Perusahaan ‘Hantu’ Bangun Pelabuhan ‘Cukong’ di Natuna, Pemerintah Malah Kucingan?

Terbit: oleh -83 Dilihat
Reklamasi pantai pembangunan pelabuhan 'cokung' oleh perusahaan 'hantu' terbentang luas menjulur ke laut kawasan konservasi di Desa Pengadah, Kecamatan Bunguran Timur Laut, Kabupaten Natuna

NATUNA – Ada perusahaan ‘hantu’ melakukan penimbunan/reklamasi pantai untuk pembangunan pelabuhan ‘cukong’ jetty/dermaga keperluan bongkar muat di Desa Pengadah, Kecamatan Bunguran Timur Laut, Kabupaten Natuna, Provinsi Kepulauan Riau.

Sampai saat ini, perusahaan ‘hantu’ yang terkesan kebal hukum itu, belum mengajukan permohonan izin Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal/UKL-UPL), baik kepada Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Natuna maupun ke Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Provinsi Kepri.

DLH Kabupaten Natuna dan DLHK Provinsi Kepri mengaku tidak tahu perusahaan apa dan untuk apa penimbunan pantai dilakukan. Padahal reklamasi pantai untuk pembangunan pelabuhan ‘cukong’ tersebut berada dikawasan konservasi taman laut perairan Natuna.

“Karena kita mempelajari itu adalah kewenangan provinsi. Kami posisinya menunggu dulu. Kalau provinsi menyatakan penilaiannya kewenangan kami, ya kami tunggu rencana Amdal diajukan oleh perusahaan,” ungkap Ferizaldi, Kadis DLH Natuna, menjawab koranperbatasan.com saat ditanya seputar reklamasi pantai, melalui panggilan telepon, Senin, 27 Juni 2022 malam.

Salah satu pekerja usai memberikan keterangan kepada tim investigasi media ini menunjukan aktivitas reklamasi pembangunan pelabuhan jetty untuk kebutuhan bongkar muat pasir kuarsa atau silika.

Anehnya pembangunan penimbunan/reklamasi pantai pelabuhan ‘cukong’ sepanjang 200 meter dengan lebar 12 meter lebih yang terus berlanjut tersebut, tidak dihentikan oleh Aparat Penegak Hukum (APH) setempat. Meskipun DLH Kabupaten Natuna dan DLHK Provinsi Kepri secara terang-terangan telah mengaku belum mengeluarkan Izin Lingkungan.

“Apa nama perusahaannya? Di kami kayaknya gak ada, mengeluarkan Izin Lingkungan terhadap pembangunan pelabuhan itu,” tegas Kadis DLHK Provinsi Kepri, Hendri, ST, kepada koranperbatasan.com, melalui panggilan telepon, Jum’at, 10 Juni 2022 lalu.

Hendri memastikan sampai saat ini, pihak perusahaan belum ada mengajukan permohonan Izin Amdal/UKL-UPL, terkait pembangunan/penimbunan/reklamasi pantai di Desa Pengadah, yang kabarnya untuk kebutuhan bongkar muat hasil tambang pasir kuarsa keperluan ekspor.

Padahal kata Hendri, pihak perusahaan wajib mengajukan permohonan Izin Lingkungan untuk pembangunan pelabuhan jetty/dermaga tersebut, agar suatu kegiatan yang dijalankan tidak menimbulkan/menyebabkan pencemaran, kerusakan, maupun gangguan terhadap lingkungan atau dampak sosial lainnya.

“Kalau dia sudah megang WIUP, kalau dia mau bangun pelabuhan itu, dia harus urus izin lingkungannya. Itu tadi, dia bermohon ke DLHK, setelah dia bermohon ke PTSP. Kalau dia sudah bangun, Amdal belum ada, maka harus dikenakan sanksi,” beber Hendri.

Hendri menjelaskan, Amdal/UKL-UPL adalah dokumen lingkungan hidup yang harus disusun oleh pelaku usaha. Baik untuk kegiatan penambangan pasir kuarsa atau silika, maupun pembangunan penimbunan/reklamasi pantai untuk bongkar muat tambang pasir tersebut.

“Kewenangan Pemda setempat, tapi dokumen lingkungan tetap harus ada,” sebut Hendri.

Hendri, ST, Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Kepulauan Riau.

Sementera, Kadis DLH Kabupaten Natuna, Ferizaldi, SH, M.Si menerangkan, pihaknya berada di posisi menunggu instruksi dari DLHK Provinsi Kepri. Sebab menurutnya, kewenangan tersebut berada di pemerintah provinsi.

“Kita mengikuti kewenangan induk. Kalau pertambangan minyak di lepas pantai Amdal dari kementerian. Kalau tambang pasir, mungkin sudah jadi kewenangan provinsi. Terasa aneh, kalau mereka yang mengeluarkan izin, kemudian persetujuan lingkungannya oleh kabupaten,” cetus Ferizaldi.

Kata Ferizaldi, dikarenakan pembangunan penimbunan/reklamasi pantai tersebut bukan proyek pemerintah, maka penyusunan dokumen Amdal-nya harus dilakukan/diusulkan oleh perusahaan pelaksana kegiatan, sesuai Standart Operating Procedure (SOP).

“Tapi tidak masaalah, yang jelas Amdal itu disusun oleh orang yang memiliki kepentingan terhadap rencana pembangunan. Kalau memang ada pengusaha ingin menambang ikuti saja prosedur. Dalam hal ini, kalau dia tambang, maka pengusaha tambang itu mempunyai kewajiban menyusun Amdal-nya. Tapi kalau pemerintah yang bangun, baru pemerintah,” terang Ferizaldi.

Menurut Ferizaldi, pembangunan penimbunan/reklamasi pelabuhan jetty di Desa Pengadah, bukan proyek pemerintah.

“Kalau swasta yang bangun, ya swasta juga harus menyusun Amdal-nya, nanti baru dinilai atau diperiksa oleh Tim Amdal. Untuk Tim Amdal kita punya, cuma kita menunggu dari perusahaan mengajukan. Sampai sekarang belum ada. Saya pun sudah lihat lokasinya, memang mereka sudah bangun. Kalau lihat panjang lebarnya, semestinya itu ada rencananya,” tutur Ferizaldi.

Ferizaldi, SH, M.Si, Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Natuna.

Ferizaldi menegaskan, jika memang menjadi kewenangan kabupaten, pihaknya akan membentuk tim, melakukan penilaian terkait Izin Lingkungan penimbunan/rekalamasi pantai untuk pembangunan pelabuhan jetty kebutuhan bongkar muat pasir tersebut.

“Kita siap membentuk tim, tenaga kita untuk penilai ada dan cukup. Cuma kita belum tahu, karena yang akan memberikan izin itu, provinsi. Apakah kita kabupaten sebagai penilai Amdal-nya?. Kami menduga yang berwenang mengeluarkan perizinan tambang itu provinsi, logikanya mesti pihak provinsi yang menilai Amdal-nya,” tegas Ferizaldi.

Dalam hal ini, Ferizaldi menjelaskan Amdal bagian dari rencana pengendalian dampak lingkungan yang harus diselesaikan oleh perusahaan. Sesuai prosedur dikaji berbagai kelayakan dengan indikator dokumen Studi Kelayakan (FS) dan dokumen lingkungan (Amdal/UKL/UPL).

“Penambang menyusun rencananya, kita menilainya. Jadi mereka yang menyusun, nanti kita yang memeriksa, baru kita buat persetujuannya. Kalau mereka ada rencana kesana, sebaiknya mereka memperoleh persetujuan lingkungan dulu,” pungkas Ferizaldi.

Terpisah Kepala Perwakilan Ombudsman Republik Indonesia Provinsi Kepulauan Riau, Dr. Lagat Parroha Patar Siadari, SE, MH menerangkan, kalau ijin usaha tambang provinsi (pendelegasian kewenangan pusat), kalau bangunannya, semua ijin ada di Kabupaten Natuna.

“Dikawasan apapun boleh di bangun fasilitas pemerintah. Tapi harus didahului dengan pelepasan atau pemanfaatan. Kalau dearah konservasi boleh. Nanti perubahan-perubahannya adalah Kementerian LHK. Ada nanti direktorat konservasi. Kemudian masaalah Amdal, nanti itu ada di Pemkab Natuna. Termasuk bangunan di atas tanah, maupun laut harus ada Amdal-nya. Apa lagi menyangkut dipergunakan untuk umum. Termasuk kesempadanannya, maka wajib ada Amdal. Saya yakin Pemkab Natuna sudah melakukan itu, minimal melakukan proses, barangkali belum selesai,” terang Lagat Parroha.

Salah satu kawasan strategis yang dijadikan kawasan pertambangan, saat ini sedang direklamasi untuk pembangunan pelabuhan jetty keperluan bongkar muat pasir.

Dalam hal ini, Lagat Parroha meminta koranperbatasan.com memastikan dari mana sumber anggaran pembangunan penimbunan/reklamasi pantai pelabuhan jetty yang sedang berlangsung di Natuna.

“Jangan-jangan ini anggaran dari pusat, kita tidak tahu. Daerah menyiapkan lahannya, pusat menyiapkan fisiknya, termasuk nanti Amdal itu kabupaten/kota. Jadi kebijakannya disana, kan pemerintah regulatornya, dia buat hukumnya. Barang kali, dengan pertimbangan-pertimbangan itu, kemanfaatan segala macam bisa dilakukan. Tetapi tetap harus diadakan sebelum selesai. Itu milik siapa jetty-nya, sumber dananya APBD atau APBN. Media harus lacak, sumber anggaran dari mana,” pungkas Lagat Parroha.

Kata Lagat Parroha, jika sumber anggaran untuk pembangunan pelabuhan jetty tersebut berasal dari APBD Kabupaten/Kota/Provinsi atau APBN harus di lelang.

“Tetap di lelang, karena gak mungkin tidak di lelang, sesuai dengan Undang Undang Unit Pengadaan Barang dan Jasa, itu harus dilelang,” papar  Lagat Parroha, melalui telepon, Senin 27 Juni 2022 malam.

Sebelumnya, Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Manusia (ESDM) Provinsi Kepulauan Riau, Drs. M. Darwin, MT, menyebut pasir kuarsa masuk katagori mineral bukan logam. Pengelolaan tambang jenis ini menjadi kewenangan pemerintah provinsi. Hanya saja izin dikeluarkan saat kewenangan masih di pemerintah pusat.

“Dengan Perpres 55 tahun 2022 menjadi kewenangan pemerintah provinsi. Izin yang ada di Natuna terbit ketika kewenangan di kementerian,” tulis Darwin, dalam pesan WhatsApp, Sabtu, 11 Juni 2022 lalu.

Saat ditanya mengenai Surat Bupati Natuna Nomor 650/PUPR/282/X/2021, tanggal 07 Oktober 2021 tentang permohonan substansi Ranperda RTRW Kabupaten Natuna tahun 2021-2041 yang dibuat berdasarkan kajian pemerintah provinsi, bukan kabupaten. Darwin menyarankan, menanyakan langsung dengan dinas terkait.

“Terkait tata ruang silakan ke PU. Terkait lingkungan silahkan ke DLHK,” cetus Darwin.

Drs. M. Darwin, MT, Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Manusia Provinsi Kepulauan Riau.

LSM Getuk Angkat Bicara Terkait Pembangunan Pelabuhan ‘Cukong’ di Natuna

Ketua Umum Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Gerakan Tuntas Korupsi (Getuk) Provinsi Kepulauan Riau, Jusri Sabri akhirnya angkat bicara soal carut marut gejolak tambang pasir kuarsa atau silika di Kabupaten Natuna.

Dalam hal ini, Jusri menyoroti reklamasi pantai oleh perusahaan untuk pembangunan pelabuhan jetty/dermaga bongkar muat tambang pasir kuarsa atau silika di Natuna yang diketahui belum mengantongi Izin Lingkungan (Amdal/UKL-UPL).

Tak hanya itu, Jusri sebelumnya mengaku sempat memperoleh informasi dari berbagai sumber, menyebutkan bahwa pembangunan pelabuhan jetty/dermaga bongkar muat pasir tersebut bukan untuk kegiatan tambang. Namun dirinya menaruh curiga, hingga akhirnya angkat bicara.

“Tolong cek, apa betul pembangunan pelabuhan itu untuk kegiatan tambang? Katanya itu proyek pemerintah, kalau proyek pemerintah pasti ada plang proyek di lokasi. Kalau bukan proyek pemerintah, tapi untuk pekerjaan persiapan tambang, saya atas nama LSM Getuk Provinsi Kepri, minta kegiatan itu segera dihentikan,” tulis Jusri, dalam pesan WhatsApp yang dikirimnya ke Redakasi koranperbatasan.com, Rabu, 15 Juni 2022 lalu.

Menurut Jusri, kegiatan pembangunan pelabuhan jetty/dermaga untuk persiapan bongkar muat tambang pasir kuarsa atau silika belum boleh dilakukan oleh perusahaan jika belum memiliki izin lengkap.

“Kegiatan pembangunan pelabuhan belum bisa dilaksanakan, kalau IUP operasi perusahaan tersebut belum terbit. Cek itu, apa betul info yang saya dapat dari Adi Pawenari itu proyek pemerintah. Awak tengok ada plang proyek tak?,” cetus Jusri.

Gejolak tambang pasir di Natuna yang tak kunjung usai ini pun membuat Jusri meminta dinas terkait turun langsung mengecek ke lokasi. Terutama Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Provinsi Kepulauan Riau.

“Kita minta pihak DLH Provinsi Kepri turun dan menghentikan kegiatan, jika ada yang melanggar. Jika pihak dinas tak ambil tindakan, patut dicurigai ada kongkalikong,” pungkas Jusri.

Ketua Umum Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Gerakan Tuntas Korupsi (Getuk) Provinsi Kepulauan Riau, Jusri Sabri.

Jika dinas terkait tidak segera menghentikan aktifitas yang dilakukan oleh perusahan-perusahan tersebut. Selaku Ketua Umum LSM Getuk Kepri, Jusri memastikan pihaknya akan membuat laporan untuk disampaikan kepada penegak hukum.

“Kalau tak ada reaksi berhenti, kita langsung buat laporan. Kalau mereka terus membandel, kami akan buat laporan ke pihak penegak hukum dan instansi terkait, baik di provinsi maupun di pusat,” tegas Jusri.

Ada Pidana Bagi Perusahaan ‘Hantu’ Tak Kantongi Izin Lingkungan

Sebagaimana diketahui, setiap usaha atau kegiatan yang wajib memiliki izin lingkungan Pasal 36 ayat (1) Undang Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) tidak memiliki izin lingkungan atau melanggar, maka dapat dikenai pidana sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 109 ayat (1) UU Nomor 32 tahun 2009.

Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan tanpa memiliki izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). (Pasal 109 ayat (1) UUPPLH).

Sedangkan pejabat pemberi izin usaha dan/atau kegiatan yang menerbitkan izin usaha dan/atau kegiatan tanpa dilengkapi dengan izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). (Pasal 111 ayat (2) UUPPLH).

Demikian disampaikan Aryandi, SE, Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Generasi Anak Melayu (Geram) Kepri Bersatu saat bersilaturahmi di Sekretariat koranperbatasan.com, Perwakilan Tanjungpinang-Bintan, Kamis, 16 Juni 2022 siang kemrin.

Aryandi, SE, Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Generasi Anak Melayu (Geram) Kepri Bersatu.

Kata Aryandi, dokumen Amdal harus disusun pada tahap perencanaan suatu usaha dan/atau kegiatan dengan lokasi wajib sesuai dengan rencana tata ruang. Jika lokasi kegiatan yang direncanakan tidak sesuai dengan rencana tata ruang, maka dokumen Amdal tidak dapat dinilai dan wajib dikembalikan kepada Pemrakarsa.

“Ini sangat jelas dalam Pasal 4 PP Nomor 27 tahun 2012 tentang Izin Lingkungan,” tegas Malek, panggilan akrab Aryandi.

Pembangunan Pelabuhan ‘Cukong’ Tabrak Kawasan Konservasi Taman Laut Natuna

Selain mengabaikan izin lingkungan. Pembangunan jetty/dermaga bongkar muat tambang pasir kuarsa atau silika untuk keperluan ekspor di Desa Pengadah, Kecamatan Bunguran Timur Laut, Kabupaten Natuna Provinsi Kepulauan Riau, juga menabrak kawasan konservasi taman laut perairan Natuna yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat.

Menurut Koordinator Aliansi Natuna Menggugat, Wan Sofian, selain telah mengabaikan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Perusahaan juga menabrak Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 41 tahun 2022 tentang Rencana Zonasi Kawasan Antarwilayah Laut Natuna.

“Perpres ini ditetapkan di Jakarta pada tanggal 17 Maret 2022, pengundangannya 17 Maret 2022 lalu. Dalam Perpres ini jelas tidak ada celah bagi tambang kuarsa di Pulau Bunguran Besar,” sebut Wan Sofian, menjawab koranperbatasan.com, melalui telepon genggam miliknya, Selasa, 21 Juni 2022.

Panah warna merah menunjukan titik lokasi Pelabuhan Jetty untuk keperluan bongkar muat pasir kuarsa di Natuna yang belum memiliki izin lingkungan, masuk Kawasan II pada Peta Konservasi Laut Kabupaten Natuna.

Wan Sofian menegaskan, pada Perpres 41 tahun 2022, pemerintah pusat justru konsentrasi menjadikan Natuna sebagai kawasan konservasi, pertahanan keamanan dan zonasi tangkap serta budidaya ikan.

“Satu-satunya zonasi tambang alam dalam Perpres 41 yang mengatur zona kawasan perairan laut Natuan ini justru berada di Pantai Kalimanan Barat dan sekitarnya, itu pun tambang migas yang ramah lingkungan,” tegasnya.

Kata Wan Sofian, zonasi wilayah perairan dalam Perpres Nomor 41 Tahun 2022 tentang Rencana Zonasi Kawasan Antarwilayah Laut Natuna-Natuna Utara ditetapkan untuk mewujudkan pusat pertumbuhan kelautan menggerakkan ekonomi kawasan. Termasuk kawasan konservasi di laut yang mendukung pengelolaan sumber daya ikan dan kelestarian biota laut serta kawasan strategis yang terkait dengan lingkungan hidup dan situs warisan dunia yang dikembangkan secara optimal dan berkelanjutan.

“Ada zona pertambangan, tapi kebijakan dalam rangka mewujudkan zona pertambangan yang ramah lingkungan. Penyelarasan pemanfaatan ruang ini untuk usaha hulu minyak dan gas bumi. Memang ada penyelarasan kegiatan pertambangan mineral dan batubara. Sedangkan pasir kuarsa jenis tambang mineral bukan logam, tidak nyambung,” pungkasnya.

Selain itu, lanjut Wan Sofian, juga untuk destinasi wisata bahari yang berdaya saing, berorientasi global. Bahkan sebagai zona pertahanan dan keamanan untuk menunjang stabilitas keamanan dan pertahanan wilayah.

“Bukan untuk pembangunan pelabuhan jetty. Apa lagi untuk ngangkut pasir kuarsa bawa keluar. Makanya saya heran, sudahlah tidak ada izin lingkungan, bangunnya dikawasan konservasi pula. Tapi Pemda Natuna kok diam?,” cetus Wan Sofian.

Spanduk bertuliskan ‘Jangan Menambang Pasir Berkedok PAD, Kerusakan Lingkungan Kami Anda Tak Peduli’ oleh Alianasi Natuna Menggugat di Kantor DPRD Natuna. 

Sampai berita ini diterbitkan, Kepala Dinas Pekerjaan Umum Penataan Ruang dan Pertanahan Provinsi Kepri, Ir. Abu Bakar, MT, dan Kepala Dinas Kelauatan dan Perikanan Provinsi Kepri, Dr. H. TS. Arif Fadillah, S.Sos, M.Si serta Kepala Dinas Pekerjaan Umum Penataan Ruang (PUPR) Kabupaten Natuna, Agus Supardi, maupun Gubernur Provinsi Kepri, H. Ansar Ahmad, setelah beberapa kali dihubungi melalui panggilan telepon dan pesan WhatsApp, belum menjawab.  (KP).


Laporan : Amran


 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *