Gawat..! Perda RTRW Pintu Masuk Penambang Kuarsa di Natuna Diduga Cacat Hukum

Terbit: oleh -59 Dilihat
Gambar ilustrasi, Koordinator Aliansi Natuna Menggugat, Ketua Pansus, Ketua DPRD, dan Bupati Natuna.

NATUNA – Evaluasi revisi penetapan Peraturan Daerah (Perda) Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Nomor 18 tahun 2021 tentang RTRW Kabupaten Natuna tahun 2021-2041 yang sekaligus mencabut Perda Nomor 10 tahun 2012 tentang RTRW Kabupaten Natuna tahun 2011-2031 diduga cacat hukum dan sarat kepentingan.

Dugaan sarat kepentingan tersebut berawal dari munculnya surat sakti yang dikeluarkan dan ditandatangani oleh Pelaksana harian (Plh) Bupati Natuna, Hendra Kusuma dimasa transisi pergantian Bupati Natuna Hamid Rizal menjelang pelantikan Bupati Natuna, Wan Siswandi.

“Saat itu saya belum jadi bupati dan Pak Hamid juga sudah selesai masa jabatannya, sehingga usulan tersebut ditandatangani Hendra Kusuma,” kata Bupati Natuna Wan Siswandi menjawab Aliansi Natuna Menggugat dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) pro-kontra masuknya perusahaan tambang pasir kuarsa, di Ruang Rapat Paripurna DPRD Natuna, Jum’at 27 Mei 2022 kemarin.

Surat yang dimaksud adalah Nomor : 650/PUPR/107/2021 dikeluarkan pada tanggal 05 Mei 2021. Surat tersebut berisikan tentang evaluasi revisi RTRW Kabupaten Natuna. Dalam pembahasannya, Pansus RTRW DPRD Natuna menyepakati penambahan substansi persub dari kawasan perkebunan ditambah pertambangan untuk kebutuhan lokal.

“Perda-nya sudah disahkan, perubahannya tanpa pengesahan. Ada beberapa wilayah diperuntukan selain perkebunan, juga sebagai wilayah tambang, tidak lebih dari 25 hektar. Hanya untuk memenuhi kebutuhan pembangunan di dalam kabupaten saja. Namanya wilayah pertambangan rakyat, itu untuk kebutuhan lokal, izinnya tetap di provinsi,” ungkap Marzuki, Ketua Pansus.

Gambar ilustrasi, Koordinator Aliansi Natuna Menggugat, Wan Sifian, Ketua Pansus, Marzuki, Ketua DPRD Natuna, Daeng Amhar,dan Bupati Natuna, Wan Siswandi. (Foto : koranperbatasan.com).

Berjalannya waktu setelah pengesahan, Marzuki mengaku tidak tahu jika Perda RTRW yang telah dibahasnya terjadi revisi, pada saat meminta persetujuan dari substansi Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR) RI.

“Saya tidak bisa memastikan usulan munculnya dari mana? Apakah dari daerah, provinsi, atau pusat. Sampai saat ini, kita tidak memiliki bukti otentik, atau surat-surat yang dimaksud. Saya kurang mengerti tentang itu, yang jelas usulan itu tidak melalui paripurna DPRD,” tegas Marzuki.

Dari pengakuan Marzuki, diduga evaluasi revisi Perda RTRW Natuna tahun 2021-2041 dibuat sepihak dan cacat hukum. Karena perda yang berisikan perubahan penambahan luas kawasan industri pertambangan dari wilayah pertambangan rakyat direvisi menjadi tidak terbatas, tanpa sepengetahuan Pansus DPRD Natuna.

Selain Ketua Pansus, Wakil Ketua II DPRD Natuna, Jarmin Sidik juga mengaku tidak tahu jika Perda RTRW yang dimaksud terjadi perubahan. Ia baru megetahui setelah adanya RDP DPRD Natuna bersama Aliansi Natuna Menggugat dengan Bupati Natuna Wan Siswandi dan pengusaha tambang pasir kuarsa di Kantor DPRD Natuna, Jum’at 27 Mei 2022 lalu.

“Saya tidak tahu. Nanti saya tanya sama pimpinan dan pansus. Kita memang tidak pernah diberitahu tentang revisi-revisi itu,” jawab Jarmin, singkat, sambil berjalan menuju pelabuhan, Rabu, 01 Juni 2022.

Bupati Natuna, Wan Siswandi dalam RDP saat itu pun sempat menyebut bahwa dirinya ada mengeluarkan surat. Hanya saja ia tidak menjelaskan lebih jauh surat-surat yang dimaksud.

“Karena belum disahkan, makanya saya ketika dilantik jadi Bupati Natuna memohon lagi, menyurati lagi, apa yang menjadi persoalan yang sudah didahului,” sebutnya.

Bentangan spanduk bertuliskan “Jangan Menambang Pasir Berkedok PAD, Kerusakan Lingkungan Kami Anda Tak Peduli, menghiasi suasana RDP di pintu masuk Ruang Rapat Paripurna DPRD Natuna. (Foto : koranperbatasan.com).

Menurut Wan Siswandi, penambahan kawasan pertambangan pada Perda RTRW yang romantis dibicarakan saat ini berasal dari hasil kajian pemerintah provinsi, bukan pemerintah kabupaten.

“Kita tidak punya kewenangan tambang, sementara saat itu Pak Ansar melihat bahwa ada kemungkinan potensi peluang untuk penambangan pasir. Maka diturunkanlah tim-nya, hasil kajiannya juga ada. Oleh provinsi diminta membuat dukungan kepada pemerintah daerah, agar menyurati perubahan,” ungkap Wan Siswandi.

Lebih jauh, Wan Siswandi menjelaskan, karena telah diberikan ruang oleh Kementerian ATR, maka disampaikanlah berbagai usulan. Diantaranya tentang bandara Subi, BTS, jaringan pengaman pantai, embung air Serasan, pulau-pulau kecil berpotensi pariwisata, termasuk potensi tambang.

“Pada surat usulan itu, kita bunyikan bahwa berdasarkan kajian yang dibuat provinsi, bukan kabupaten. Sehingga setelah itu, diminta harus ada persetujuan DPRD, dan usulan itu tidak merubah secara keseluruhan tata ruang,” jelasnya.

Sementera Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional Direktorat Jenderal Tata Ruang RI melalui surat Nomor: PB.01/624.V-200/XI/2021, perihal persetujuan substansi atas Ranperda Kabupaten Natuna tentang RTRW tahun 2021-2041 tertanggal 12 November 2021 meminta Bupati Natuna menindaklanjuti surat usulan Nomor: 650/PUPR/282/X/2021/ tertanggal 07 Oktober 2021.

Dari perihal permohonan persetujuan substansi Ranperda RTRW Natuna tahun 2021-2041 tersebut, salah satunya meminta Pemda menyerahkan dokumen peraturan daerah Kabupaten Natuna tentang RTRW Natuna tahun 2021-2041 berikut peta dalam pormat shapefile kepada Derektoral Jenderal Tata Ruang selambat-lambatnya 1 bulan setelah ditetapkan.

Hasil pengesahan substansi Perda RTRW dari usulan evaluasi revisi yang ditandatangani Bupati Natuna Wan Siswandi dan Ketua DPRD Natuna Daeng Amhar ditemukan perubahan peluasan kawasan. Anehnya Daeng Amhar menandatangani surat tersebut tanpa membaca isinya terlebih dahulu. Sehingga ia mengaku tak tahu terjadi perubahan/penambahan luas kawasan tambang yang dinilai tidak pro rakyat.

“Pimpinan, kok anda menandatangani surat usulan dari bupati itu, anda tidak baca dulu, tolong jelaskan,” tanya Wan Sofian, Koordinator Aliansi Natuna Menggugat.

Suasana saat berlangsungnya Rapat Dengar Pendapat (RDP) DPRD Natuna dengan Aliansi Natuna Menggugat dan Bupati Natuna beserta utusan pengusaha tambang, di Ruang Rapat Paripurna Kantor DPRD Natuna, Jum’at 27 Mei 2022. (Foto : koranperbatasan.com).

Menjawab pertanyaan itu, Ketua DPRD Natuna, Daeng Amhar pun menceritakan, bahwa setelah disahkan induknya, perda tidak otomatis langsung berlaku. Perda diserahkan dulu ke gubernur, dan gubernur proses lagi pembahasan perda tersebut. Setelah selesai, gubernur meneruskan perda tersebut ke pemerintah pusat, tepatnya Kementerian ATR.

Kata Daeng Amhar, setelah selesai di Kementerian ATR, perda tersebut turun kembali ke gubernur, sehingga sampai ke kabupaten. Ia pun tidak lagi membaca dan langsung menandatangani surat tersebut, dikarenakan ketika dibahas di kementerian tidak ada perubahan secara signifikan.

“Maka saya sampaikan mengapa saya tanda tangan, karena RTRW itu wajib disahkan. Ketika gubernur menurunkan timnya menemukan ada potensi-potensi pertambangan, kami juga wajib memasukkannya ke dalam Perda RTRW itu. Kalau tidak kami masukan, maka kami melakukan pembohongan publik,” pungkas Amhar.

Sayangnya Aliansi Natuna Menggugat tak begitu tertarik dan merasa yakin akan jawaban dan berbagai paparan yang disampaikan baik oleh Bupati Natuna Wan Siswandi maupun Ketua DPRD Natuna Daeng Amhar.

Aliansi Natuna Menggugat bahkan menaruh curiga adanya kebohongan dan rekayasa, serta perampasan sepihak kawasan yang semulanya hanya sebatas Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) untuk kebutuhan lokal, tiba-tiba berubah menjadi wilayah pertambangan dengan skop lebih besar.

Perubahan penambahan luas kawasan pertabangan tersebut, dinilai bukan untuk kepentingan seluruh masyarakat Natuna. Tetapi memang sengaja dibuat untuk kepentingan sekelompok orang, membuka pintu masuk bagi pengusaha tambang pasir kuarsa yang saat ini sudah berhasil membebaskan lahan warga. Apakah semua anggota DPRD Natuna tahu?.

Menurut Wan Sofian hampir seluruh kawasan perkebunan dan permukiman rakyat di Pulau Bunguran Besar yang terdiri dari Kecamatan Bunguran Utara, Bunguran Timur Laut, Bunguran Timur, Bunguran Tengah dan Bunguran Selatan mendadak berubah.

“Misalnya di Kecamatan Bunguran Utara berubah menjadi 782 hektar. Kemudian di Bunguran Selatan menjadi 1118,38 hektar. Sementara Pansus DPRD hanya menetapkan 25 hektar tidak boleh lebih. Karena penambahan kawasan pertambangan yang semulanya hanya perkebunan itu, khusus untuk kebutuhan lokal,” beber Wan Sofian.

Peta pola ruang RTRW perubahan kawasan pertambangan dari 25 hektar menjadi 1118,38 hektar di Kecamatan Bunguran Selatan yang sebelumnya adalah kawasan perkebunan. (Foto : koranperbatasan.com).

Kata Wan Sofian perampasan hak masyarakat melalui surat usulan tersebut tampak jelas dalam perubahan Perda RTRW Kabupaten Natuna tahun 2021 setelah direvisi. Pasalnya beberapa kawasan perkebunan dan permukiman rakyat telah berubah fungsi menjadi kawasan pertambangan mineral dan batubara.

“Pada Perda sebelumnya itu kan hanya kawasan pekebunan dan permukiman rakyat. Kalau tidak ditambah jadi kawasan pertambangan mana bisa pengusaha tambang masuk, dan mana mungkin pemerintah provinsi dan pusat mengeluarkan izin tambang itu,” pungkasnya.

Wan Sofian menagaskan, segelintir fakta yang disampaikannya melalui media ini, baru hanya sebatas kawasan perkebunan di dua kecamatan saja. Belum termasuk kawasan permukiman dan kawasan hutan yang juga ikut berubah secara tiba-tiba.

“Rentang waktunya sangat singkat. Akhir tahun 2021 berubah, tahun 2022 perusahaan tambang masuk. Artinya mereka sudah punya rencana ingin mengeruk pasir kuarsa di Pulau Bunguran Besar ini,” tegasnya.

Setelah mempelajari dampak dari pertambangan itu, sebagai Koordinator Aliansi Natuna Menggugat, Wan Sofian meminta agar Bupati Natuna secepatnya mencabut kembali surat yang dikeluarkannya terkait persetujuan substansi atas Ranperda Kabupaten Natuna tentang RTRW tahun 2021-2041.

“Kembalikan kawasan itu pada fungsi semulanya, karena itu hak masyarakat. Jika tidak segera di cabut, maka Alainsi Natuna Menggugat bersama masyarakat akan melakukan aksi menuntut semua itu,” cetusnya.

Dari carut marut hingga terbukanya ruang wilayah ini, akhirnya PT Indoprima Karisma Jaya berhasil kantongi Izin Usaha Pertambangan (IUP) seluas 500 hektar lahan tambang pasir kuarsa di Desa Teluk Buton, Kecamatan Bunguran Utara. Selain PT Indoprima Karisma Jaya, PT. Bina Karya Alam juga diketahui telah berhasil mengantongi IUP. Sementera beberapa perusahaan lagi diketahui telah memperoleh WIUP.

Sayangnya Kepala Desa Teluk Buton, Kecamatan Bunguran Utara, Doni Boy mengaku belum mengetahui seperti apa indikator dokumen studi kelayakan (FS) dan dokumen lingkungan (Amdal/UKL/UPL) pasca tambang kuarsa atau silika yang akan beroperaasi di daerahnya.

Peta pola ruang RTRW perubahan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) tidak lebih dari 25 hektar direvisi menjadi 782 hektar di Kecamatan Bunguran Utara, sebelumnya adalah kawasan perkebunan. (Foto : koranperbatasan.com).

Ia hanya tahu jika perusahan beroperasi akan memberikan warna baru bagi perekonomian masyarakatnya, seperti terserapnya tenaga kerja lokal dan perolehen uang dari jual beli lahan.

“Luas lokasi area tambang sekarang ini kalau dari yang telah di bayar dibebaskan kurang lebih 300 hektar. Semuanya sudah di bayar, urusannya langsung antara yang punya lahan dengan perusahaan. Harganya kalau tempat rawa sekitar 1.200, kalau datar dan kering 2.200 permeter,” tutur Doni.

Selain memastikan area pertambangan adalah kawasan hutan yang boleh digarap, Doni juga mengaku tidak mengerti seperti apa aturan yang harus dipatuhi dan dimiliki serta disosialisasikan perusahan kepada masyarakat sebelum penambangan dilakukan, sebagaimana ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Dimana perusahaan harus melaksanakan ketentuan kegiatan sesuai SOP.

“Untuk saat ini kita belum diberikan bukti pasca tambangnya seperti apa, karena mereka belum bekerja. Dalam sosialisasi kemarin katanya AMDAL nyusul. Mereka juga cerita pertambangan ini jika berjalan menghasilkan 3 juta ton pertahun, masyarakat disini diutamakan untuk bekerja,” sebut Doni, menjawab koranperbatasan.com, melalui telepon, Kamis, 26 Mei 2022.

Kata Doni, tidak ada satupun dokumen yang dipegangnya selaku kades, meskipun beberapa perusahaan diketahui telah memiliki Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan akan mengeruk pasir kuarsa atau silika di daerahnya.

“Kami tidak pegang dokumen-dokumen itu, karena waktu sosialisasi kemarin dari pihak kabupaten juga ada hadir. Walaupun kami tidak pegang, kami anggap surat-surat itu, semuanya sudah diketahui oleh pihak kecamatan dan kabupaten,” ujar Doni.

Menurut Doni, Pemda Natuna jauh-jauh hari sudah mengetahui bakal ada pertambangan pasir kuarsa masuk Natuna.

“Kalau kabupaten mengatakan tidak mengetahui, tentu waktu rapat kemarin mereka tidak akan turun pak. Ada juga yang tanya dampak lingkungan seperti apa, dan mereka sudah jawab, cuma saya lupa, karena sudah terlalu lama, sekitar 5-6 bulan lalu,” ungkapnya.

Gambar peta titik lokasi penambangan pasir kuarsa di Kabupaten Natuna yang akan dilakukan oleh 19 perusahaan tambang untuk dibawa ke China. (Foto : Screnshoot update informasi di Aplikasi MOMI Minerba).

Sebagai Kades Teluk Buton, Doni berinisiaatif akan meminta dokumen-dokumen izin pertambangan tersebut dengan pihak perusahaan jika pekerjaan sudah dilakukan.

“Kalau nanti sudah bekerja, dan izin dampak lingkungan belum ada saya memang tidak berani pak. Cuma hari ini prosesnya belum sampai disitu, karena baru ditanya masyarakat setuju atau tidak, dan kami setuju karena ada kepentingan juga untuk masyarakat,” terangnya.

Lebih jauh, Doni menjelaskan, terkait izin, pihak perusahan dipastikannya telah berkoordinasi dengan pemerintah kabupatan.

“Kalau masaalah izin orang itu melewati kabupaten dan alat-alat berat itu masuknya di Penarik. Menurut saya orang di kabupaten sudah tahu, kecuali masuknya secara gelap-gelap. Jelas masaalah izin bukan ranah saya, tapi kalau nanti mereka mau kerja pasti akan saya tanya, mana izin bapak mau kerja disini,” jelasnya.

Terkait keberadaan alat berat, Doni menceritakan untuk saat ini hanya sebatas digunakan untuk membuka jalan menuju area petambangan.

“Sekarang mereka baru bikin jalan tembus menuju lokasi tambang. Saya pun belum pernah masuk dalam itu, jadi tidak tahu sudah sampai dimana. Memang belum sempat, kemarin mau masuk, tiba-tiba hujan,” tutur Doni.

Beredar kabar, beberapa perusahan juga telah mencoba mencuri hati masyarakat yang berdomisili di Kecamatan Bunguran Selatan. Sayangnya rayuan maut pihak penambang belum berhasil. Warga setempat kabarnya sepakat menjual tanah dengan harga tinggi.

“Perusahaan merasa berat, masyarakat Cemaga masih bertahan dengan harga mereka, kalau mau disamakan dengan harga seperti di Telok Buton mungkin di Bunguran Selatan juga sudah mulai jalan,” katanya tersenyum.

Dalam hal ini, Koordinator Aliansi Natuna Menggugat, Wa Sofian berharap para penegak hukum bisa bersinergi dan segera mengusut dugaan evaluasi revisi Perda RTRW yang terindikasi cacat hukum.

“APH jangan diam, jika terbukti penjarakan saja,” pintanya. (KP).


Laporan : Amran


 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *