Aktifitas Jalan Terus, Dermaga Bongkar Muat Tambang Pasir Keperluan Ekspor di Natuna Abaikan Izin Lingkungan

Terbit: oleh -42 Dilihat

NATUNA – Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Provinsi Kepulauan Riau, Hendri, ST mengaku belum mengetahui adanya reklamasi pantai oleh perusahaan untuk pembangunan pelabuhan jetty/dermaga bongkar muat tambang pasir kuarsa atau silika di Desa Pengadah, Kecamatan Bunguran Timur Laut, Kabupaten Natuna.

Hendri memastikan sampai saat ini, pihak perusahaan belum ada yang mengajukan permohonan Izin Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal/UKL-UPL), terkait pembangunan/penimbunan/reklamasi pantai sepanjang 200 meter dengan lebar 12 meter lebih di Desa Pengadah, untuk bongkar muat hasil tambang pasir keperluan ekspor.

“Di kami kayaknya gak ada, mengeluarkan izin lingkungan terhadap pembangunan pelabuhan itu,” tegas Hendri, menjawab koranperbatasan.com, melalui panggilan telepon, Jum’at, 10 Juni 2022.

Potret reklamasi pantai oleh perusahaan untuk pembanguna pelabuhan jetty/dermaga bongkar muat tambang pasir kuarsa atau silika di Desa Pengadah sepanjang 200 meter dengan lebar 12 meter lebih.

Padahal kata Hendri, pihak perusahaan wajib mengajukan permohonan Izin Amdal untuk pembangunan pelabuhan jetty/dermaga tersebut, agar suatu kegiatan yang dijalankan tidak menimbulkan/menyebabkan pencemaran, kerusakan, maupun gangguan terhadap lingkungan atau dampak sosial lainnya.

“Kalau dia sudah megang WIUP, kalau dia mau bangun pelabuhan itu, dia harus urus izin lingkungannya. Itu tadi, dia bermohon ke DLHK, setelah dia bermohon ke PTSP. Kalau dia sudah bangun, Amdal belum ada, maka harus dikenakan sanksi administrasi,” pungkas Hendri.

Hendri menjelaskan, Amdal/UKL-UPL adalah dokumen lingkungan hidup yang harus disusun oleh pelaku usaha. Baik untuk kegiatan penambangan pasir kuarsa atau silika, maupun pembangunan/penimbunan/reklamasi pantai untuk bongkar muat tambang pasir tersebut. Tujuannya agar kegiatan usaha yang dilakukan tidak berdampak buruk terhadap lingkungan hidup.

Berdasarkan screenshot gambar peta titik lokasi dari Aplikasi CarryMap Ovserver tempat aktifitas tambang pasir kuarsa/silika dan pembangunan/penimbunan/reklamasi pantai di Desa Pengadah yang dikirim Hendri ke koranperbatasan.com, menyebutkan bahwa kawasan tersebut adalah putih, sehingga menjadi kewenangan pemerintah daerah.

“Udah putih, bukan kawasan hutan. Kalau kawasan putih Pemda setempat, tapi dokumen lingkungan tetap harus ada,” ungkap Hendri.

Screenshot gambar peta titik lokasi dari Aplikasi CarryMap Ovserver tempat aktifitas tambang pasir kuarsa/silika dan pembangunan/penimbunan/reklamasi pantai di Desa Pengadah yang dikirim Hendri ke koranperbatasan.com.

Sementara, Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Manusia (ESDM) Provinsi Kepulauan Riau, Drs. M. Darwin, MT, menyebut pasir kuarsa masuk katagori mineral bukan logam. Pengelolaan tambang jenis ini menjadi kewenangan pemerintah provinsi. Hanya saja izin dikeluarkan saat kewenangan masih di pemerintah pusat.

“Dengan Perpres 55 tahun 2022 menjadi kewenangan pemerintah provinsi. Izin yang ada di Natuna terbit ketika kewenangan di kementerian,” tulis Darwin, dalam pesan WhatsApp, Sabtu, 11 Juni 2022.

Ketika ditanya mengenai Surat Bupati Natuna Nomor 650/PUPR/282/X/2021, tanggal 07 Oktober 2021 tentang permohonan substansi Ranperda RTRW Kabupaten Natuna tahun 2021-2041 yang dibuat berdasarkan kajian pemerintah provinsi, bukan kabupaten. Darwin menyarankan menanyakan langsung dengan dinas terkait.

“Terkait tata ruang silakan ke PU. Terkait lingkungan silahkan ke DLHK,” cetus Darwin.

Ada Pidana Bagi Perusahaan Nakal Tak Kantongi Izin Lingkungan

Sehubungan dengan pengundangan Undang Undang RI Nomor 11 tahun 2020  tentang Cipta kerja dan Peraturan Pemerintah RI Nomor 22 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup terdapat perubahan dan penegasan terkait izin lingkungan.

Sebagaimana diketahui, setiap usaha atau kegiatan yang wajib memiliki izin lingkungan Pasal 36 ayat (1) Undang Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) tetapi tidak memiliki izin lingkungan atau melanggar, maka dapat dikenai pidana sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 109 ayat (1) UU Nomor 32 tahun 2009.

Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan tanpa memiliki izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). (Pasal 109 ayat (1) UUPPLH).

Banner himbauan setiap usaha dan atau kegiatan yang wajib memiliki Amdal atau UKL-UPL wajib memiliki izin lingkungan. (Foto : Net).

Sedangkan pejabat pemberi izin usaha dan/atau kegiatan yang menerbitkan izin usaha dan/atau kegiatan tanpa dilengkapi dengan izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). (Pasal 111 ayat (2) UUPPLH).

Untuk diketahui bersama, Dokumen Amdal harus disusun pada tahap perencanaan suatu usaha dan/atau kegiatan dengan lokasi wajib sesuai dengan rencana tata ruang. Jika lokasi kegiatan yang direncanakan tidak sesuai dengan rencana tata ruang, maka dokumen Amdal tidak dapat dinilai dan wajib dikembalikan kepada Pemrakarsa. (Pasal 4 PP No. 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan).

Sebelumnya, Basyaruddin Idris, Stafsus Gubernur Kepri, Bidang Pemuda, Olah Raga dan Penghubung Antar Lembaga juga membenarkan izin yang sudah dikantongi oleh perusahan tambang pasir kuarsa di Natuna dikelurakan oleh pemerintah pusat.

“Izinnya kan sudah dikeluarkan oleh pusat. Kita semua tahu kalau izin tambang itu haknya pusat. Jadi itu dari pusat, sekarang dilimpahkan ke provinsi, setelah tidak ada lahan lagi di Kepri,” kata Oom panggilan akrab Basyaruddin Idris, melalui pesan WhatsApp, Selasa, 31 Mei 2022.

Oom mengaku sudah mengetahui gejolak yang terjadi di Natuna, terkait masuknya perusahaan tambang pasir kuarsa atau silika. Informasi tersebut diperolehnya dari pemberitaan media massa, dan curhat pribadi masyarakat Natuna.

“Jika itu sudah permintaan masyarakat untuk di tolak, ya wajib lah pemerintah untuk tegas mendukung kehendak masyarakat. Jika kehendak rakyat minta tutup, ya tutup aja lah! Jangan sampai rakyat mengamok,” beber Oom.

Potret salah satu kawasan strategis lahan yang telah di beli oleh perusahaan untuk dijadikan kawasan pertambangan pasir kuarsa/silika di Kabupaten Natuna Provinsi Kepulauan Riau.

Sementera Kepala Desa Teluk Buton, Kecamatan Bunguran Utara, Doni Boy mengaku belum mengetahui seperti apa indikator dokumen studi kelayakan (FS) dan dokumen lingkungan (Amdal/UKL/UPL) pasca tambang kuarsa atau silika yang beroperaasi di daerahnya.

Ia hanya tahu jika perusahan beroperasi memberikan warna baru bagi perekonomian masyarakatnya, seperti terserapnya tenaga kerja lokal dan perolehen uang dari jual beli lahan, yang katanya sudah mencapai 300 hektar.

“Luas lokasi area tambang sekarang ini kalau dari yang telah di bayar dibebaskan kurang lebih 300 hektar. Semuanya sudah di bayar, urusannya langsung antara yang punya lahan dengan perusahaan. Harganya kalau tempat rawa sekitar 1.200, kalau datar dan kering 2.200 permeter,” tutur Doni.

Selain memastikan area pertambangan adalah kawasan hutan yang boleh digarap. Doni juga mengaku tidak mengerti seperti apa aturan yang harus dipatuhi dan dimiliki serta disosialisasikan perusahan kepada masyarakat sebelum penambangan dilakukan, sebagaimana ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Dimana perusahaan harus melaksanakan ketentuan kegiatan sesuai SOP.

“Untuk saat ini kita belum diberikan bukti pasca tambangnya seperti apa, karena mereka belum bekerja. Dalam sosialisasi kemarin katanya AMDAL nyusul. Mereka juga cerita bahwa pertambangan ini jika berjalan menghasilkan 3 juta ton pertahun, masyarakat disini diutamakan untuk bekerja,” sebut Doni menjawab koranperbatasan.com, melalui telepon, Kamis, 26 Mei 2022.

Para pekerja saat ditemui di lokasi pembangunan untuk kebutuhan bongkar muat pasir kuarsa, Rabu 11 Mei 2022.

Kata Doni, tidak ada satupun dokumen yang dipegangnya selaku kades, meskipun salah satu perusahan diketahui telah beraktifitas dan akan mengeruk pasir kuarsa atau silika di daerahnya.

“Kami tidak pegang dokumen-dokumen itu, karena waktu sosialisasi kemarin dari pihak kabupaten juga ada hadir. Walaupun kami tidak pegang, kami anggap surat-surat itu, semuanya sudah diketahui oleh pihak kecamatan dan kabupaten,” ujar Doni.

Menurut Doni, Pemda Natuna jauh-jauh hari sudah mengetahui bakal ada pertambangan pasir kuarsa masuk Natuna.

“Kalau kabupaten mengatakan tidak mengetahui, tentu waktu rapat kemarin mereka tidak akan turun pak. Ada juga yang tanya dampak lingkungan seperti apa, dan mereka sudah jawab, cuma saya lupa, karena sudah terlalu lama, sekitar 5-6 bulan lalu,” ungkapnya.

Setelah mengetahui dampak pasca tambang, sebagai Kades Teluk Buton, Doni berinisiaatif akan meminta dokumen-dokumen izin pertambangan tersebut dengan pihak perusahaan jika pekerjaan sudah dilakukan.

“Kalau nanti sudah bekerja, dan izin dampak lingkungan belum ada saya memang tidak berani pak. Cuma hari ini prosesnya belum sampai disitu, karena baru ditanya masyarakat setuju atau tidak, dan kami setuju karena ada kepentingan juga untuk masyarakat,” terangnya.

Lebih jauh, Doni menjelaskan, terkait izin, pihak perusahan dipastikannya telah berkoordinasi dengan pemerintah kabupatan.

“Kalau masaalah izin orang itu melewati kabupaten dan alat-alat berat itu masuknya di Penarik. Menurut saya orang di kabupaten sudah tahu, kecuali masuknya secara gelap-gelap. Jelas masaalah izin bukan ranah saya, tapi kalau nanti mereka mau kerja pasti akan saya tanya, mana izin bapak mau kerja disini,” jelasnya.

Bentangan spanduk bertuliskan jangan menambang pasir berkedok PAD, kerusakan lingkungan kami anda tak peduli, salah satu bukti nyata penolakan terhadap kegiatan pertambangan pasir kuarsa/silika di Kabupaten Natuna.

Terkait keberadaan alat berat, Doni menceritakan saat ini hanya sebatas digunakan untuk membuka jalan menuju area pertambangan.

“Sekarang mereka baru bikin jalan tembus menuju lokasi tambang. Saya pun belum pernah masuk dalam itu, jadi tidak tahu sudah sampai dimana. Memang belum sempat, kemarin mau masuk, tiba-tiba hujan,” tutur Doni.

Terpisah, H. Umar Natuna, S.Ag, M.Pd.I, Ketua STAI Natuna melihat penambangan pasir kuarsa di Natuna tak ada urgensinya, karena potensi lain masih banyak yang belum digali dan dikembangkan untuk menghasilkan PAD, seperti potensi perikanan, migas dan pariwisata.

“Nilai tambahnya tak ada, karena yang dijualkan bahan mentah, bukan olahannya, sementara kerusakan lingkungannya akan berdampak besar bagi Natuna itu sendiri,” jelas Umar.

Menurut Umar Natuna, beban yang ditanggung tak sebanding dengan hasil yang diperoleh oleh daerah dan masyarakat kedepan. Umar berharap para pengambil kebijakan tidak membiarkan kegiatan yang akan mewarisi kerusakan lingkungan masa depan.

“Saya berharap kita semua dapat mewariskan hal-hal yang positif bagi masa depan daerah dan anak cucu,” harap Umar. (KP).


Laporan : Amran


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *