NATUNA – Salah satu potensi yang belum tersentuh dan tidak seberapa diminati namun memiliki peluang industri besar di Natuna dari sektor perkebunan adalah sagu. Sekitar 50% potensi sagu dunia ada di Indonesia, dan sekitar 90% potensi sagu Indonesia ada di Papua. Indonesia mempunyai peluang besar untuk menjadi pelopor dalam modernisasi industri pengolahan sagu, Kabupaten Natuna juga memiliki peluang yang sama.
Kandungan protein sagu memang lebih rendah daripada beras atau nasi. Oleh karena itu, konsumsi sagu perlu ditambahkan dengan sumber protein lain seperti ikan, telur, daging dan sebagainya. Namun dari segi kesehatan, sagu lebih sehat daripada nasi.
Meski makanan yang berasal dari hasil ekstraksi batang pohon sagu ini sudah mulai dilupakan, namun beberapa masyarakat desa masih ada yang menekuninya. Selain masih berpotensi, pohon sagu juga dikenal kaya akan pati, yaitu karbohidrat kompleks yang terdiri dari banyak molekul gula dan bisa menjadi sumber energi.
Seperti di Desa Limau Manis Kecmatan Bunguran Timur Laut, masih ada masyarakat Natuna yang bekerja sebagai pengolah sagu, salah satunya Burhan. Lelaki ini megaku sudah hampir setahun bergabung dengan pengrajin sagu.
“Kalau saya kerja sagu ini baru kisaran setengah tahun, enam bulan. Saya kerja ngambil upah, kebunnya milik orang lain,” ujar Burhan saat ditemui koranperbatasan.com di rumah pembuatan sagu, Selasa, 25 Juni 2024.
Kata Burhan, jumlah panen sagu tergantung besar kecil dan banyaknya pohon sagu yang berhasil di tebang. Waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan satu pohon sagu hingga menjadi sagu mentah diperkirakan satu minggu.
“Kalau banyak batangnya kita tebang makin lama kerjanya. Kalau satu batang saja paling tidak satu minggu selesai. Prosesnya banyak, batangnya di tebang, terus di potong-potong, kemudian di pelai, habis di pelai diangkut lagi ke rumah penai,” ungkap Burhan.
Menurut Burhan, selain untuk dijual, sebagian besar masyarakat menekuni kegiatan pengolahan sagu adalah untuk dikonsumsi sendiri. Sagu biasanya dijual sudah dalam bentuk makanan siap saji.
“Ada orang bikin sagu kering, ada juga olahan makanan. Untuk makanan biasanya untuk campuran makanan tradisional. Biasanya setelah diolah baru dijual. Satu batang itu bisa menghasilkan kisaran 100 kilo lah,” tutur Burhan.
Burhan menceritakan, jika dijual, mereka menakarnya dengan cara tradisional. Sasaran penjualan sagu juga tidak menyebar terlalu jauh, hanya diseputran desa tersebut.
“Kami di sini jualnya per-rantang, umumnya sagu mentah dijual perkilonya Rp6 ribu. Kalau per-rantang Rp5 ribu. Tapi kalau sagu butir perkilonya Rp12 ribu. Hanya dijual lokal aja, paling jauh sekitar Ranai,” papar Burhan.
Burhan berharap pemerintah berkenan melirik potensi perkebunan sagu. Agar masyarakat pertanian dan perkebunan khususnya sagu bisa lebih bersemangat.
“Hasilnya kalau saya memang untuk kebutuhan sehari-hari. Yang jelasnya pemerintah harus nengok usaha kecil-kecilan ini, kalau bisa dibantu keluhan-keluhannya masyarakat,” pungkas Burhan. (KP).
Laporan : Iskandar
Editor : Dhitto