Geram Bantah Pernyataan HIPKI, Getuk Segera Laporkan PT Indoprima Karisma Jaya

Terbit: oleh -67 Dilihat
Dari kiri, Ady Indra Pawennari, Ketum HIPKI, Jusri Sabri, Ketum Getuk, dan Aryandi, Ketum DPP Geram Kepri Bersatu

TANJUNGPINANG – Ketua Umum Himpunan Penambang Kuarsa Indonesia (HIPKI), Ady Indra Pawennari, memastikan tidak semua perusahaan tambang, meskipun nama-namanya telah termuat pada aplikasi peta MOMI Minerba yang mengelilingi Pulau Bunguran Besar di Kabupaten Natuna, bisa dikeluarkan IUP Operasi Produksi.

Menurut Ady, sebanyak 19 perusahaan tambang yang diketahui telah berhasil mengantongi Wilayah Izin Usaha Produksi (WIUP), dan terpublikasi dalam aplikasi sistem informasi berbasis web, milik Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) bernama ESDM One Map Indonesia tersebut, baru sebatas melirik potensi.

“Saya pikir teman-teman itu, baru melihat potensi pasir kuarsa di Natuna, dan semua perusahaan yang ada di peta MOM itu, belum tentu bisa sampai keoperasi produksi,” ungkap Ady, menjawab koranperbatasan.com, Sabtu, 23 Juli 2022 malam, di RAV Hotel, Tanjungpinang, ketika diminta tanggapannya terkait rencana penambangan kuarsa di Natuna, yang sempat menuai aksi pro kontra.

Kata Ady, tidak mudah bagi perusahaan tambang untuk dapat memiliki Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi (IUP Operasi Produksi). Sebuah izin yang diberikan kepada perusahaan, setelah selesai pelaksanaan IUP Eksplorasi, melakukan tahapan kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, dan studi kelayakan, untuk melakukan tahapan kegiatan operasi produksi.

“Pertama mereka belum melakukan studi kelayakan. Setelah mereka melakukan studi kelayakan, ditemukan data-data pendukung. Layak atau tidak di tambang. Kalau misal cadangannya 20-30 senti, tentu tidak layak. Kemudian berdasarkan hasil lab, kalau silikanya dibawah 90 persen, tidak mungkin di tambang. Ada beberapa prameter sampai keoperasi produksi. Jadi tidak semua perusahaan yang ada di MOM itu, bisa mulus sampai keoperasi produksi,” ujar Ady.

Gambar peta titik lokasi rencana penambangan pasir kuarsa di Kabupaten Natuna yang akan dilakukan oleh 19 perusahaan tambang. (Foto : Screnshoot update informasi di Aplikasi MOMI Minerba).

Lelaki yang mengaku sempat menggeluti dunia jurnalistik, sebelum terjun ke dunia usaha pertambangan, bahkan sempat memperoleh penghargaan sebagai Pahlawan untuk Indonesia 2015 Bidang Inovasi Teknologi digelar MNC Media ini menjelaskan, hanya perusahaan-perusahaan dengan modal besar dan didukung teknologi tinggi, mampu berjuang sampai ketahap produksi.

“Kemudian dalam kegiatan pertambangan ini kan padat modal. Jadi pengusaha-pengusaha yang padat modal lah yang bisa eksis dipertambangan itu. Kecuali dia melakukan kerjasama dengan investor. Karena itu, membutuhkan biaya besar sekali. Bayangkan saja untuk jaminan reklamasi saja, dia harus mengeluarkan Rp100 juta per hektar, itu duit kes,” terang Ady.

Dijelaskan Ady, setelah mengantongi WIUP, perusahaan wajib membayar Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Pungutan ini harus dibayarkan baik oleh orang pribadi maupun sebuah badan. Memiliki manfaat langsung maupun tidak langsung, atas layanan atau pemanfaatan sumber daya, dan hak yang diperoleh negara, berdasarkan peraturan perundang-undangan.

“Yang pertama untuk memulai tambang itu, awalnya kita mengajukan permohonan wilayah dulu, Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) namanya. Kemarin itu, masih kewenangan Kementerian ESDM, sekarang sudah beralih ke daerah sesuai dengan Perpres 55. Kemudian setelah mendapatkan WIUP, kita harus bayar PNBP. Pencadangan wilayah, pencetakan peta itu, perusahaan harus bayar ke negara. Kemudian untuk naik eksplorasi, kita menyetor jaminan eksplorasi. Jaminan itu, sesuai dengan ketentuan harganya Rp150 ribu per hektar, tinggal dikali. Hitung saja, dari sekian banyak izin itu, untuk Natuna berapa luasnya, tinggal dikali Rp150 ribu. Segitulah banyak duit yang harus dibayarkan,” jelas Ady.

Dalam hal ini, sosok pengusaha muda yang terbilang ulet, dan pernah menjabat Ketua Asosiasi Industri Sabut Kelapa Indonesia (AISKI) Provinsi Riau, (2012-2017) ini memastikan daerah yang dijadikan ladang pertambangan kuarsa memiliki banyak keuntungan.

“Dari kegiatan tambang ini, keuntungan bagi daerah adalah pajak. Berdasarkan UU Nomor 28 tahun 2009 tentang retribusi dan pajak daerah, tambang mineral non logam 100 persen masuk ke kas daerah. Beda dengan logam kayak bauksit, dan timah itu, masuk ke pusat. Jadi daerah penghasil bahan tambang itu, cuma dapat bagi hasil. Kalau kuarsa 100 persen masuk kas daerah,” tutur Ady.

Ia pun mencontohkan bahwa di Kabupaten Lingga dari Rp16 milyar sampai hampir Rp60 milyar semuanya masuk ke kas daerah. Katanya, dulu waktu Lingga produksi timah, dan bauksit tidak pernah PAD-nya mencapai angka Rp50 milyar.

“Dengan kuarsa bisa sampai Rp50 milyar. Karena semuanya masuk ke kas daerah. Makanya kemarin ada anggota dewan ketemu saya dorong agar bupatinya cepat menerbitkan peraturan bupati, tentang pajak dan retribusi daerah yang mengatur pertambangan mineral bukan logam. Karena itulah penghasilan daerah paling besar, mungkin bisa kalah bagi hasil dari migas,” cetus Ady.

Dihadapan Redaksi dan Staff Redaksi koranperbatasan.com malam itu, pria kelahiran Wajo, Sulawesi Selatan, 14 April 1973 silam yang kabarnya banyak memetik pelajaran dari falsafah burung ini, menerangkan dalam UU Nomor 28 tahun 2009, daerah boleh memungut pajak maksimal 25 persen.

“25 persen pajak itu besar sekali. Tinggal daerah menetapkan berapa harga pokok penjualan. Kalau di Lingga ditetapkan bupati Rp100 ribu per kubik. Natuna maunya seperti apa?. Mau mengikuti Lingga atau naikkan lagi, gak ada masaalah, sepanjang pengusaha masih bisa. Karena kita harus bayar pajak, dan kalau tidak ikut aturan bupati, gak berjalan,” beber Ady.

Ady Indra Pawennari, Ketum HIPKI, dan Ketum DPP Geram Kepri Bersatu serta Redaksi koranperbatasan.com poto bersam di Food Court Hotel RAV, Tanjungpinang, 23 Juli 2022 malam.

Lebih jauh Ady menceritakan, perusahaan tidak akan pernah bisa melakukan kegiatan ekspor kuarsa, jika belum membayar pajak kepada daerah. Karena persyaratan ekspor itu, harus dibuktikan setoran pajaknya terlebih dahulu. Setoran pajak itu, 100 persen untuh untuk daerah penghasil.

“Begitu naik ke tongkang, sebelum tongkang bergerak, sudah harus bayar pajak. Cuma saya belum tahu, apakah Natuna sudah memiliki Perda yang mengatur tentang itu. Saya bilang kemarin, dewan seharusnya mengecek bupati sudah menetapkan peraturan itu belum. Kalau belum, dorong bupatinya, Perdakan dulu, supaya masuk barang itu. Biasanya Perda itu sudah ada, tinggal ditindaklanjuti peraturan bupati. Cuma disanakan belum pernah ada tambang, saya yakin belum diatur,” papar Ady.

Sejauh ini, Ady melihat di Natuna belum ada satupun perusahaan yang diperbolehkan melakukan operasi produksi. Oleh karena itu, ia meminta kepada pemerintah daerah segera menyiapkan perangkat-perangkatnya, antisipasi beroperasinya perusahan-perusahaan tersebut.

“Kalau perusahaannyakan belum ada yang berjalan. Saya pikir dan saya berharap pemerintah bisa menyiapkan perangkat-perangkatnya. Termasuk tadi bagaimana sih, kalau misalnya betul-betul jalan, Pemda Natuna sudah harus siapkan perangkatnya, untuk memungut pajak tadi. Dulu tambang timah dan bauksit di Lingga gak dapat apa-apa, pajaknya ke pusat. Begitu saya benahi, mineral non logam pasir bangunan, pasir kuarsa masuk ke daerah semuanya. Makanya zaman Pak Wello, APBD Lingga tembus Rp1,1 triliun,” pungkas Ady.

Ady juga sempat menyebutkan bahwa tidak semua kawasan boleh dijadikan area pertambangan. Beberapa kawasan tersebut diantaranya, kawasan hutan, pariwisata, dan konservasi.

“Sesuai penjelasan dari Dinas PUPR dan Tata Ruang Natuna, bahwa dikawasan permukiman, pertanian dan perkebunan boleh dilakukan penambangan, sepanjang disitu ada potensi. Tidak boleh itu, dikawasan pariwisata, konservasi, yang lain boleh, dengan ketentuan khusus. Secara UU saya memang tidak terlalu mendalami. Tapi beberapa kasus, kayak di Lingga, kawasan perkebunan, pertanian, boleh dilakukan penambangan, sampai hari ini,” sebut Ady.

Pengusaha sukses yang pernah menawarkan konsep penyelamatan lingkungan dengan teknik reklamasi dan revegetasi lahan kritis dan pasca tambang menggunakan media sabut kelapa ini menegaskan, khusus untuk kawasan hutan masih boleh dilakukan penambangan, jika Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengeluarkan izin.

“Sebetulnya dikawasan hutan juga boleh, dilakukan penambangan, sepanjang ada izin dari menteri kehutanan. Setelah mendapatkan izin operasi produksi, boleh mengajukan pinjam pakai. Pinjam pakai kawasan hutan ke menteri. Tentu dengan beberapa pertimbangan. Kalau di Natuna, langsung beli lahan, sepanjang surat menyuratnya ada gak masaalah, dan itu pun diluar kawasan hutan. Kalau dikawasan hutan gak boleh? Gak boleh, sepanjang belum ada izin menteri kehutanan,” tegas Ady.

Terkait pasca tambang, Ketum HIPKI memastikan, para pengusaha tambang tentunya akan mengikuti kebijakan yang dibuat oleh pemerintah setempat.

“Kita mengikuti kebijakan daerah, konsenya apa, kita mengarahkan pasca tambang kesitu. Misal konsepnya pertanian, perkebunan, pariwisata atau perikanan, kan ada banyak model yang bisa kita gunakan. Misalnya budidaya, bekas-bekas galian itu, kita jadikan kolam budidaya. Tapi kalau kuarsa, dia beda dengan tambang lain. Kuarsa, dipermukaan biasanya, dia gak terlalu dalam. Kegiatan rehabilitasinya lebih mudah, dibandingkan pasir bangunan. Kalau pasir bangunan ada sampai 60 meter, kuarsa tidak ada yang lebih dari 3 meter. Apa lagi di Natuna, saya survey kedalamannya rata-rata 1 meter,” tutup Ady.

Usai menjawab beberapa pertanyaan koranperbatasan.com, Ady sempat melakukan poto bersama, kemudian membayar semua pesanan yang menjadi santapan bersama malam itu. Ia pun permisi meninggalkan rombongan.

Pada kesempatan sama, beberapa menit setelah Ady, meninggalkan meja yang tampak dipenuhi makanan dan minuman khas Food Court Hotel RAV. Aryandi, Ketua Umum DPP Generasi Anak Melayu (Geram) Kepri bersatu, yang ikut menikmati tanya jawab malam itu, merasa ganjal. Kepada koranperbatasan.com, Aryandi, SE, mengaku heran, atas jawaban yang disampaikan Ady, selaku Ketum HIPKI.

“Aneh, katanya daerah pariwisata dan konservasi tak boleh dijadikan daerah pertambangan. Nyatanya di Natuna, PT Indoprima Karisma Jaya (IPKJ), bangun pelabuhan jetty untuk kebutuhan bongkar muat tambang kuarsa dikawasan konservasi. Dekat pula sama Geosit Tanjung Datuk,” beber Malek panggilan akrab Aryandi.

Panah warna merah menunjukan titik lokasi Pelabuhan Jetty untuk keperluan bongkar muat pasir kuarsa di Natuna yang belum memiliki izin lingkungan, masuk Kawasan II pada Peta Konservasi Laut Kabupaten Natuna.

Kata Malek, pada Peta RTRW Natuna, kawasan tempat pembangunan jetty berada dalam kawasan (LGE2), kawasan keunikan bentang alam dan (W) pariwisata. Sementara pada bagian laut berada dikawasan konservasi taman nasional perairan Natuna. Menurut saya ini patut diluruskan, demi kepastian hukum, sesuai Pasal 93 huruf (e) dan (f), Perda Nomor 18 Tahun 2021 tentang RTRW.

“Saya lihat lokasi reklamasi/penimbunan pembangunan pelabuhan jetty yang dilakukan oleh PT Indoprima Karisma Jaya itu, ada di panah merah, berjarak sekitar 900 meter dari Geosit Tanjung Datuk, yang merupakan lokasi warisan geologi dunia,” ujar Malek.

Malek menjelaskan, awalnya daerah tersebut bernama kawasan konservasi laut daerah, ditetapkan berdasarkan SK Bupati Natuna Nomor 378 Tahun 2008. Kemudian pada tahun 2020 diajukan oleh Pemerintah Provinsi Kepri untuk ditetapkan menjadi kawasan konservasi nasional. Pembahasannya di tingkat kementerian, dibahas sejak tahun 2019 lalu.

“Pada tahun 2022, kawasan ini masuk dalam naungan Perpres Nomor 41 Tahun 2022 yang diteken langsung oleh Presiden Jokowi, bulan April lalu. Dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 41 tahun 2022 tentang Rencana Zonasi Kawasan Antarwilayah Laut Natuna ini, jelas tidak ada celah satu pasal pun bagi tambang kuarsa di Pulau Bunguran Besar, Natuna,” tegas Malek.

Justru lanjut Malek, pemerintah pusat konsentrasi penuh menjadikan Natuna kawasan konservasi, pertahanan keamanan dan zonasi tangkap serta budidaya ikan.

“Setahu saya, satu-satunya zonasi tambang alam berdasarkan Perpres 41 yang mengatur zona kawasan laut Natuan ini justru berada di Pantai Kalimantan Barat dan sekitarnya. Itu pun tambang Migas yang ramah lingkungan, bukan tambang kuarsa katagori mineral bukan logam, yang beliau sebut tadi,” pungkas Malek.

Terkait pajak, Malek, sempat menceritakan bahwa PT IPKJ pada tahun 2021 masih belum menyelesaikan kewajibannya dalam pelunasan penyetoran hasil perhitungan pajak. Karena berdasarkan hasil konfirmasi BPK RI, ditemukan kekurangan penerimaan pajak minerba pasir kuarsa oleh PT IPKJ sebesar Rp172.171.296,88.

“Ngomong pajak minerba, tahun 2021 di Lingga saja masih ada temuan, setelah dihitung kembali oleh BPK,” cetus Malek.

Lampiran 2 tabel hasil perhitungan ulang BPK terhadap kekurangan penerimaan pajak minerba bukan logam dan batuan berupa pasir kuarsa PT IPKJ tahun 2021.

Sementara, Ketua Umum Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Gerakan Tuntas Korupsi (Getuk) Provinsi Kepulauan Riau, Jusri Sabri, akan melaporkan PT Indoprima Karisma Jaya ke Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Republik Indonesia, terkait pembangunan pelabuhan jetty di Kabupaten Natuna.

Kata Jusri, laporan tersebut, menindaklanjuti hasil inspeksi mendadak (sidak) yang dilakukan Komisi II DPRD Natuna, pada Selasa 19 Juli 2022 kemarin. Dimana Komisi II DPRD Natuna menemukan PT Indoprima Karisma Jaya telah berani melakukan reklamasi/penimbunan pantai sepanjang 270 meter, tetapi belum mengantongi izin sama sekali.

“Kami, LSM Getuk segera melaporkan PT Indoprima Karisma Jaya, jika benar hasil sidak Komisi II DPRD Natuna, menemukan adanya reklamasi pantai oleh PT Indoprima Karisma Jaya, sepanjang 270 meter, sementara belum memiliki izin,” ungkap Jusri, kepada koranperbatasan.com, Rabu, 20 Juli 2022.

Jusri juga meminta Aparat Penegak Hukum (APH) di Provinsi Kepulauan Riau, khususnya Kabupaten Natuna, bertindak tegas, dan mengusut tuntas, serta menyeret semua pihak-pihak yang terlibat dalam kasus reklamasi/penimbunan pantai untuk pembangunan pelabuhan tanpa izin.

“Dan kami meminta penegak hukum mengusut tuntas, menyeret pihak-pihak yang terlibat. Pelaku harus di hukum seberat-beratnya, agar menjadi pembelajaran bagi daerah lain, dan pihak-pihak lain,” tegas Jusri.

Jusri menjelaskan, PT Indoprima Karisma Jaya dapat dijerat dengan tiga Undang-Undang sekaligus. Pertama, Pasal 98 dan Pasal 109 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Ancaman hukuman 10 tahun penjara dan denda paling banyak 10 milyar rupiah.

Kedua, Pasal 69 ayat (1) dan Pasal 72 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, dengan ancaman hukuman tiga tahun penjara dan denda paling banyak 500 juta rupiah.

Ketiga, Pasal 73 ayat (1) huruf g jo Pasal 35 ayat (1) dan/atau Pasal 75 jo Pasal 16 ayat (1), Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Ancaman hukuman paling lama 10 tahun penjara dan denda paling banyak 10 milyar rupiah.

Banner pengumuman setiap usaha dan atau kegiatan yang wajib memiliki Amdal atau UKL-UPL wajib memiliki izin lingkungan, termasuk reklamsi/penimbunan pantai untuk pembangunan pelabuhan jetty kebutuhan bongkar muat material milik perusahaan.

Jusri menganggap perbuatan nekat PT Indoprima Karisma Jaya, melakukan reklamasi/penimbunan pantai dikawasan konservasi dan taman laut perairan Natuna, tanpa mengantongi izin, merupakan kejahatan serius dan ancaman bagi lingkungan.

“Kejahatan sumber daya alam termasuk reklamasi tanpa izin menunjukkan kejahatan serius dan luar biasa. Saya minta aparat segera menindak tegas pelakunya,” pungkas Jusri.

Sebelumnya, Ketua Komisi II DPRD Kabupaten Natuna, Marzuki, SH membenarkan bahwa perusahaan yang membangun pelabuhan jetty di Desa Pengadah, Kecamatan Bunguran Timur Laut, belum mengantongi izin.

“Pekerjaan akan dilanjutkan ketika izin-izin sudah mereka kantongi. Baik Amdal, maupun izin mendirikan pelabuhan. Sepertinya, tidak ada satu pun izin yang mereka kantongi,” ungkap Marzuki, usai meninjau kegiatan tersebut, bersama anggotanya, Selasa, 19 Juli 2022.

Marzuki menerangkan, aksi turun langsung mengecek kelapangan yang dilakukan oleh Komisi II DPRD Natuna, merupakan salah satu upaya untuk dapat menjawab keluh kesah masyarakat terkait pembangunan pelabuhan yang selama ini dianggap nakal.

“Kenapa Komisi II berkunjung ke pelabuhan itu?, karena pemerintah terkesan diam, tak menjawab pertanyaan masyarakat. Kita kan, berharap pemerintah, katakanlah sebagai eksekutor, apakah bupati atau pembantu-pembantunya, paling tidak bisa memberikan keterangan kepada publik,” terang Marzuki, melalui panggilan telepon, Selasa, 19 Juli 2022 malam.

Selain berhasil mengetahui nama perusahaan yang telah berani melakukan reklamasi/penimbunan pantai, pada kawasan konservasi taman laut perairan Natuna, tanpa mengantongi izin terlebih dahulu, yang dalam penulisan media ini sebelumnya disebut perusahaan hantu. Komisi II DPRD Natuna, juga berhasil mengetahui tujuan dan kegunaan dibangunnya pelabuhan tersebut.

“Ketika tak ada yang menjawab, maka kita Komisi II DPRD Natuna, berinisiatif berkunjung kesana. Kalau dikatakan sidak, mungkin tidak, karena sudah bocor duluan. Tadi di lokasi ada dari pihak perusahaan kita temui. Mereka juga didampingi penasehat hukum mereka, cuma saya tak tahu namanya. Kalau nama perusahaanya, PT Indoprima Karisma Jaya,” ujar Marzuki.

Sedangkan tujuan dibangunnya pelabuhan tersebut ada dua, pertama untuk persiapan pengangkutan material proyek APBN. Kedua untuk persiapan bongkar muat tambang pasir kuarsa/silika.

“Mereka menjelaskan, pelabuhan di bangun untuk dua fungsi. Pertama untuk persiapan pasir silika. Jika jadi, maka di pelabuhan itu, tempat pengangkutannya. Kedua digunakan untuk material mereka, katanya yang menang kegiatan proyek pembangunan jalan Telok Butun-Kelarik. Akan tetapi, ketika kita tanya perizinannya, kata mereka dalam proses,” jelas Marzuki.

Aksi nekat pemilik perusahaan tersebut menurut Marzuki, punya alasan tersendiri. Kepada Komisi II DPRD Natuna, mereka beralasan antisifasi banturan cuaca ekstrem, persiapan pengangkutan material, pekerjaan proyek APBN yang kabarnya belum dilelang, namun sudah sempat viral di Natuna, karena angkanya terbilang fantastis.

“Bahwasanya ini mengingat pekerjaan yang Rp100 miliar lebih itu. Katanya di Natuna kalau sudah bulan 9 cuacanya ekstrem. Sehingga mereka membuat pelabuhan itu, menargetkan material mereka untuk pembangunan jalan yang Rp100 miliar lebih itu. Supaya pekerjaan mereka nanti bisa diselesaikan tepat waktu. Jadi itu alasannya,” tutur Marzuki.

Marzuki menegaskan, Komisi II DPRD Natuna, akhirnya meminta agar reklamasi/penimbunan pembangunan pelabuhan di pantai Desa Pengadah, sepanjang 300 meter dan telah selesai dikerjakan sepanjang 270 meter, tersisa sekitar 30 meter tersebut segera dihentikan, sampai semua izin dikeluarkan.

“Menurut mereka dari 300 meter rencana yang akan di bangun, sudah terbangun sekitar 270 meter, hanya tinggal 30 meter saja. Tapi kita sudah sampaikan, sebaiknya mereka stop dulu pekerjaan itu, sambil menunggu selesainya segala izin yang menyangkut tentang pembangunan pelabuhan itu,” tegas Marzuki.

Rombongan Komisi II DPRD Natuna saat meninjau lokasi reklamasi pelabuhan rencana bongkar muat material untuk keperluan proyek APBN dan penambangan pasir kuarsa di Desa Pengadah, Natuna, Kepulauan Riau yang dilakukan oleh PT Indoprima Karisma Jaya, tanpa memiliki izin.

Sungguh hebat! kehadiran Komisi II DPRD Natuna saat itu bagaikan gayung bersambut. Segala pertanyaan yang dilontarkan para wakil rakyat, terjawab secara arif dan bijaksana oleh pihak perusahaan.

“Menurut mereka, mulai hari ini sudah diminta menghentikan pekerjaannya lewat DLHK Provinsi Kepri. Katanya DLHK Provinsi Kepri sudah satu minggu disini. Saat kunjungan, DLHK Provinsi Kepri didampingi DLH Kabupaten Natuna. Saya bersyukur sekali ketika DLHK Provinsi mau mempending pekerjaan itu, walaupun sedikit terlambat, dan pekerjaan mereka sudah hampir selesai. Hanya tinggal 30 meter saja lagi,” pungkas Marzuki.

Lebih jauh, Marzuki menjelaskan, dari hasil kunjungan yang mereka lakukan berhasil menjawab keingintahuan masyarakat terkait pembangunan apa, dan kegiatan apa-apa saja, serta siapa yang membangun.

“Jadi sudah kita temukan, sebetulnya ini menyangkut kewenangan. Artinya kewenangan tentang seluruh izin itu, ada di provinsi. Kalau belum dihentikan, kita berencana mengirim surat ke DLHK provinsi. Tapi kalau memang sudah dihentikan, artinya mereka sudah bergerak untuk itu. Kalau kita, yang jelas tidak ada kewenangan. Tapi kita tetap berharap, paling tidak diberi tahu lah,” cetus Marzuki.

Dalam hal ini, Komisi II DPRD Natuna meminta agar Pemda Natuna bersikap arif dan bijak dalam memasukan poin-poin terkait persyaratan pembuatan izin yang akan dikeluarkan oleh Pemerintah Provinsi Kepri.

“Kami harap DLH Kabupaten Natuna mampu menyampaikan poin-poin yang dianggap perlu, untuk menjaga daerah kita. Supaya kajian Amdal tidak merugikan pihak-pihak lain. Artinya harus saling menguntungkan. Sebetulnya saya berharap pemerintah daerah lebih komunikatif.

Jangan apa yang terjadi seolah-seolah di Natuna tidak ada orang, tidak ada pemerintahan. Sepahit apapun itu, katakanlah, biar masyarakat merasa ada pemerintahan. Jangan ketika muncul persoalan, satu pun tak bisa dikonfirmasi,” imbuh Marzuki.

Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Natuna, Ferizaldi, membenarkan bahwa pihaknya sempat mendampingi Tim Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Provinsi Kepri berkunjung ke lokasi reklamasi/penimbunan pantai tersebut.

“Benar Tim DLHK Provinsi Kepri ada turun meninjau. Tim turun kelapangan pada Selasa 12 dan 14 Juli 2022. Mereka melihat potensi pasir dan mengecek kadar air laut di sekitar pelabuhan. Namun hasil labnya belum selesai. Jadi laporan belum disusun dan ditembuskan kepada kita,” tulis Ferizaldi dalam pesan WhatsApp, menjawab singkat  pertanyaan koranperbatasan.com, Rabu, 20 Juli 2022.

Sementera Sulaiman, yang disebut-sebut sebagai Direktur PT Indoprima Karisma Jaya, sampai berita ini diterbitkan, setelah beberapa kali dihubungi melalui panggilan telepon dan pesan WhatsApp belum menjawab. (KP).


Laporan : Amran


 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *