Tanjak Istilah Istana dan Kepahlawanan Warisan Alam Melayu Kepri

Terbit: oleh -46 Dilihat
Fakhru Redha, (kanan hujung) salah satu pengrajin Tanjak di Tanjungpinang Provinsi Kepri dan wartawan koranperbatasan.com poto bersama.

TANJUNGPINANG (KP),- Tanjak, adalah salah satu busana untuk menutup bagian kepala lelaki Melayu yang sering dikaitkan dengan istilah istana dan kepahlawanan. Dulu, Tanjak merupakan salah satu sarana pemberi isyarat atau kode dalam berperang. Tanjak juga sebagai penunjuk pangkat, jabatan serta dari mana seseorang itu berasal.

Menurut Fakhru Redha, salah satu pengrajin Tanjak di Tanjungpinang Provinsi Kepri, Tanjak dalam alam Melayu bermakna tanah yang di pijak. Tanjak pertama berdasarkan buku Destar Alam Melayu, karya DR. DR. HC. Johan Iskandar wujud pada tahun 1400. Tanjak pertama bernama Takur Tukang Besi atau disebut juga dengan istilah Ibu Tanjak.

Kemudian kata Fakhru Redha, Tanjak mempunyai syarat, pertama harus terbuat dari bahan kain, kedua berasal dari kain segi empat, di lipat menjadi kain segi tiga. Tanjak juga memiliki tapak pada lipatan pertama, sedangkan lipatan kedua dan seterusnya bernama bengkong. Bagian yang paling penting dalam Tanjak adalah harus memiliki simpul.

Simpul menurut Fakhru Redha bermakna ikatan pernikahan terbagi menjadi dua bahagian kiri dan kanan, menandakan ikatan pernikahan antara ayah dengan ibu. Dari ikatan pernikahan itu terjalinnya simpul pernikahan yang menandakan asal usul dari mana dia berasal.

“Seperti di Riau, Johor, Lingga dan Pahang menggunakan Simpul Ketupat Palas. Sedangkan dari seberang seperti Makasar ada namanya Simpul Ketupat Makasar, dari Perak namanya Simpul Garam Sebuku dan masih banyak lagi jenis simpul Tanjak, yang terakhir Tanjak memiliki karangan atau solekan dibahagian atas Tanjak,” ujar Redha kepada koranperbatasan.com sembari memperlihatkan kain tanjak dan jenis-tanjak yang telah di solek.

 

Seraya menikmati kopi panas dihadapan beberapa penggemar Tanjak, Fakhru Redha mengatakan untuk Kepulauan Riau berdasarkan buku Destar Alam Melayu jumlah Tanjak ada sekitar belasan buah diantaranya, Takur Tukang Besi, Nahkoda Trong, Mahkota Alam, Ajutan Bingas, Andri Guru Selebu, Bugis Tak Balik, Cogan Daun Kopi, Laksemane Mude, Bulang Bidang, Helang Melayang, Tebing Runtoh, Tebing Tinggi, Tebing Laksemane dan masih banyak lagi jenis-jenis yang lainnya.

Setiap Tanjak Warisan Alam Melayu kata Fakhru Redha memiliki sisilah atau titisan terimba misalnya Dari Takur Tukang Besi adalah Ibu Tanjak bentuknya dibuat seperti paruh burung.

“Filosofinya burung itu suka merenung, bertafakur, beristi’far, melawan menguasai sifat-sifat besi dalam dirinya. Dari Takur Tukang besi kemudian berkembang menjadi Tanjak Nahkoda Trong, menandakan seoarang nakhoda kemudian terus berkembang menjadi beberapa jenis Tanjak,” terang Redha, Jum’at, 08 Juli 2019 di Morning Bakery Batu 7 Tanjungpinang.

Fakhru Redha sosok lelaki pecinta Tanjak Warisan ini terlihat “pede” memperagakan kepada beberapa orang yang saat itu sempat “terhipnotis” oleh kemampuannya membuat Tanjak, meski suasana Morning Bakery ramai pengunjung.

Katanya penggunaan Tanjak terbagi menjadi tiga, pertama berdasarkan adat, yakni kebiasaan sehari-hari kehidupan masyarakat setempat. Kedua adat istiadat, yakni memiliki protokoler yang lebih mengarah pada ketetapan yang disepakati secara bersama-sama dalam suatu majelis. Ketiga adab, yakni menjunjung tinggi nilai-nilai penggunaan Tanjak.

“Ibarat kita memakai songkok, tidak mungkin kita pakai Tanjak mengenakan celana pendek, atau tidak memakai baju. Jadi memakai Tanjak juga harus ada adab seperti menutup aurat dan berpakaian yang rapi,” katanya tersenyum.

Fakhru Redha memastikan bahwa semangat memakai Tanjak di Kepri saat ini terbilang dasyat, bahkan sempat ada banyak para pengrajin Tanjak yang membuka lapak berjualan Tanjak.

“Alangkah lebih baik di Kepri ini kita menghidupkan Tanjak yang telah diwariskan bukan dimodifikasi. Seperti Tanjak Dendam Tak Sudah itu wujud di negeri sembilan, Tanjak jenis itu digunakan oleh Sultan Negeri Sembilan. Untuk rakyat biasa namanya Solok Timbo, ” tutur Redha.

Semangat menghidupkan budaya memakai Tanjak Warisan terlihat jelas pada wajahnya, di Tanjungpinang sendiri kata Fakhru Redha, sudah dilaksanakan dua kali bengkel Tanjak Warisan terakhir di bulan Maret 2019 diikuti kurang lebih 50 peserta Tanjak dari daerah Kepulauan Riau dan berbagai daerah lainya.

“Belum sampai satu tahun, ini berawal saat kami mengadakan Bengkel Tanjak pada bulan Maret kemarin. Kita tidak hanya tentang Tanjak, karena dalam alam Melayu untuk tutup kepala itu terbagi menjadi enam jenis yakni, Destar, Getam, Tanjak, Tengkolok Lelaki, Tengkolok Perempuan, dan Songkok Semutar,” pungkas Redha.

Sosok generasi lintas waktu yang peduli akan budaya Tanjak itu, berharap kepada pemerintah khususnya Pemko Tanjungpinang yang telah membuat Peraturan Daerah (Perda) kiranya dapat menghidupkan kembali Tanjak Warisan yang pernah wujud di masa dahulu di Kepulauan Riau.

“Untuk itu kami dari Klab Warisan Tanjungpinang selalu memperkenalkan Tanjak Warisan dan mendorong diadakannya seminar dan bengkel pembuatan Tanjak Warisan agar Tanjak-tanjak Warisan tetap terjaga dan dilestarikan. Kami juga berharap pengrajin dan penjual Tanjak kalau bisa harus bersertifikasi dari lembaga atau dinas-dinas terkait dan telah mengikuti pelatiahan atau bengkel tanjak,” paparnya.

Hasil dari Bengkel Tanjak kemarin, lajut Fakhru Redha saat ini sudah banyak pengrajin yang bisa berjualan Tanjak, bahkan mereka ada yang mebuatnya menjadi sofenir dengan harga berpariasi tergantung jenis kain yang digunakan. “Harga relatif tergantung jenis kainnya, mulai dari Rp 100 ribu sampai Rp 250 ribu, karena satu bidang Tanjak Warisan ini menggunakan 85 centi meter ukuran kain,” jelasnya mengakhiri. (KP).


Pewarta : Amran


 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *