Kesadaran dan Respon Masyarakat Kepri Terhadap Hewan Appendix

Terbit: oleh -39 Dilihat
Anton-Candra-Saputra

Penulis : Anton Candra Saputra

Jurusan : Ilmu Kelautan

Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH) Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan


HEWAN APPENDIX merupakan hewan yang terancam komoditasnya dilingkungan. Hewan ini patut dilindungi karena keberadaannya yang semakin sedikit dan kemampuannya untuk beradaptasi dan berkembang yang kurang. Exploitasi besar-besaran oleh manusia juga menyebabkan merupakan salah satu faktornya.

Laut yang merupakan tempat berlimpahnya beranekaragam biota merupakan target utama manusia untuk mengexploitasi sumber dayanya, secara eklusif biotanya. Perairan Kepri merupakan salah satu wilayah yang memiliki keanekaragaman biota yang tinggi, di dukung oleh kondisi lingkunganya yang berupa wilayah tropis.

Kondisi periran tropis dan perubahan kondisi iklimnya yang tidak terlalu ekstrim menyebabkan daerah ini memiliki banyak nurient bagi biota konsumtif dilingkunganya. Akan tetapi keserakahan manusia menyebabkan banyaknya biota yang memerlukan adaptasi khusus terancam keberadaanya.

Biota Appendix yang terancam keberadaanya ialah semua jenis penyu, dugong, jenis hiu tertentu dan masih banyak biota lainnya yang terancam keberadaanya. Biota Appendix yang diexploitasi ini memiliki nilai jual yang tinggi, karena keberadaanya yang sedikit. Biasanya bagian yang dimanfaatkan dan memiliki nilai jual tinggi yaitu sirip pada ikan hiu khususnya ikan hiu kemejan, hiu macan tutul, dan hiu martil, sirip ikan hiu ini memiliki nilai jual yang tinggi karena keberadaanya yang langka dan juga nilai gizinya yang tinggi.

Penyu bagian yang dimanfaatkan ialah bagian cangkangnya yang merupakan salah satu bahan aksessoris seperti gelang, cincin, dan yang lainnya, ditambah dengan tingkat konsumtif yang tinggi untuk telur penyu. Telur penyu biasanya dijual seharga Rp 5.000-10.000 perbutirnya dan juga telurnya memiliki banyak manfaat di bidang medis.

Dugong bagian yang dimanfaatkan ialah dagingnya. Daging dugong memiliki kualitas rasa nomor 2 di dunia, dikarenakan rasanya yang enak hewan dugong di exploitasai besar-besaran sebagai bahan konsumsi. Tidak hanya di indonesia sendiri  biota appendix ini juga diekspor keluar negeri, karena mereka bisa memanffaatkan hewan tersebut dengan ilmu dan teknologi yang mereka miliki.

Begitu beranekaragam biota appendix yang di exploitasi besar-besaran. perlu adanya perhatian penuh akan keberadaaan biota appendix ini. Salah satu caranya dengan memberikan hukum legitimasi terhadap penangkapan biota appendix dan memoperhatkan wilayah konservasi biota appendix tersebut, agar kedepannya jumlah komoditas biota ini stabil dan tetap terjaga keberadaaanya di alam.

Di Kepri sendiri ada sebagian hewan-hewan appendix yang masih diperjual belikan dan ada juga yang sudah dilarang untuk ditangkap. Dari narasumber kami Sri Maharani Nasution di Bintan mengatakan bahwa ikan hiu masih diperjual belikan, tetapi ada satu jenis hiu yang sudah tidak dujual atau dibeli oleh tengkulak biasanya kalau dapat ikan hiu ini akan langsung dilepaskan oleh nelayan mengenai jenis hiu-nya narasumber tidak mengetahuinya.

Hiu-hiu yang di jual adalah jenis hiu bodoh, hiu kemejan, dan jenis hiu martil. Tetapi jenis hiu ini sudah jarang ditemukan, dan yang paling sering ditangkap oleh nelayan adalah jenis hiu putih, hiu hitam dan hiu bodoh. Pemanfaatan ikan hiu tidak hanya dagingnya saja siripnya pun menjadi sesuatu yang menarik minat masyarakat karena memilki nilai ekomomis dan gizi yang tinggi  sehingga banyak yang memburu hiu hanya karena ingin mengambil siripnya saja.

Tetapi pemerintah telah mengambil langkah untuk mencegah perdaganang sirip hiu bagi masyarakat nelayan dengan memberlakukan pembayaran pajak yang tinggi sehingga masyarakat keberatan dengan pajak yang tinggi tersebut dan tidak lagi menjual sirip hiu.  Selain hiu, biota lain yang tidak ditangkap atau diperjual belikan adalah dugong dan lumba-lumba. Sama seperti jenis hiu tadi, dugong dan lumba-lumba apabila didapat oleh nelayan akan langsung dilepaskan kembali. tetapi sebelumnya pernah di jual belikan dan bahkan di ekspor keluar negeri.

Jenis hewan appendix lainnya yang berada di bintan adalah kima. Kima sendiri jarang diambil dan dimanfaatkan oleh masyarakat daerah Bintan. Ekploitasinya masih sangat kurang, kima diambil hanya untuk di makan dan tidak diperjual belikan. Intinya masyarakat nelayan yang berada di Bintan cukup patuh terhadap peraturan yang berlaku dan mereka menyadari pentingnya menjaga keanekaragaman yang sudah ada di lingkungan mereka.

Disisi lain di Tanjungpinang masih ada beberapa masyarakat yang menjual telur Penyu mereka menganggap bahwa telur penyu tidak apa-apa untuk  diperjual belikan dan dijadikan sebagai mata pencaharian mereka seperti yang diungkapkan oleh salah satu pedagang telur penyu yang berada dikawasan pasar Tanjungpinang Kota beliau mengatakan bahwa telur penyu tidak apa-apa untuk diperjualbelikan dan tidak ada pengaruh terhadap keberlangsungan hidup atau punahnya penyu tersebut.

Telur Penyu ini dikirim dari Tarempa dan Tembilahan. Ini menunjukan rendahnya kesadaran masyarakat terhadap keberlangsungan hidup penyu padahal penyu adalah hewan yang termasuk kedalam appendix 1 dan dilindungi oleh pemerintah seperti yang tercantum dildalam Peraturan Pemerintah  (PP) Nomor 7 tahun 1999 Semua jenis penyu laut di Indonesia telah dilindungi berdasarkan tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.

Ini berarti segala bentuk perdagangan penyu baik dalam keadaan hidup, mati mauoun bagian tubuhnya itu dilarang. Menurut Undang Undang No 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya pelaku perdagangan (penjual dan pembeli) satwa dilindungi seperti penyu itu bisa dikenakan hukuman penjara 5 tahun dan denda Rp 100 juta. (KP).


Kiriman Pembaca koranperbatasan.com Rabu, 18 Desember 2019


 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *