Dinas P3AP2KB Tekan Angka Pernikahan Dini Dengan Gencar Sosialisasi

Terbit: oleh -36 Dilihat
Kepala Dinas P3AP2KB, Rika Azmi S.TP, MM

NATUNA (KP) – Memiliki keluarga yang harmonis dan hebat adalah impian semua orang. Namun untuk merealisasikan hal tersebut tentunya perlu perencanaan yang baik dan matang, salah satunya menghindari pernikahan dini.

Berdasarkan Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 ayat 1 tentang perkawinan, batas usia minimal pernikahan bagi laki-laki dan perempuan adalah 19 tahun. Pernikahan memang seharusnya dilakukan saat semuanya telah siap dan terencana.

Meskipun Undang Undang telah disahkan, hal ini terkadang masih kurang dipahami oleh beberapa masyarakat Indonesia, akibatnya pernikahan dini masih sering dilakukan.

Berupaya menekan angka tersebut, Pemerintah Daerah Kabupaten Natuna, Provinsi Kepulauan Riau melalui Kepala Dinas P3AP2KB, Rika Azmi S.TP, MM, mengatakan pihaknya kerap melakukan berbagai usaha sosialisasi kepada masyarakat dan diberbagai instansi-intansi dalam mengatasi pernikahan dini.

“Yang kita lakukan dan sudah berjalan adalah meningkatkan sosialisasi di masyarakat dan dikalangan anak-anak remaja tentang dampak dari pada pernikahan dini,” ucap Rika, kepada koranperbatasan.com, Senin 22 Maret 2021.

Rika mengemukakan tidak hanya mencermati jumlah perkawinan dini. Tetapi juga dampak yang ditimbulkannya seperti kematian bayi, kematian ibu saat melahirkan, perceraian, dan jumlah stunting juga akan meningkat.

“Pihak kami di tahun 2019 mencatat ada 19 kasus yang tercatat meminta dispensasi pernikahan. Dan di tahun 2020 ada 61 kasus yang meminta dispensasi menikah,” terang Rika.

Faktor yang mendasari terjadinya pernikahan anak yaitu akibat kehamilan di luar nikah atau sudah terlanjur hamil di usia muda saat berpacaran, sehingga segera dinikahkan.

“Seluruh elemen masyarakat harus terlibat mencegah terjadinya pernikahan anak. Mulai dari keluarga, masyarakat, dan pemerintah,” tandasnya.

Menurut Rika untuk mencegah terjadinya pernikahan anak, selain anak-anak sendiri, para orang tua juga harus tahu dan paham tentang kesehatan reproduksi. Baik  sehat secara fisik, mental, maupun sosial.

“Perlu upaya bersama mengatasi hal ini, kami menyadari bahwa pernikahan anak masih banyak yang pro kontra, tapi melihat dampaknya kedepan untuk generasi muda kita, maka kita akan terus berupaya mensosialisasikan, karena masalah ini untuk sekarang butuh sosialisasi bukan pendekatan sanksi,” tutupnya. (KP).


Laporan : Boy Iqbal


 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *