NATUNA – Jum’at pagi menjelang siang, Jum’at, 01 Oktober 2021, mendung masih tampak akrab menyelimuti kota Ranai, ibu kota subuah daerah di perbatasan Utara NKRI bernama Kabupaten Natuna, Provinsi Kepulauan Riau.
Hujan memang belum turun, namun hembusan hawa dinginnya begitu jelas terasa menusuk dada selama perjalanan menuju sebuah dermaga yang terletak di Desa Binjai Kecamatan Bunguran Barat.
Pelabuhan Desa Bijai merupakan salah satu tempat bersandarnya transfortasi antar pulau jenis speed boad, setiap harinya membawa penumpang dari Ranai ke Sedanau. Angkutan laut itu bergerak setiap pagi pukul 07:30 Wib dari Pelabuhan Sedanau ke Pelabuhan Binjai, sebaliknya pada pukul 15:00 Wib dari Pelabuhan Desa Binjai ke Pelabuhan Sedanau.
Setelah 20 menit mengendarai sepeda motor siang itu, sekitar pukul 11.22 Wib wartawan koranperbatasan.com yang melakukan perjalan dari Ranai tiba di Pelabuhan Desa Binjai, rencananya akan meneruskan perjalanan menuju Pelabuhan Sedanau.
Saat itu suasana Pelabuhan Desa Bijai terlihat sepi, sembari menunggu keberangkatan speed boad, segelas kopi panas pun dihidangkan oleh pemilik warung kopi yang berjulan disekitar pelabuhan tersebut.
Hari itu, memang sedikit berbeda, meski jarum pendek pada arloji sudah menunjukan tepat di angka 2 (14.00 Wib) namun, Pelabuhan Desa Binjai tetap saja masih terlihat sepi.
“Masih sepi, mobil ojek (taxi) pun belum ada yang sampai,” ujar pemilik warung tempat wartawan koranperbatasan.com duduk menikmati kopi siang itu menjelang keberangkatan menuju Sedanau, Kecamatan Bunguran Barat.
Kadir, salah seorang petugas speed boad juga menuturkan hal yang sama. “Mungkin sepi penumpang hari ini,” cetusnya tersenyum.
Dua puluh menit berlalu, satu persatu penumpang mulai berdatangan, dalam riuh suasana, tiba-tiba seorang pemuda dengan akrab menyapa. “Kursi ini kosong?,” katanya bertanya. Sepintas dijawab “iya bang,” pemuda itu pun langsung duduk tepat disamping wartawan koranperbatasan.com.
Hasbulllah adalah sosok pemuda yang mengisi kursi kosong, duduk semeja dengan wartawan koranperbatasan.com di warung kopi Pelabuhan Binjai siang itu. Sambil menikmati kopi panas yang telah dihidangkan, ia sempat berbagi cerita mengenai cagar budaya di Desa Serantas Kecamatan Pulau Tiga, tempat dimana ia berdomisili.
Setelah mengetahui bahwa teman duduknya adalah si kuli tinta, Hasbullah pun membuka cerita tentang cagar budaya di tempat tinggalnya. Katanya, terdapat beberapa peninggalan sejarah dimasa penjajahan Jepang pada perang dunia kedua sekitar tahun 1940- 1945 silam, yaitu sebuah kawah, jangkar, dan telaga.
Masyarakat setempat meyakini cagar budaya jenis jangkar yang ada di daerahnya merupakan peninggalan dari kapal Jepang pada masa itu. Begitu juga dengan telaga yang menurutnya dikerjakan oleh masyarakat atas permintaan tentara Jepang. Sampai saat ini air dari telaga itu, masih dimanfaatkan oleh masyarakat setempat.
Ia menjelaskan, selain peninggalan penjajahan Jepang, di Desa Serantas juga terdapat sebuah Goa Hantu, murni terbentuk oleh alam. Bahkan ada sebuah keramat yang menurut cerita dari masa ke masa dijadikan tempat pemenggalan salah satu penghulu (kepala desa) pada masa itu.
Ternya Hasbullah, merupakan salah satu dari sekian banyak tokoh pemuda setempat. Ia memastikan, cagar budaya di daerahnya meski terbiarkan namun masih tetap utuh dan belum terusik.
“Masih bisa di lihat oleh siapapun, karena daerahnya dekat dengan pemukiman masyarakat,” ungkapnya.
Sebagai tokoh pemuda tempatan, ia mangaku saat ini sedang berupaya memberikan motivasi dan pengenalan cagar budaya peninggalan masa penjajahan Jepang itu kepada generasi muda di Desa Serantas.
Menurutnya jika cagar budaya di Desa Serantas terkelola dengan baik dan diletakkan dalam sebuah tempat khusus berupa mini musium, tentu akan menjadi daya tarik dan bahkan bisa menunjang perekonomian masyarakat setempat.
“Saya pun sudah berbincang dengan pihak desa agar dapat membuat mini musium, untuk meletakkan barang-barang itu. Alhamdulillah pihak desa menanggapinya, saat ini masih dalam pembahasan,” terangnya.
Tak hanya itu, Hasbullah juga meyakini jika cagar budaya yang ada dapat dikelola dengan baik tentunya akan menpengaruhi nama sebuah daerah. Terutama jika dari pihak desa, minimal memberikan dukungan kepada para pemuda tempatan untuk mengelola cagar budaya tersebut, dan menghidupkannya kembali.
“Saat ini kebudayaan mulai tenggelam, dalam arti kata generasi muda kurang berminat tentang budaya. Jadi harus ada pergerakan-pergerakan yang menimbulkan gairah, menumbuhkembangkan minat generasi muda tentang kebudayaan ini,” pungkasnya.
Salah satu faktor yang membuat kurangnya gairah generasi muda akan nilai kebudayaan dipengaruhi oleh perkembangan zaman, yakni kemajuan teknologi. Anak muda dinilainya terlalu sibuk dengan kegiatan sendiri-sendiri, sehingga melupakan budaya, meskipun itu kearifan lokal. Kebiasaan-kebiasaan ini diakuinya benar-benar terjadi di Natuna secara umum, khususnya di Desa Serantas.
“Contoh, gendang telimpong yang digunakan untuk silat mulai hilang, dan yang tahu cara menggunakan hanya orang-orang tua. Bagitu juga dengan silat kampung, hanya satu dua orang anak-anak muda yang mau belajar, seperti silat kemian dan segala macamnya. Ini menjadi ancaman terhadap kebudayaan itu sendiri, karena hampir tenggelam,” bebernya.
Kepedulian akan keberadaan cagar budaya dan kearifan lokal lainnya menjadi harapan yang ingin didsampaikannya melalui koranperbatasan.com kepada pemerintah daerah. Salah satunya cagar budaya yang ada di Desa Serantas, sangat layak dan terbilang pantas diperhatikan. Termasuk tempat-tempat wisata yang ada di daerahnya seperti Pulau Genteng.
Selain itu, di daerahnya juga terkenal akan keberadaan hewan endemik bernama Tupai Raya. Populasi terbanyak saat ini ada di Desa Serantas, hewan jenis tupai yang satu ini diakunya berbeda dengan tupai-tupai pada umumnya.
“Intinya kami selaku tokoh pemuda dan umumnya sebagai masyarakat Desa Serantas, berharap adanya perhatian khusus dari Pemda Natuna, mengingat desa kami bisa dikatakan terluar, karena jangkauannya membuat jarang di lirik,” papar Hasbullah. (KP).
Laporan : Johan