Ulat Tak Kenal Daun, Daun Tak Kenal Ulat, Mengapa Bisa Terjadi?

Terbit: oleh -32 Dilihat
Silat-merupakan-salah-satu-persembahan-budaya-masyarakat-perbatasan-Natuna-dalam-serangkai-acara-sambut-menyambut

 NATUNA, (KP),- Imam Besar Mesjid Jami’ Ranai Kabupaten Natuna, Provinsi Kepri, H. Fasmizi, menilai kehidupan masyarakat Natuna dari zaman ke zaman, terus membawa kearah perubahan yang mengkawatirkan. Tingkat kepedulian antar sesama, dinilainya sudah mulai pudar. “ Kalau zaman saya dulu masih zaman penjajahan, waktu itu perkembangan masyarakat Natuna terutama di kampung saya Cemaga, alhamdulillah toleransi kehidupan bermasyarakat tinggi. Tapi sekarang ini kita heran apa sebab macam dikatakan ulat tak kenal daun, daun tak kenal ulat “ unggkapnya menilai.

Sebagai orang tua, yang secara tidak disengaja ikut terlibat mengamati langsung perkembangan kehidupan bermasyarakat di tanah kelahirannya hingga saat ini, terus bertanya-tanya, apa sebanarnya yang menyebabkan toleransi antar sesama tersebut menjadi pudar termakan zaman.“ Memang jadi tanda tanya, bukan berarti salah cara-cara pendidikan, atau orang tuanya. Kalau dilihat memang sifat anak-anak kita sekarang ini bukan seperti orang dulu. Bisalah kita ambil bijaksana hikmahnya. Artinya loleransinya, atau bantu membantu antar sesama, sudah boleh dikatakan mulai hilang, “ imbuhnya heran.

Terkait kemerosotan moral ini, Fasmizi sempat bercerita panjang lebar kepada wartawan koran ini, dengan memberi sebuah contoh nyata yang pernah dialaminya semasa masih kecil. “ Contoh yang paling nyata, dulu  kita bekerja kelapa. Kalau kita mau ngumpul, mereka kawan-kawan, tetangga kalau dengar kita mulai bekerja, masing-masing mau membantu. Mulai dari ikut mengupas, menyulak, membelah kelapa, sampai menyalai kelapa, dilakukan bersama-sama meskipun sampai malam. Padahal kalau malam, kita kerja cuma pakai lampu patromak. Tapi kalau sekarang ini sudah tidak ada lagi yang macam itu, dan mungkin jugalah kelapa sekarang ini jadi susah laku, sampai tidak dipedulikan lagi, “ katanya menjelaskan.

Dengan tegas sang imam yang tampak murah senyum itu, menegaskan hari ini masyarakat Natuna cendrung lebih senang mengurus dirinya sendiri, ketimbang saling tolong-menolong dalam berbuat kebaikan. “ Jadi kalau macam sekarang ini, saya tengok lebih nyatanya kau-kaulah, aku-aku itu sifat generasi kita hari ini. Sebagai orang tua kita bisa banding antara dulu dengan sekarang, terus terang memang terlihat satu prubahan nyata. Penyebabnya saya kira mungkin kehidupan anak-anak sekarang kurang disiplin bermasyarakat. Jadi kalau bekerja sudah tentu “ iya udahlah ambil kerja masing-masing sajalah kan gitu, “ tegas Fasmizi.

Mendalamnya rasa kebersamaan masyarakat Natuna di masa dulu menurut Fasmizi dapat dilihat langsung ketika terjadi musibah dan muculnya persoalan ditengah-tengah kehidupan masyarakat. Artinya pada zamannya, segala persoalan bahkan musibah yang terjadi dapat terselesaikan dengan baik, karena dilakukan secara bersama-sama.

“ Waktu dulu hidup bermasyarakat, misalnya dapat dilihat pada segi keagamaan dimana orang dulu paling suka berkumpul. Kalau ada kematian tidak perlu kita beri tau satu-persatu, asal dengar ada yang mati oarang langsung berkunjung memandikan, mengapankan, dan mensholatkan jenazah bersama-sama. Tapi kalau sekarang sudah tidak ada lagi, kalau tidak diberi tau bisa-bisa jenazah tidak ada yang ngurus, paling-paling keluarganya saja. Hal yang begini juga membuat kita sedih sekarang ini, “ katanya mengakhiri.(Amran).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *