Pendapatan Susah Lapangan Kerja Minim Masyarakat Gelisah

Terbit: oleh -25 Dilihat
Potret-aktifitas-salah-seorang-warga-masyarakar-perbatasan-ujung-utara-NKRI

NATUNA, (KP),- Minimnya paket proyek pembangunan fisik sekala kecil, di Kabupaten Natuna, Provinsi Kepri, akhir-akhir ini membuat para pekerja kasar, kuli bangunan tampak bingung. Mereka yang biasanya memperoleh pendapatan dari hasil menumpang kerja, pada sejumlah kontraktor lokal, mulai kehilangan arah. “ Lapangan kerja belum banyak, jadi bukan tidak mau bekerja. Kami tidak punya penghasilan tetap, sementara tuntutan di rumah jalan terus. Kami ini, numpang kerja sama orang, itu-pun kalau pas ada proyek, “ cetus Asmawi, warga Kecamatan Bunguran Utara, Kabupaten Natuna, kepada koranperbatasan.com, Kamis, (09/08/2018) dini hari.

Ade-Wahyudi-pengusaha-lokal-yang-terbilang-masih-muda

Nada serupa juga di sampaikan oleh Ade Wahyudi, pengusaha yang bergerak di bidang cetak bata, penggilingan batu, truk angkutan tanah, dan pasir. Kepada koranperbatasan.com, lelaki yang juga menekuni dunia usaha, alat berat, dan deplover ini, mengatakan terdapat sekitar 200 lebih orang, pekerja pemecah batu mulai resah. “ Kalau perkiraan, mungkin di atas 200 lebih orang aktif bekerja sebagai pemecah batu. Kalau kawasan Ranai, itu rata-rata masyarakat di Air Raya. Pendapatan perhari tergantung, kerajinan, dan cuaca. Biasanya mereka bisa dapat, satu hari Rp.100 ribu, bahkan lebih. Ditambah lagi, ada yang ngetok batu kerikil, secara manual, “ ujar Ade Wahyudi.

Menurut pengusaha muda kelahiran 12 Januari ini, biasanya para pemecah batu melakukan aktifitasnya secara bekeluarga, mulai dari ayah, istri, hingga sampai anak-anak-nya. Sayangnya, batu yang sudah mereka kumpul, mulai sulit di jual. “ Kondisi sekarang simalakama, mau di kerjakan terus, batu sudah mulai sulit di pasarkan, atau di jual. Terus mau, di tinggalkan pekerjaan lain belum ada. Sekarang saya lihat, banyak mengeluh, mereka menjerit karena memang batu sulit di jual, “ sebut Ade Wahyudi.

Potret-salah-seorang-pekerja-pemecah-batu-di-Kecamatan-Bunguran-Barat

Katanya, tuntutan kebutuhan setiap hari bagi para pekerja, terus meningkat, sementara pintu pendapatan, mulai tertutup. “ Pemecah batu juga memakai modal, berupa kayu bakar, yang harganya berkisaran Rp.1 juta/ret. Memang ada beberapa penampung yang mau memberikan modal, baik berupa kayu bakar, maupun ransum. Tapi sekarang sudah mulai berkurang, karena minimnya proyek fisik, yang memakai bahan tempatan, khususnya batu. Jadi penampung tidak berani juga menstok batu, kepada para pekerja, dalam jumlah yang banyak, “ beber Ade Wahyudi menceritakan yang terjadi saat ini.

Lebih jauh lagi, Ade Wahyudi memastikan batu yang ada di bumi laut sakti rantau bertuah sejenis granit muda. Batu ini tidak masalah, jika digunakan untuk bangunan jenis beton. “ Tidak ada masalah, karena proyek-proyek besar dulunya juga menggunakan batu ini. Contoh, pembangunan Bandara Sipil Natuna, Irigasi, dan lain-lain, sebelum adanya ready mix. Memang jika kita membeli dalam jumlah besar, sekitar 2 ribu kubik ke atas, harganya menjadi lebih murah, di bandingkan dengan batu cor hasil kerja keras masyarakat di sini, “ terang Ade Wahyudi.

Potret-salah-seorang-pelajar-yang-mengisi-waktu-luangnya-bekerja-sebagai-pemecah-batu

Melalui koranperbatasan.com, pria lulusan S1 Sarjana Ekonomi Universitas Batam (Uniba) ini, menyarankan agar Pemerintah Daerah Kabupaten Natuna, lebih mengutamakan kegiatan proyek fisik, yang banyak memakai bahan tempatan, dan tenaga kerja lokal. Sejalan dengan yang terjadi, Pemda Natuna juga dimintanya untuk segera membuat aturan, agar proyek-proyek dari Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Pusat, yang masuk ke Natuna, sebisa mungkin lebih mengutamakan bahan, dan tenaga kerja tempatan.

“ Saran saya, Pemda harus bekerja sama, atau merangkul para pengusaha penampung batu, atau yang mempunyai mesin penggiling batu, guna mencari solusi bersama. Karena akan ada banyak masyarakat yang bisa bekerja, kalau batu mereka ada yang menampung. Dulu Pemda pernah melakukan penampung batu, bahkan memiliki mesin giling batu sendiri, melalui Perusda. Tapi sayang hanya berjalan sebentar saja, “ imbuh Ade Wahyudi, meluahkan perasaannya.

Potret-pembangunan-Bandara-Sipil-Natuna-yang-menggunakan-batu-lokal

Dalam rangka memperbaiki perekonomian masyarakat, dan kebutuhan hajat orang banyak. Putra dearah asal Seluan, Kecamatan Bunguran Utara ini, berharap agar Bupati Natuna, Abdul Hamid Rizal, tidak muluk-muluk dalam memikirkan pembangunan daerah. “ Harusnya, Pemda lebih kreatif, jangan hanya monoton gitu-gitu aja. Focus nyari investor luar, tapi hasilnya nol besar, dan lupa bahwa disini juga ada pengusha-pengusaha, yang ingin berkembng, tapi terhambat. Rangkul mereka, cari jalan bersama. Agar mereka bisa berkembng, dan mampu membuka banyak lapangan kerja. Jadi Pemda harus mendahulukan kegiatan-kegiatan, yang menyentuh langsung ke masyarakat, “ papar Ade Wahyudi, mengakhiri keluh kesahnya. (Amran).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *