LSM Getuk Angkat Bicara Terkait Pembangunan Pelabuhan Tambang Silika di Natuna

Terbit: oleh -46 Dilihat
Ketua Umum LSM Getuk Provinsi Kepulauan Riau, Jusri Sabri

KEPRI – Ketua Umum Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Gerakan Tuntas Korupsi (Getuk) Provinsi Kepulauan Riau, Jusri Sabri akhirnya angkat bicara soal carut marut gejolak tambang pasir kuarsa atau silika di Kabupaten Natuna.

Dalam hal ini, Jusri menyoroti reklamasi pantai oleh perusahaan untuk pembangunan pelabuhan jetty/dermaga bongkar muat tambang pasir kuarsa atau silika di Desa Pengadah, Kecamatan Bunguran Timur Laut, Kabupaten Natuna yang diketahui belum mengantongi izin Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal/UKL-UPL).

Tak hanya itu, Jusri sebelumnya mengaku sempat memperoleh informasi dari berbagai sumber menyebutkan bahwa pembangunan pelabuhan jetty/dermaga bongkar muat pasir tersebut bukan untuk kegiatan tambang. Namun dirinya menaruh curiga, hingga akhirnya angkat bicara.

Ketua Umum LSM Getuk Provinsi Kepulauan Riau, Jusri Sabri, latar belakang potret reklamasi pantai pembangunan pelabuhan jetty/dermaga untuk bongkar muat tambang pasir kuarsa atau silika di Desa Pengadah.

“Tolong cek, apa betul pembangunan pelabuhan itu untuk kegiatan tambang? Katanya itu proyek pemerintah, kalau proyek pemerintah pasti ada plang proyek di lokasi. Kalau bukan proyek pemerintah, tapi untuk pekerjaan persiapan tambang, saya atas nama LSM Getuk Provinsi Kepri, minta kegiatan itu segera dihentikan,” tulis Jusri, dalam pesan WhatsApp yang dikirimnya ke Redaksi koranperbatasan.com, Rabu, 15 Juni 2022.

Menurut Jusri, kegiatan pembangunan pelabuhan jetty/dermaga untuk persiapan bongkar muat tambang pasir kuarsa atau silika belum boleh dilakukan oleh perusahaan jika belum memiliki izin lengkap.

“Kegiatan pembangunan pelabuhan belum bisa dilaksanakan kalau IUP operasi perusahaan tersebut belum terbit. Cek itu, apa betul info yang saya dapat dari Adi Pawenari itu proyek pemerintah. Awak tengok ada plang proyek tak?,” cetus Jusri.

Gejolak tambang pasir di Natuna yang tak kunjung usai ini pun membuat Jusri meminta dinas terkait turun langsung mengecek ke lokasi. Terutama Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Provinsi Kepulauan Riau.

“Kita minta pihak DLH Provinsi Kepri turun dan menghentikan kegiatan, jika ada yang melanggar. Jika pihak dinas tak ambil tindakan, patut dicurigai ada kongkalikong,” pungkas Jusri.

Rapat Dengar Pendapat (RDP) Aliansi Natuna Menggugat bersama DPRD Natuna dan Bupati Natuna serta pengusaha tambang di Ruang Rapat Paripurna DPRD Natuna, Jum’at 27 Mei 2022 lalu, sepakat menghentikan aktifitas pertambangan pasir kuarsa jika tidak memiliki izin lengkap. 

Jika dinas terkait tidak segera menghentikan aktifitas yang dilakukan oleh perusahan-perusahan tersebut. Selaku Ketua Umum LSM Getuk Kepri, Jusri memastikan pihaknya akan membuat laporan untuk disampaikan kepada penegak hukum.

“Kalau tak ada reaksi berhenti, kita langsung buat laporan. Kalau mereka terus membandel, kami akan buat laporan ke pihak penegak hukum dan instansi terkait, baik di provinsi maupun di pusat,” tegas Jusri.

Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Provinsi Kepulauan Riau, Hendri, ST mengaku belum mengetahui adanya reklamasi pantai oleh perusahaan untuk pembangunan pelabuhan jetty/dermaga bongkar muat tambang pasir kuarsa atau silika di Desa Pengadah, Kecamatan Bunguran Timur Laut, Kabupaten Natuna.

Hendri memastikan sampai saat ini, pihak perusahaan belum ada yang mengajukan permohonan izin Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal/UKL-UPL), terkait pembangunan/penimbunan/reklamasi pantai sepanjang 200 meter dengan lebar 12 meter lebih di Desa Pengadah, untuk bongkar muat hasil tambang pasir keperluan ekspor.

“Di kami kayaknya gak ada, mengeluarkan izin lingkungan terhadap pembangunan pelabuhan itu,” tegas Hendri, menjawab koranperbatasan.com, melalui panggilan telepon, Jum’at, 10 Juni 2022.

Salah satu kawasan strategis yang lahannya telah di beli oleh perusahaan untuk dijadikan area pertambangan dan bongkar muat pasir kuarsa atau silika di Kabupaten Natuna.

Padahal kata Hendri, pihak perusahaan wajib mengajukan permohonan Izin Amdal untuk pembangunan pelabuhan jetty/dermaga tersebut, agar suatu kegiatan yang dijalankan tidak menimbulkan/menyebabkan pencemaran, kerusakan, maupun gangguan terhadap lingkungan atau dampak sosial lainnya.

“Kalau dia sudah megang WIUP, kalau dia mau bangun pelabuhan itu, dia harus urus izin lingkungannya. Itu tadi, dia bermohon ke DLHK, setelah dia bermohon ke PTSP. Kalau dia sudah bangun, Amdal belum ada, maka harus dikenakan sanksi administrasi,” pungkas Hendri.

Hendri menjelaskan, Amdal/UKL-UPL adalah dokumen lingkungan hidup yang harus disusun oleh pelaku usaha. Baik untuk kegiatan penambangan pasir kuarsa atau silika, maupun pembangunan/penimbunan/reklamasi pantai untuk bongkar muat tambang pasir tersebut. Tujuannya agar kegiatan usaha yang dilakukan tidak berdampak buruk terhadap lingkungan.

Berdasarkan screenshot gambar peta titik lokasi dari Aplikasi CarryMap Ovserver tempat aktifitas tambang pasir kuarsa/silika dan pembangunan/penimbunan/reklamasi pantai di Desa Pengadah yang dikirim Hendri ke koranperbatasan.com, menyebutkan kawasan tersebut adalah putih, menjadi kewenangan pemerintah daerah.

“Udah putih, bukan kawasan hutan. Kalau kawasan putih Pemda setempat, tapi dokumen lingkungan tetap harus ada,” ungkap Hendri.

Screenshot gambar peta titik lokasi dari Aplikasi CarryMap Ovserver tempat aktifitas tambang pasir kuarsa/silika dan pembangunan/penimbunan/reklamasi pantai di Desa Pengadah yang dikirim Hendri ke koranperbatasan.com.

Sementara, Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Manusia (ESDM) Provinsi Kepulauan Riau, Drs. M. Darwin, MT, menyebut pasir kuarsa masuk katagori mineral bukan logam. Pengelolaan tambang jenis ini menjadi kewenangan pemerintah provinsi. Hanya saja izin dikeluarkan saat kewenangan masih di pemerintah pusat.

“Dengan Perpres 55 tahun 2022 menjadi kewenangan pemerintah provinsi. Izin yang ada di Natuna terbit ketika kewenangan di kementerian,” tulis Darwin, dalam pesan WhatsApp, Sabtu, 11 Juni 2022.

Ketika ditanya mengenai Surat Bupati Natuna Nomor 650/PUPR/282/X/2021, tanggal 07 Oktober 2021 tentang permohonan substansi Ranperda RTRW Kabupaten Natuna tahun 2021-2041 yang dibuat berdasarkan kajian pemerintah provinsi, bukan kabupaten. Darwin menyarankan menanyakan langsung dengan dinas terkait.

“Terkait tata ruang silakan ke PU. Terkait lingkungan silahkan ke DLHK,” cetus Darwin.

Sebelumnya, Basyaruddin Idris, Stafsus Gubernur Kepri, Bidang Pemuda, Olah Raga dan Penghubung Antar Lembaga juga membenarkan izin yang sudah dikantongi oleh perusahan tambang pasir kuarsa di Natuna dikelurakan oleh pemerintah pusat.

“Izinnya kan sudah dikeluarkan oleh pusat. Kita semua tahu kalau izin tambang itu haknya pusat. Jadi itu dari pusat, sekarang dilimpahkan ke provinsi, setelah tidak ada lahan lagi di Kepri,” kata Oom panggilan akrab Basyaruddin Idris, melalui pesan WhatsApp, Selasa, 31 Mei 2022 lalu.

Salah seorang pekerja menujukan area aktifitas reklamasi pembangunan pelabuhan jetty/dermaga untuk kebutuhan bongkar muat pasir kuarsa atau silika kepada tim investigasi koranperbatasan.com.

Oom mengaku sudah mengetahui gejolak yang terjadi di Natuna, terkait masuknya perusahaan tambang pasir kuarsa atau silika. Informasi tersebut diperolehnya dari pemberitaan media massa, dan curhat pribadi masyarakat Natuna.

“Jika itu sudah permintaan masyarakat untuk di tolak, ya wajib lah pemerintah untuk tegas mendukung kehendak masyarakat. Jika kehendak rakyat minta tutup, ya tutup aja lah! Jangan sampai rakyat mengamok,” beber Oom.

Terpisah, H. Umar Natuna, S.Ag, M.Pd.I, Ketua STAI Natuna melihat penambangan pasir kuarsa di Natuna tak ada urgensinya, karena potensi lain masih banyak yang belum digali dan dikembangkan untuk menghasilkan PAD, seperti potensi perikanan, migas dan pariwisata.

“Nilai tambahnya tak ada, karena yang dijualkan bahan mentah, bukan olahannya, sementara kerusakan lingkungannya akan berdampak besar bagi Natuna itu sendiri,” jelas Umar.

Menurut Umar Natuna, beban yang ditanggung tak sebanding dengan hasil yang diperoleh oleh daerah dan masyarakat kedepan. Umar berharap para pengambil kebijakan tidak membiarkan kegiatan yang akan mewarisi kerusakan lingkungan masa depan.

“Saya berharap kita semua dapat mewariskan hal-hal yang positif bagi masa depan daerah dan anak cucu,” harap Umar.

Ada Pidana Bagi Perusahaan Nakal Tak Kantongi Izin Lingkungan

Sehubungan dengan pengundangan Undang Undang RI Nomor 11 tahun 2020  tentang Cipta kerja dan Peraturan Pemerintah RI Nomor 22 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup terdapat perubahan dan penegasan terkait izin lingkungan.

Sebagaimana diketahui, setiap usaha atau kegiatan yang wajib memiliki izin lingkungan Pasal 36 ayat (1) Undang Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) tetapi tidak memiliki izin lingkungan atau melanggar, maka dapat dikenai pidana sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 109 ayat (1) UU Nomor 32 tahun 2009.

Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan tanpa memiliki izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). (Pasal 109 ayat (1) UUPPLH).

Spanduk bertuliskan jangan menambang pasir berkedok PAD, kerusakan lingkungan kami anda tak peduli yang dibentangkan oleh Aliansi Natuna Menggugat, bukti ada masyarakat Natuna yang tidak setuju terhadap penambanagan pasir kuarsa atau silika.

Sedangkan pejabat pemberi izin usaha dan/atau kegiatan yang menerbitkan izin usaha dan/atau kegiatan tanpa dilengkapi dengan izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). (Pasal 111 ayat (2) UUPPLH).

Untuk diketahui bersama, Dokumen Amdal harus disusun pada tahap perencanaan suatu usaha dan/atau kegiatan dengan lokasi wajib sesuai dengan rencana tata ruang. Jika lokasi kegiatan yang direncanakan tidak sesuai dengan rencana tata ruang, maka dokumen Amdal tidak dapat dinilai dan wajib dikembalikan kepada Pemrakarsa. (Pasal 4 PP No. 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan). (KP).


Laporan : Amran


 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *