari berbagai negara yang memiliki Kontrak Kerja Sama (KKS) dengan Pemerintah RI (SKK Migas).
Seluruh kekayaan alam Natuna bagaikan sudah berada dalam genggaman para penguasa tambang melalui badan usaha tetap atau perusahaan pemegang hak pengelolaan dalam suatu blok atau wilayah kerja yang memiliki hak untuk melakukan kegiatan eksplorasi, eksploitasi.
Selain migas terdapat banyak sumber daya laut lainnya yang belum terkelola dengan baik, diantaranya perikanan laut. Saat ini pemanfaatannya hanya 36 persen dari total kekayaan yang ada. Dari 36 persen itu, manfaat yang didapatkan Natuna hanya berkisar 4,3 persen saja. Bahkan saat ini pemerintah pusat melalui kementerian terkait telah memberikan izin kepada kapal-kapal ikan “cantrang” beroperasi di laut Natuna. Hal ini membuat nelayan Natuna semakin tereliminasi di lumbung ikan lautan utara.
Baru-baru ini terdengar pula kabar sebanyak 19 perusahaan tambang akan menguras isi daratan Natuna untuk dibawa keluar negeri. Kabarnya 19 perusahaan tambang tersebut sudah memiliki Wilayah Izin Usaha Produksi (WIUP). Bahkan sudah ada beberapa perusahaan yang melakukan ganti rugi atau pembelian lahan dengan harga Rp2500-3000 permeter bersertifikat dan Rp1000-2000 belum bersertifikat, tergantung letak lokasinya.
Para penguasa tambang ini akan mengambil pasir silika atau pasir kuarsa dengan total ratusan ribu hektar. Satu perusahaan diperkirakan akan menggarap sekitar 2-3 ribu hektar. Pasir jenis silika atau kuarsa yang diketahui memiliki kadar besi (Fe)-nya jauh lebih rendah dibandingkan daerah-daerah lain seperti Kalimantan tersebut akan dibawa ke China.
Meski belum diketahui secara pasti dimana saja titik koordinat penambangan pasir sebagai bahan baku pembuatan kaca ini, namun beberapa perusahaan telah menurunkan orang-orangnya melakukan survey lokasi dan bernegosiasi dengan pemangku kebijakan setempat, menawarkan perolehan Dana Bagi Hasil (DBH) dalam jumlah besar belum termasuk retribusi yang katanya akan menguntungkan Natuna.
Rayuan maut para pengusaha tambang yang menjanjikan penambahan Pendapatan Asli Daerah (PAD) ini sepertinya sangat sulit untuk dapat di tolak oleh para pemangku kebijakan yang tergiur akan jumlah pendapatan bagi hasil, karena porsi pembagiannya jauh lebih besar dibandingkan daerah bukan penghasil.
Padahal rayuan tersebut bagian dari upaya para penguasa tambang untuk dapat memenuhi syarat memperolah Izin Usaha Pertambangan (IUP), agar mereka dapat segera melaksanakan usaha pertambangan dan mengangkut pasir beharga yang seharusnya tetap berada di bumi laut sakti rantau bertuah tersebut ke China.
“Satu perusahaan pun belum ada yang dikeluarkan IUP, jika ada IUP maka akan keluar izin ekspor,” ungkap salah seoarang lelaki yang namanya dirahasiakan, Selasa, 05 April 2022 lalu, di Tanjungpinang.
Menanggapi hal ini, Ketua Komisi II DPRD Natuna, Marzuki, SH dengan tegas menyatakan jika pasca tambang pasir kuarsa atau silika melahirkan mudharat yang lebih besar bagi Natuna, wajib di tolak. Meskipun dari beroperasinya perusahaan tambang tersebut mendatangkan PAD (Pendapatan Asli Daerah) yang besar.
“Memang hari ini kita perlu PAD untuk mendongkrak pendapatan daerah. Tapi kalau mudharatnya lebih besar, apalah artinya PAD itu. Secara pribadi kita melihatnya sangat tidak pas untuk diberikan izin eksplorasi maupun eksploitasi tambang pasir di Natuna yang daratannya sangat sedikit,” tegas Marzuki menjawab koranperbatasan.com melalui saluran telepon, Selasa, 10 Mei 2022 malam.
Menurutnya, masyarakat Natuna akan kontra terhadap izin tambang yang pemerintah keluarkan, jika hasil kajian pasca tambang ternyata melahirkan mudharat jauh lebih besar ketimbang PAD. Terutama ketika yang mengeluarkan izin tidak mampu meyakinkan DPRD dan masyarakat Natuna terkait dampak pasca tambang tersebut.
“Kita memang butuh sumber-sumber PAD. Tetapi kita juga harus tetap menjaga kelestarian daerah kita, kelestarian lingkungan kita,” cetus Marzuki.
Kata Marzuki, potensi terbesar dan sangat layak dikelola menjadi PAD di Kabupaten Natuna adalah sektor perikanan dan pariwisata. Selain sudah terbukti hasilnya, pengembangan kedua sektor tersebut bahkan sudah lama dinantikan masyarakat.
“Sebetulnya potensi apa yang sangat menjajikan di daerah kita? Bukankah potensi itu adalah perikanan dan pariwisata? Kenapa tidak itu saja kita kemas jadi PAD! Kenapa harus mencari sumber lain? Hari ini timbul pro-kontra. Kita harus bercermin dari daerah lain di Kepri seperti Bintan dan Lingga, pasca tambang jadinya seperti apa?,” ujar Marzuki.
Sejauh ini, Sekretaris DPC Partai Gerindra Natuna itu, mengaku DPRD belum mengantongi surat pemberitahuan izin penambangan pasir kuarsa tersebut secara resmi dari instansi maupun perusahaan terkait. Sehingga pihaknya belum dapat berbuat banyak untuk melakukan pengawasan.
“Saya tidak tau kalau melewati pimpinan. Tapi menurut saya memang tidak ada pemberitahuan kepada kami, bahwasanya sudah keluar izin tambang yang akan beroperasi di Natuna,” pungkas Marzuki.
Terkait tambang itu, Marzuki menceritakan telah terjadi revisi tanpa pengesahan Peraturan Daerah (Perda) Rencana Tata Ruang Wilayah (RT-RW) Natuna.
“Kemarin sudah disahkan, tetapi perubahannya tanpa pengesahan. Kebetulan saya adalah Ketua Pansus waktu itu, jadi ada beberapa wilayah di Natuna diperuntukan selain untuk perkebunan, hutan, diperuntukan juga sebagai wilayah tambang,” sebut Marzuki.
Awalnya lanjut Marzuki, dalam Perda RT-RW khusus pertambangan yang telah disahkan oleh pihaknya hanya sebatas untuk memenuhi kebutuhan lokal atau kebutuhan pembangunan di dalam kabupaten saja.
“Namanya WPR (Wilayah Pertambangan Rakyat) itu untuk kebutuhan lokal, tetapi izinnya tetap di provinsi. Berjalan waktu setelah pengesahan, ketika pertemuan lintas sektoral di Jakarta di Kementeraian ATR, Pemda Natuna mengusulkan beberapa wilayah tambang yang awalnya WPR berubah fungsi menjadi wilayah pertambangan dengan skop lebih besar,” terang Marzuki.
Terjadinya revisi akan Perda RT-RW menurut Marzuki, saat rapat lintas sektoral mengetahui ada potensi tambang di Kabupaten Natuna yang bisa dikelola menjadi PAD, jika tambang tersebut dieksplorasi, dieksploitasi. Rapat itu dalam rangka meminta persetujuan Perda RT-RW dari substansi Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR).
“Hanya saja saya tidak bisa memastikan usulan ini munculnya dari mana? Apakah dari daerah, provinsi, atau pusat. Sampai saat ini kita tidak memiliki bukti otentik atau surat-surat yang dimaksud, dan saya kurang mengerti tentang itu, yang jelas usulan tersebut tidak melalui DPRD,” tegas Marzuki.
Sebagai Ketua Komisi II DPRD Natuna, Marzuki memastikan pihaknya akan meminta penjelasan kepada instansi terkait dan perusahan-perusahaan yang akan mengeruk pasir kuarsa di Natuna.
“Kita DPRD akan tetap mengawasinya, kita akan meminta kepada perusahaan kajian pasca tambangnya seperti apa. Ketika semuanya sudah terpenuhi dan izin dari pusat sudah dikeluarkan, kemudian daerah kita juga sudah menyetujuinya, maka kita akan mengawasinya. Betul tidak izin-izin dan persyaratannya sudah terpenuhi,” tutur Marzuki.
Kata Marzuki, jika izin tidak terpenuhi, maka pihaknya akan meminta pemerintah baik provinsi maupun pusat yang mengeluarkan izin mengkaji ulang dampak global dari pertambangan tersebut.
“Jangan sampai ada gejolak, membuat stabilitas di daerah tidak kondusif. Jangan serta merta mengeluarkan izin itu. Pemerintah harus kaji betul-betul akan keberadaan pulau kita yang sangat kecil ini, sebelum mengeluarkan izin itu,” tutup Marzuki.
Dalam hal ini, Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Manusia (ESDM) Provinsi Kepulauan Riau, Drs. M. Darwin, MT memastian secara langsung Pemprov Kepri juga belum mendapat salinan SK IUP perusahaan yang akan menambang pasir kuarsa di Natuna, baik dari Minerba dan atau BKPM.
Menurut Darwin, Pemprov Kepri mengetahui keberadaan izin pasir kuarsa di Natuna melalui update informasi di Aplikasi MOMI Minerba. Seluruh perizinan pasir kuarsa di Natuna diterbitkan pada rentang 2021 oleh pemerintah pusat.
Saat ini lanjut Darwin, di IUP pasir kuarsa di Natuna dalam tahap kegiatan eksplorasi. Dimana dalam tahap ini dikaji tiga kelayakan diantaranya kelayakan teknis, kelayakan ekonomis dan kelayakan lingkungan. Dengan indikator dokumen Studi Kelayakan (FS) dan dokumen lingkungan (Amdal/UKL/UPL).
“Secara regulasi kelompok Mineral Bukan Logam dan Batuan (MBLB) memberikan kontribusi secara langsung kepada Pemkab Natuna. Dengan indikator Pajak Daerah MBLB yang 100 persen disetorkan ke Pemkab Natuna (jika perusahaan melakukan penjualan),” terang Darwin, menjawab koranperbatasan.com, Kamis, 14 April 2022 melalui telepon seluler.
Terpisah Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Kepulauan Riau, Hendri, ST ketika diminta keterangan terkait dokumen lingkungan mengaku tidak mengetahui adanya kegiatan tersebut.
Menurut Hendri, kegiatan tersebut bisa dibilang layak selama kebutuhan pasir digunakan untuk pembangunan dan kepentingan daerah Kabupaten Natuna. Oleh karenanya ia meminta para penambang melakukan koordinasi dengan instansi pemerintah baik pusat maupun daerah terkait pelaksanaan kegiatan tersebut.
Kata Hendiri, penerbitan dokumen Amdal untuk kegiatan tersebut bukan kewenangan pihaknya. Penerbitan persetujuan lingkungan berada pada KLHK sesuai UU Cipta Kerja (CK) dan PP 22 tahun 2021.
“Tidak, mereka tidak menyampaikan. Kita harap mereka mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Melaksanakan ketentuan pelaksanaan kegiatan sesuai dengan Standart Operating Procedure (SOP),” ungkap Hendri, kepada koranperbatasan.com, melalui pesan WhatsApp, Selasa, 12 April 2022.
Hendri juga meminta kepada perusahaan yang akan melakukan penambangan pasir kuarsa di Natuna terlebih dahulu melakukan sosialisasi kegiatan kepada pemerintah daerah, termasuk tokoh masyarakat setempat, sebelum kegiatan pengembangan dilakukan.
“Mereka juga harus menyiapkan dana pinjaman untuk pemulihan fungsi lingkungan hidup sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan,” ujar Hendri.
Selain belum mengetahui secara pasti kemana pasir kuarsa tersebut akan dibawa. Hendri memastikan kegiatan tersebut akan berdampak buruk jika tidak memiliki izin.
“Cross check aja ke Pemkab Natuna, kalau tak berizin akan berdampak buruk,” tegas Hendri. (KP).
Laporan : Amran