JARUM jam menunjukkan pukul 08.15 Wib. Matahari mulai menyinari deretan rumah di sepanjang Pantai Kampung Tanjungbemban, Kelurahan Batu Besar, Kecamatan Nongsa, Batam pada Senin (27/9/2021). Cuaca pada pagi itu cerah sekali. Semilir angin, suara ombak, pasir putih, serta jejeran pohon kelapa menambah indah suasana.
KEPRI – Gedung-gedung Kota Johor Bahru, jiran Malaysia terlihat jelas di seberang lautan. Namun ada sedikit yang berbeda di kampung yang berada di selatan Kota Batam itu. Kampung saat itu terlihat sangat lengang. Wartawan keprisatu.com tidak menemukan ada aktivitas warga. Terlihat sepi sekali. Rumah-rumah warga yang berdiri di sepanjang pantai seperti kosong tak berpenghuni.
Meskipun rumah-rumah tersebut nampak permanen, terawat dan cukup bagus. Sekitar dua kilometer perjalanan menyusuri pantai, barulah terlihat ada sebuah rumah yang berpenghuni. Seorang lelaki setengah baya tampak duduk di dekat pintu dapur rumah bercat warna krem.
”Dari mana, cari siapa?” tegur lelaki tersebut saat wartawan ini mencoba menghampirinya. Usai media ini memperkenalkan diri, pria berperawakan sedang berkulit sawo matang itu langsung mempersilakan duduk. Namanya Raja Muhtar, nelayan Kampung Tanjungbemban, Kelurahan Batu Besar, Kecamatan Nongsa, Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau.
Pagi itu, kebetulan Muhtar sedang tidak melaut. Sembari menyeruput teh, pandangan Muhtar sesekali menerawang jauh menyapu pantai dan laut Tanjungbemban. Dari bibir pantai, rumah Muhtar hanya berjarak sekitar lima meter.
”Kalau pagi, sepi. Namun bukan tak ada penghuni kampung. Ada yang pergi kerja ke kota, ada yang melaut (pergi ke laut, red) mencari ikan,” imbuh Muhtar.
Sejak pandemi Covid-19 melanda Kota Batam, lanjut Muhtar, kampungnya sering lengang. Warga nelayan setempat banyak yang mulai bersemangat melaut lagi. Pendemi covid justru menjadi energi baru bagi nelayan untuk kembali melaut.
”Daripada pergi ke kota ngumpul-ngumpul banyak penyakit, lebih baik kami melaut,” ungkap pria yang juga Ketua Kelompok Nelayan Jaya Amanah ini.
Selain banyak yang aktif kembali melaut, warga kota juga banyak yang datang ke Tanjungbemban mencari kesunyian.
”Laut itu sunyi, banyak yang cari sejak pandemi,” tutur Muhtar.
Sebagian warga kota datang ke Tanjungbemban menyewa kapal motor untuk kegiatan mancing ke tengah laut. Dibanding sebelum pandemi, jumlah warga kota yang datang memancing bisa naik dua kali lipat. Menurut pengakuan Muhtar, sejauh ini belum pernah terdengar ada seorang nelayan yang positif Covid-19. Mereka melaut tidak pernah berkumpul. Sekali melaut paling dua atau tiga orang. Namun di balik semangat kembali melaut itu, perjuangan Muhtar dan nelayan anggota kelompoknya tidaklah mudah. Musababnya, ikan-ikan sudah tidak sebanyak dulu. Penurunannya sangat jauh.
”Saya melaut dari umur 15 tahun, sekarang ikan yang tersisa paling banyak 25 persennya. Kalau dulu bisa dapat seratus ikan, sekarang hanya 25 ikan,” ungkap Muhtar yang kini mengaku berumur 63 tahun.
Dihitung dari usianya, Muhtar sudah melaut sekitar 48 tahun. Penyebab berkurangnya ikan di perairan Tanjungbemban antara lain terjadinya kerusakan lingkungan. Mulai dari pencemaran air laut hingga munculnya limbah lumpur bekas penambangan pasir darat. Belum lagi akibat limbah pembuangan minyak hitam dari kapal-kapal yang tidak bertanggung jawab.
Semakin berkurangnya ikan, membuat Muhtar dan nelayan setempat harus melaut lebih jauh lagi. Mereka melaut sampai ke perairan Lagoi dan Berakit, Pulau Bintan. Jaraknya tidak kurang dari 6 Km dengan perjalanan sekitar 2 jam. Tergantung kencang atau tidaknya arus laut. Saking semangatnya mereka juga terkadang sampai ke perbatasan Malaysia.
Muhtar bersama anggota kelompoknya yang berjumlah 20 orang menggunakan alat tangkap seperti bubu, jaring, dan pancing. Juga ada yang menggunakan bento, nelayan setempat menyebutnya bubu korea.
Boat yang mereka gunakan mulai dari yang bermesin tempel 15 Pk hingga kapal motor berbobot 10 Gross Tonnage (GT). Muhtar sendiri lebih banyak menggunakan yang 15 Pk. Sesekali bermesin dobel dengan total 30 Pk. Jenis ikan yang mereka dapatkan mulai dari Selar, Karang, Kerapu hingga Kakap.
Pada malam hari, nelayan setempat juga sebagian nyondong udang untuk menambah pundi-pundi dapur. Maski ikan berkurang, dalam hitung-hitungan Muhtar, rupiah yang nelayan dapatkan justru naik dari biasanya. Penyebabnya karena harga ikan juga terus mengalami kenaikan. Harga Kerapu misalnya bisa sampai Rp200 ribu per Kilogram.
Dua orang melaut sehari semalam, bila sedang mujur bisa mendapatkan 6 sampai 7 Kilogram Kerapu. Artinya masing-masing mengantongi di atas 500 ribu Rupiah. Para nelayan bahkan bisa panen dolar dengan menjual hasil tangkapan ke padagang pengumpul untuk tujuan ekspor ke Singapura. Terutama yang paling diminati jenis ikan kerapu dan kakap.
”Pedagang pengumpul biasanya yang datang membeli ikan ke Tanjungbemban. Kapal yang untuk ekspor, ada bertambat di pelabuhan Belakangpadang,” tutup Muhtar.
Kendati demikian, tidak semua nelayan punya semangat dan seberuntung warga Tanjungbemban di masa pandemi Covid-19.
Di wilayah lain, tepatnya di Kampung Bugis Kota Tanjungpinang, masih ada nelayan yang tak lagi bisa mengarungi laut. Salah satunya Muhammad Nasir, nelayan yang kini terpaksa harus menjala dengan menyusuri pelabuhan dan pelantar pasar Tanjungpinang. Nasir tidak punya modal untuk membeli perahu boat yang bekas maupun baru.
”Jaring ada, jala ada. Namun kemarin, boat sudah rusak. Hari-hari saya terpaksa menjala ikan di pelabuhan dan pelantar-pelantar,” turur Nasir menjawab wartawan koranperbatasan.com pada Minggu (26/9/2021).
Nasir mengaku dirinya pernah mencoba untuk bergabung ke kelompok nelayan yang ada di Kampung Bugis. Hanya saja kelompok nelayan di kampung itu ternyata telah penuh.
”Di kampung Bugis pernah ada koperasi nelayan. Saya mau daftar dan saya ada syarat serta kartu nelayan. Namun, katanya, sudah penuh,” tutur Nasir sembari menundukkan kepalanya.
Untuk membantu menutupi kebutuhan keluarga, Nasir dibantu oleh istrinya dengan membuat dan menjajakan kue mueh. Nasir hanya bisa berharap sewaktu-waktu pemerintah bisa mengulurkan bantuan supaya bisa melaut lagi.
Tidak beda jauh dengan Nasir, harapan yang sama diamini oleh Boy, salah seorang nelayan di Rempang Cate, Pulau Galang, Kota Batam. Dia berharap pemerintah bisa mencarikan solusi bagi nelayan-nelayan yang menggantungkan hidupnya dari perikanan tangkap. Dia mengungkapkan selain ikan yang mulai susah dicari, tempat menjualnya pun sulit sejak pandemi Covid-19.
“Kami para nelayan merasakan betul dampak Covid-19, cari ikannya sudah susah, mau jual pun susah,” tutur Boy, Minggu (26/9/2021).
Sebelum pandemi, penghasilan Boy masih bisa Rp200 ribu sampai Rp300 ribu setiap hari. Kini, rata-rata penghasilannya hanya Rp50 ribu setiap hari. Kelompok Nelayan Muhtar, Nasir, Boy setidaknya merupakan potret terkini nelayan sempadan yang ada di Kota Batam dan Tanjungpinang. Hal ini paling tidak mewakili ribuan nelayan yang ada di dua kota utama Provinsi Kepri itu.
Awalnya Dianggap Sampah, Kini Menjadi Berkah Dua tangan Umsari, warga Pulau Amat Belanda, Kelurahan Sekanak Raya, Kecamatan Belakangpadang, Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau (Kepri), terlihat lincah membolak-balikkan rumput laut cokelat (sargassum sp), yang disusun berderet memanjang.
Tanaman yang banyak dijumpai di perairan Kepulauan Riau tersebut, ia jemur tepat di depan rumahnya yang berada di atas pelantar kayu di dekat dermaga Pulau Amat Belanda. Sesekali, tangan wanita 56 tahun itu mengelap keringat di keningnya. Saat itu, mentari memang tengah bersinar terang. Bahkan, ubun-ubun kepala terasa memanas akibat teriknya pancaran sang surya.
Namun, bagi Um, panggilan akrabnya, terik matahari adalah berkah. Itu karena, cuaca panas akan mempercepat pengeringan rumput laut cokelat, yang oleh warga sekitar disebut rengkam. Semakin cepat rengkam mengering, maka kian laju pula dompet terisi uang berkeping-keping.
“Ini berkah bagi kami. Dulu kami hanya melaut (pergi ke laut, red) untuk mencari ikan, sekarang kami mengelola rengkam biar jadi uang,” tutur Umsari pada Kamis (23/9/2021).
Dari mengelola rengkam pula, ia mengaku bersyukur dapat penghasilan tambahan untuk memenuhi kebutuhan. Di usianya yang tak muda lagi, mencari ikan hingga ke tengah laut demi mencari uang untuk mengisi perut, memang bukan perkara mudah.
Apalagi, usia sang suami yang juga sudah senja dan sering sakit-sakitan, sehingga pergi jauh ke tengah laut tentu bukan lagi jadi pilihan. Karena itu, mengumpulkan rengkam yang banyak tersebar, baik itu di lautan lepas maupun di kawasan pesisir dan perairan dangkal, jadi alternatif pilihan yang lebih menguntungkan.
“Mencarinya enggak susah, masih cukup banyak di sekitar pulau-pulau sini,” tuturnya, tanpa mengalihkan pandangan dari rengkam yang ia balik dan susun kembali, di tiang jemuran berupa bambu.
Tiap hari, Um mengaku mampu mencari rengkam sedikitnya 50 kilogram (kg). Bahkan, jumlahnya bisa lebih banyak jika menggunakan perahu yang lebih besar. Setelah rengkam didapat, maka akan langsung dijemur.
“Ini kalau sudah kering, baru kami jual dengan harga Rp1.300 per kilogram. Kalau sudah terkumpul banyak, kadang sampai 1 ton, baru dijual ke pengepul untuk diekspor,” sebutnya.
Dengan mengelola rumput laut tersebut, Um mengaku keluarganya kini punya sumber pendapatan yang bisa diandalkan. Terutama, ketika menghadapi musim angin utara yang terjadi pada pengujung dan awal tahun. Saat musim di mana angin kencang itu melanda wilayah ini, ombak besar yang kadang tingginya mencapai dua meter, harus dihadapi para nelayan demi mencari ikan.
Jika sedang tak beruntung, meski sudah mengadu nyawa menaklukkan ombak besar, ikan yang didapat tak sebanding dengan risiko yang begitu mengancam. Namun, kondisi itu jauh berbeda dengan tingkat kesulitan mengumpulkan rengkam.
Tanaman alga cokelat yang biasanya digunakan pada industri makanan, farmasi, kosmetik dan tekstil itu, dapat dengan mudah ditemukan. Termasuk, saat musim angin utara sekalipun. Bahkan tak jarang, rengkam juga banyak tersapu ombak hingga ke bibir pantai atau tersangkut pada karang dan bebatuan di perairan yang dangkal.
“Dulu malah orang menganggap rengkam itu sampah, karena sering melilit mesin kapal. Tapi alhamdulillah, sekarang malah berharga,” katanya, usai menyelesaikan proses membolak-balik rengkam dan kemudian pamit masuk ke dalam rumah.
Dulu, gaung Pulau Amat Belanda atau yang lebih dikenal dengan sebutan Pulau Babi di Belakangpadang, memang cukup beken di telinga warga lokal maupun pelancong dari negeri seberang. Sayangnya, kala itu Pulau Babi lebih dikenal karena adanya aktivitas prostitusi dan tempat hiburan.
Meskipun, lambat laun stereotip itu berubah. Sekitar akhir tahun 1990-an, pulau kecil yang posisinya terpisah dengan pulau utama Belakangpadang itu, kembali jadi kampung nelayan. Sebagian lagi, penduduknya pilih jadi penyedia jasa ojek laut, misalnya jadi penambang boat pancung atau nakhoda kapal kayu untuk transportasi pendek antarpulau di sekitar gugusan Pulau Batam.
Namun, seiring waktu, pendapatan warga yang hanya mengandalkan aktivitas mencari ikan maupun pelayanan jasa transportasi laut tersebut, dinilai sangat pas-pasan. Terlebih, saat pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) melanda sekitar satu setengah tahun lalu, ekonomi warga makin terpuruk. Penyebabnya, daya beli melemah dan keinginan warga untuk bepergian juga jauh berkurang. Sehingga, muncul gagasan untuk mencari alternatif pendapatan.
Mengelola komoditas rumput laut kemudian dipilih demi mendongkrak penghasilan. Pembina Kelompok Nelayan Rumput Laut, Azhari, mengatakan, warga Amat Belanda mampu mengumpulkan rumput laut cokelat sebanyak 200 ton per bulan. Komoditas tersebut kemudian diekspor ke China dan Vietnam untuk diolah menjadi pupuk dan makanan ternak.
“Awalnya kami ingin menghidupkan ekonomi masyarakat, sehingga kami lakukan kajian untuk mengelola rumput laut jenis sargassum sp tersebut,” kata dia.
Ia tak menampik, rengkam ini sebelumnya dianggap sebagai gulma perairan yang menghambat mesin kapal nelayan. Namun, setelah mengetahui bahwa rumput laut itu sangat berharga dan bisa diekspor ke mancanegara, maka pihaknya mencari cara agar tanaman tersebut bisa berdaya guna.
“Selain dua negara tadi, kami juga sedang mencoba menjajaki untuk mengekspor rengkam ke Jepang,” ungkapnya.
Azhari menyebut, rumput laut yang dikumpulkan penduduk dari Pulau Amat Belanda, sudah tiga kali diekspor. Pertama, sebanyak 25 ton pada November 2020, lalu ekspor kedua pada Desember 2020 sebanyak 50 ton, dan Januari 2021 lalu sebanyak 75 ton.
“Kami terus lakukan pembinaan, tak hanya di Pulau Amat Belanda saja, kami juga coba di pulau-pulau lain agar rumput ini menjadi penopang ekonomi anak-anak pulau sehingga bisa mandiri di kampung sendiri. Saat ini, rata-rata penghasilan warga pulau mencapai Rp 260 ribu per hari,” kata dia.
Pihaknya juga terus membuka kerja sama dengan berbagai pihak. Terutama, yang ingin memberikan bantuan untuk pengembangan pengelolaan rumput laut di pulau yang menghadap langsung ke Selat Singapura, serta jadi batas negara antara Indonesia dengan Negeri Singa tersebut. Covid Berangsur Turun, Aktivitas Penambang Naik Selain warga Pulau Amat Belanda yang kini mengolah rengkam, beberapa warga di Belakangpadang, pilih menjadi penambang boat pancung untuk mengangkut penumpang.
Selama ini, transportasi antarpulau kecil maupun dari pulau besar ke pulau kecil di wilayah Kepulauan Riau, banyak mengandalkan boat pancung ini. Maklum saja, 96 persen wilayah Kepri memang berupa lautan, dan hanya 4 persen sisanya berwujud daratan atau pulau. Salim, salah seorang penambang boat pancung yang melayani penyeberangan dari wilayah Sekupang, Pulau Batam menuju Pulau Belakangpadang, mengaku kesulitan karena sepinya penumpang selama periode terjadinya wabah Covid-19.
“Sejak pandemi memang sangat terasa, banyak juga penambang pancung yang enggak berlayar karena sepi penumpang,” kata Salim, saat ditemui di Pelabuhan Pancung, Sekupang pada Kamis (23/9/2021).
Menurutnya, pendapatan selama pandemi ini jauh berkurang dibanding kondisi sebelumnya. Karena itu, ia berharap wabah virus corona tersebut cepat berlalu agar penambang boat pancung di Pelabuhan Pancung rute Sekupang-Belakangpadang, kembali mendapat penghasilan seperti sebelumnya.
“Harapan kami tentu kondisi ekonomi bisa normal dan wisatawan masuk lagi, jadi penyebarangan juga ramai lagi,” ucapnya.
Meski belum sepenuhnya pulih, sambung Salim, namun sejak jumlah kasus aktif Covid-19 di wilayah ini berangsur turun sekitar satu bulan terakhir, ia mengaku ada peningkatan jumlah penumpang. Meski tak signifikan, namun penumpang yang akan menyeberang ke Pulau Belakangpadang, baik itu untuk mengunjungi kerabatnya maupun untuk berwisata kuliner di wilayah kecil berjuluk Pulau Penawar Rindu tersebut, terus menunjukkan peningkatan.
“Apalagi kalau akhir pekan, alhamdulillah lumayan ramai. Kami berharap kondisi terus membaik sehingga ekonomi pulih lagi,” kata dia.
Ia juga mengaku bersyukur karena bersama kawan-kawannya yang lain, tetap dapat mengoperasikan boat pancung di wilayah pesisir ini. Baginya, dapat memanfaatkan sekaligus menjaga laut seperti yang dilakukan generasi terdahulu di Bumi Melayu Kepulauan Riau tersebut, tetap jadi berkah dan kebanggaan tersendiri.
“Meskipun kami hidup di perbatasan (dengan negara Singapura dan Malaysia, red), tapi alhamdulillah kami tetap dapat menikmati berkah dari laut kita ini,” katanya.
Penambang boat penyeberangan di Kota Tanjungpinang, Provinsi Kepulauan Riau mengalami hal yang sama dengan yang di Batam. Salah satunya dirasakan oleh Samsudin. Pria yang sehari-hari menambang di rute Pelantar 2 – Kampung Bugis Tanjungpinang ini mengaku cukup sulit untuk bertahan di masa pandemi Covid-19. Ini lantaran sepinya penumpang dan berkurangnya tamu yang berkunjung ke Tanjungpinang, ”Yang penting tetap turun menambang. Soal penghasilan, ya dicukup-cukupkan saja. Sekarang dapat 100 ribu Rupiah kotor, sudah banyak. Dulu bisa dapat dua kali lipat itu,” tutur Samsudin.
Sedangkan untuk menjadi nelayan yang mengarungi lautan, Samsudin mengaku tidak mempunyai alat tangkap ikan yang memadai.
Penurunan aktivitas penambang boat juga sangat terasa untuk rute penyeberangan Tanjungpinang – Pulau Penyengat. Dampaknya, mempengaruhi penjualan oleh-oleh khas Tanjungpinang di pulau bersejarah itu. Pengaruh nyata itu diakui Said Ahmad Syukri, salah seorang penjual oleh-oleh khas Pulau Penyengat. Said menjual berbagai macam makanan khas seperti deram-deram, otak-otak, tepung gomak, kue batang buruk, dan luti gendang.
‘’Wisatawan asal Malaysia dan Singapura tidak ada. Penambang boat sepi, penjualan oleh-oleh pun sangat pengaruh berkurangnya,’’ ungkapnya kepada wartawan Hariansiber.com, Minggu(26/9/2021).
Sebelum pandemi Covid-19, wisatawan dari negeri jiran itu bisa sampai ratusan dalam sehari. Kini, Said hanya bisa berharap wisatawan lokal Kota Tanjungpinang dan Kepri lainnya bisa mengunjungi Pulau Penyengat.
Ekspor Komoditas Kelautan Naik di Masa Pandemi Aktivitas para nelayan sempadan (perbatasan), secara umum telah berdampak pada meningkatnya volume ekspor.
Hal itu terlihat dari kegiatan ekspor komoditas kelautan dan perikanan khususnya Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau, yang mencatatkan tren positif di masa pandemi Covid-19. Kepala Stasiun Karantina, Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan (SKIPM), Anak Agung Gde Agung Eka Susila, mengungkapkan, volume ekspor pada semester I tahun 2020 tercatat 2.878 ton untuk komoditas non hidup, dan 473.181 ekor untuk komoditas hidup dengan nilai Rp 119,6 miliar.
Kemudian, pada semester II tahun 2020, tercatat 3.574 ton untuk komoditas non hidup dan 1.062.890 ekor untuk komoditas hidup dengan nilai Rp166,04 miliar. Kemudian, pada semester I tahun 2021 tercatat 3.834 ton untuk komoditas non hidup dan 968.896 ekor untuk komoditas hidup dengan nilai Rp 170,91 miliar.
“Dibandingkan semester II 2020, nilai ekspor hasil perikanan di Kota Batam pada semester awal tahun 2021 meningkat 2,93 persen, dan dibandingkan semester I tahun 2020, meningkat sebesar 42,89 persen,” kata Agung, saat membuka data perlintasan dari Batam melalui rilis, Selasa (14/9/2021).
Dari segi komoditas, Agung menyebut, lobster, kepiting bakau, rajungan, ikan kerapu, ikan betutu, lobster air tawar, udang belalang, gonggong dan kerang menjadi komoditas hidup unggulan dari Batam. Sementara rumput laut, udang vaname, ikan, kerapu, ikan tenggiri, ikan ketarap hingga ikan timun, menjadi komoditas non hidup unggulan ekspor dari Batam.
“Kita kirim produk ini ke Tiongkok, Jepang, dan Vietnam. Serta, ada value added breded shrimp (udang budi daya bernilai tambah) dengan tujuan Jepang,” jelas Agung.
Menurutnya, tren pertumbuhan ekspor ini tak lepas dari kinerja jajarannya yang tetap melakukan pelayanan prima kepada para pelaku usaha di tengah Covid-19. Layanan tersebut di antaranya kemudahan dalam penerbitan sertifikat cara karantina ikan yang baik (CKIB) dan hazard analysis and critical control point (HACCP).
“Pandemi bukan penghalang bagi kita untuk tetap bekerja secara maksimal,” katanya. Guna mempertahankan tren positif tersebut, Agung mengajak jajarannya untuk tetap berkomitmen mendukung proses kelancaran lalu lintas ekspor hasil perikanan di Kota Batam. Terlebih, kegiatan ekspor bisa menggerakkan roda perekonomian bangsa di masa pandemi Covid-19.
“Harapannya, upaya kita bisa memberikan dampak positif. Di antaranya, bisa mendobrak ekonomi nasional dengan meningkatkan devisa, memberdayakan potensi nelayan yang ada di pulau-pulau, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat,” imbuhnya.
Potensi Sangat Besar, Pemerintah Mendukung Kota Batam, Kota Tanjungpinang, dan umumnya Provinsi Kepulauan Riau mempunyai potensi perikanan yang sangat besar. Potensi besar itu, tentu saja masih jauh dari garapan maksimal.
Begitu besar potensi laut Kepri, luasnya mencapai 96 persen dari total luas wilayah Provinsi Kepri. Total luas wilayah Kepri sesuai dengan data Kemenlu RI (2017) mencapai 251.810 Km2. Hanya empat persen yang berupa daratan yang terangkai oleh 2.408 pulau dengan garis pantai sepanjang 2.367,6 Km.
Wilayah laut Kepri membentang dari ujung Selat Melaka sampai ujung Laut Natuna yang berbatasan dengan Laut China Selatan. Laut Kepri berbatasan langsung dengan negara tetangga Vietnam, Malaysia, Kamboja, dan Singapura. (KP).
Laporan hasil liputan gabungan peserta dari berbagai media, kemudian mempraktikkannya dengan liputan secara kolaboratif. Salah satunya mengambil tema tentang nelayan sempadan. Dalam kegiatan “In House Training Pelatihan Jurnalistik Maritim Berwawasan Kebangsaan Penguatan Wartawan di Wilayah Perbatasan” pada tanggal 20-21 September 2021.