NATUNA – Ketua Umum (Ketum) Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Gerakan Tuntas Korupsi (Getuk) Provinsi Kepulauan Riau, Jusri Sabri, menduga kegiatan mengeluarkan barang jenis tambang kuarsa atau silika dari daerah pabean Indonesia ke daerah pabean negara lain yang dilakukan oleh PT. Indoprima Karisma Jaya (IKJ) di Kabupaten Natuna, Provinsi Kepulauan Riau ilegal.
Jusri bahkan mencurigai ekspor tambang kuarsa mentah yang berujung pada pencemaran lingkungan dan kerusakan alam secara nyata di daerah perbatasan, terdepan, dan terluar Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tidak menurut hukum atau tidak sah tersebut sudah berlangsung sejak awal pengiriman.
“Tetap saja dari awal ekspor ilegal, sejak kapal pertama masuk. Kalaupun sekarang katanya sudah ada, tapi saya tidak yakin, tidak bisa secepat itu. Ini tidak bisa didiamkan, saya berani bicara semua ada dasar hukumnya,” ungkap Jusri melalui pesan WhatsApp, Kamis, 15 Juni 2023 malam.
Kata Jusri, tongkang yang memuat dan mengangkut tambang pasir kuarsa setiap masuk dan keluar jetty atau pelabuhan harus mengantongi clearance dari Syahbandar termasuk mother vessel (kapal besar) yang membawa kuarsa keluar. Khusus untuk di Natuna terindikasi semuanya dilakukan secara ilegal.
“Ya pastilah. Itu kapal dari buyer lama Hendi, termasuk dokumen kesyahbandarannya, ini juga yang pernah dilakukan Hendi saat di Lingga dulu, karena Syahbandar menerima laporan kapal masuk dan keluar dengan menerbitkan clearance. Kalau tidak ada clearance kapal besar itu, maupun tongkang tidak bisa melakukan olah gerak,” pungkas Jusri.
Selain itu, Jusri pun meyakini Bea Cukai Natuna selaku instansi pemerintah yang bertugas mengawasi, melayani kegiatan ekspor impor, dan menjaga perbatasan, serta melindungi masyarakat dari penyelundupan perdagangan ilegal, termasuk memungut bea masuk maupun pajak terkait ekspor pertambangan kurasa di Natuna juga terindikasi tidak menjalankan kewewenangannya dengan benar.
“Ingat di pelabuhan tanpa izin Bea Cukai pasti tidak ada, karena dalam dokumen kepabeanannya harus disebutkan pelabuhan bongkar muat, dan Syahbandar pasti tidak berani mencantumkan nama dan tempat yang tidak berizin atau belum keluar izinnya. Termasuk dokumen dari Syahbandar (clearance-red) harus dicantumkan nama dan lokasi pelabuhan. Sekali lagi ingat, tidak bisa mencantumkan nama dan lokasi pelabuhan yang tidak berizin atau belum dikeluarkan izinnya. Saya yakin semua sudah kena sogok,” cetus Jusri.
Jusri menegaskan sejak awal ekspor tambang kuarsa di Natuna disebut ilegal tidak hanya melihat dari izin jetty atau pelabuhan saja. Juga berkaitan dengan perolehan dan nominal pajak ekspor. Karena pemerintah juga mengenakan pajak ekspor kepada BKP komoditas pasir sebesar 15%. Pajak dibebankan pada pasir alam, pasir silika dan pasir kuarsa.
“Ekspor ilegal artinya pajak ekspor tidak di bayar. Pajak ekspor untuk pasir silika 15% dari harga jual. Bapak kali lah, sudah berapa ratus ribu matriks ton yang sudah di ekspor, belum lagi kerusakan lingkungan, negara berpotensi dirugikan ratusan milyar,” tegas Jusri.
Sayangnya sampai berita ini diterbitkan koranperbatasan.com belum berhasil mendapatkan keterangan secara resmi dari pihak-pihak terkait. Kepala Syahbandar Natuna, Liber Feri Hutahayan ketika dikonfirmasi melalui pesan WhatsApp sejak bulan April 2023 lalu belum menjawab.
Sebelumnya Kepala Badan Pengelola Keuangan Aset dan Pendapatan Daerah (BPKPAD) Kabupaten Natuna, Suryanto menjelaskan pajak tambang pasir kuarsa sudah mulai berangsur masuk ke Kas Daerah (Kasda). Untuk ekspor perdana pajak yang diperoleh sebesar Rp1.211.250.000.
Menurut Suryanto pajak ini dihasilkan dari nilai ekspor sebesar 1.106.000 US$ dari pengiriman 48.450 ton pasir kuarsa. Berdasarkan SK Gubernur Kepri Nomor 1051 tentang Harga Patokan Mineral Bukan Logam, Mineral Bukan Logam Jenis Tertentu dan Batuan di Provinsi Kepulauan Riau untuk Kabupaten Natuna 1 ton pasir kuarsa dihargai Rp250.000. Berdasarkan aturan yang berlaku pajak untuk daerah sebesar 10 persen.
“Dari regulasi 10 persen inilah daerah kita mendapatkan pendapatan pajak sebesar Rp1.211.250.000,” ungkap Suryanto, Jum’at 28 April 2023 lalu.
Selanjutnya PT IKJ salah satu operator pertambangan pasir kuarsa di Natuna kembali menyetorkan pajak Mineral Bukan Logam dan Bebatuan (MBLB) atau pasir kuarsa ke Kasda Natuna sebesar Rp4,2 milyar. Jumlah tersebut diperoleh dari hasil ekspor tahap kedua.
“Dari hasil ekspor pasir kuarsa tahap pertama dan kedua, PT IKJ telah menyetor pajak Rp5,4 milyar ke Kasda Natuna,” terang Suryanto, Senin, 15 Mei 2023.
Suryanto memperkirakan dalam satu bulan kegiatan ekspor pasir kuarsa dari Natuna akan dapat dilaksanakan sebanyak empat kali, dengan jumlah tonase yang beragam.
“Dalam setahun kita dapat ekspor cuma delapan bulan, perbulannya kita dapat ekspor empat kali, dikalikan rata-rata Rp1,2 milyar, itu sudah sangat luar biasa membantu mendongkrak PAD kita,” terang Suryanto.
Namun demikian Jusri Sabri mencurigai kegiatan ekspor pasir kuarsa yang dilakukan secara ilegal tersebut. Menurutnya sudah empat mother vessel berukuran 60.000 m3 bahkan terakhir 120.000 m3 dari negara China berhasil masuk mengangkut pasir silika dari Natuna.
Kata Jusri kegiatan penambangan yang merusak lingkungan dan ekspor ilegal di Natuna sengaja dilakukan oleh PT IKJ. Perusahaan tersebut sebelumnya sempat mengeruk dan mengekspor pasir kuarsa dari Kabupaten Lingga Provinsi Kepulauan Riau.
Kerusakan lingkungan yang ditinggalkan di Kabupaten Lingga akibat penambangan pasir kuarsa oleh beberapa perusahaan termasuk PT IKJ membuat Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau pada masanya mengeluarkan surat keputusan melarang dilakukan kegiatan penambangan pasir kuarsa di Kabupaten Lingga.
“Sekarang PT IKJ kembali berulah di Kabupaten Natuna. Bahkan dicurigai melakukan kejahatan dengan melakukan ekspor pasir kuarsa secara ilegal dari pelabuhan tersus yang tidak memiliki izin,” beber Jusri.
Lebih jauh Jusri memastikan kecurigaannya terhadap ekspor kuarsa ilegal yang dilakukan oleh PT IKJ di Natuna bukan tidak berdasar. Pasalnya dalam beberapa minggu ini pihaknya (LSM Getuk-red) sudah melakukan kajian mendalam terhadap kegiatan tambang dan ekspor pasir kuarsa oleh PT IKJ tersebut. Jika kecurigaan pihaknya terbukti dilakukan oleh PT IKJ, negara berpotensi dirugikan hingga ratusan milyar rupiah.
“Pertama tentang kerusakan lingkungan. Berdasarkan Pasal 98 ayat 1 UU No. 32 Tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Bahwa pengrusakan hutan mangrove yang dilakukan oleh PT IKJ, pelaku terancam hukuman pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 10 tahun dan denda paling sedikit Rp3 milyar dan paling banyak Rp10 milyar,” cetus Jusri.
Kedua lanjut Jusri, tentang penggunaan pelabuhan tersus tanpa izin. Pemakaian pelabuhan atau terminal khusus/TUKS yang tidak berizin atau belum keluar perizinannya oleh PT IKJ itu telah melanggar UU Pelayaran Pasal 297 ayat (2) Undang-undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang pelayaran. Pelanggaran yang dilakukan PT IKJ terancam pidana penjara 2 tahun dan denda Rp300 juta.
Ketiga tentang ekspor pasir silika tersebut. Menurut kajian dan informasi yang didapat oleh LSM GETUK bahwa pelabuhan yang tidak memiliki izin atau belum keluar perizinannya tidak terdapat atau tidak akan ada petugas Bea dan Cukai untuk melaksanakan tugas dan wewenangnya dalam kegiatan ekspor barang.
“LSM Getuk mencurigai dokumen kepabeanan PT IKJ saat melakukan ekspor pasir silika atau kuarsa dari Natuna tidak ada atau dipalsukan,” pungkas Jusri.
PT IKJ menurut Jusri bisa mendapatkan sanksi pidana berdasarkan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang kepabeanan yang menyebutkan tindak pidana penyelundupan di bidang ekspor dengan pidana penjara paling singkat satu tahun dan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan pidana denda paling sedikit Rp50.000.000,00 dan paling banyak Rp5.000.000.000,00.
“Dan tindak pidana penyelundupan yang mengakibatkan terganggunya sendi-sendi perekonomian negara dipidana dengan pidana penjara paling singkat lima tahun dan pidana penjara paling lama duapuluh tahun dan pidana denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 dan paling banyak Rp100.000.000.000,00,” terang Jusri.
Selanjutnya kata Jusri, jika PT IKJ mengekspor tanpa menyerahkan pemberitahuan pabean dipidana dengan pidana penjara paling singkat satu tahun dan paling lama sepuluh tahun dan pidana denda paling sedikit Rp50.000.000 dan paling banyak Rp5.000.000.000.
“Atau jika PT IKJ menyerahkan pemberitahuan pabean dan/atau dokumen pelengkap pabean yang palsu atau dipalsukan dipidana dengan pidana penjara paling singkat dua tahun paling lama delapan tahun dan/atau pidana denda paling sedikit seratus juta rupiah dan paling banyak lima miliar rupiah,” papar Jusri.
Kemudian jika tidak melaporkan pembatalan ekspor kepada pejabat bea cukai di kantor bea cukai pemuatan atau melaporkan pembatalan ekspornya, namun melewati jangka waktu, maka dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp5.000.000,00.
“Salah memberitahukan jenis dan/atau jumlah barang dikenai sanksi administrasi berupa denda paling sedikit 100% dari pungutan negara dibidang ekspor yang kurang dibayar dan paling banyak 1.000% dari pungutan negara dibidang ekspor yang kurang dibayar,” tutup Jusri.
Mengutip kontrakhukum.com pajak ekspor adalah pajak yang dikenakan pemerintah terhadap aktivitas ekspor atau pengiriman barang keluar negeri. Umumnya, pajak ekspor menyasar kepada Jasa Kena Pajak (JKP), tapi ada beberapa Barang Kena Pajak (BKP) yang juga terkena pajak ekspor. Untuk JKP, pajak ekspor akan dikenakan disetiap penyerahan JKP dari satu pihak ke pihak lain di luar daerah pabean.
Arti dari daerah pabean ini adalah daerah yang masih berada di wilayah Indonesia dan beberapa lokasi pada Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) yang ikut serta dalam kegiatan pada landasan kontinen. Dari definisi tersebut, diketahui bahwa yang dikenakan pajak ekspor tidak hanya barang saja, tetapi juga jasa yang dijual ke pembeli luar negeri pun dikenakan pajak. Sementara itu, pajak ekspor ini dibebankan kepada wajib pajak sebagai Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Terdapat beberapa landasan hukum yang mengatur pengenaan pajak ekspor di Indonesia, antara lain, UU Nomor 42 tahun 2009 tentang pajak pertambahan nilai dan pajak penjualan atas barang mewah. PMK Nomor 32/PMK.010/2019 tentang batasan kegiatan dan jenis jasa kena pajak yang atas ekspornya dikenai pajak pertambahan nilai. Perdirjen Pajak Nomor PER-07/PJ.2021 tentang perlakuan pajak pertambahan nilai atas kegiatan usaha dibidang ekspor dan impor barang kena pajak berwujud.
Objek pajak ekspor untuk Jasa Kena Pajak (JKP) dikenakan pada beberapa objek, diantaranya jasa maklon. Jasa maklon merupakan jasa yang digunakan suatu badan usaha untuk menghasilkan barang yang dipesan secara khusus oleh klien atau pemesan. Kategori jasa maklon yang masuk dalam pajak ekspor JKP adalah, pemesan jasa berada di luar daerah pabean dan berstatus wajib pajak luar negeri. Pemesan jasa menyediakan spesifikasi barang yang dipesan.
Bahan merupakan bahan mentah, bahan setengah jadi, atau bahan pelengkap yang kemudian diproses menjadi BKP. Kepemilikan barang yang dihasilkan oleh jasa maklon adalah pada pemesan JKP. Barang pesanan dikirim ke pemesan yang berada diluar daerah pabean. Untuk jasa maklon, pemerintah memberikan pengecualian pada ekspor barang. Artinya, barang yang dihasilkan dari jasa maklon untuk diekspor tidak dicatatkan sebagai ekspor BKP pada SPT Masa PPN.
Pengusaha yang menjalankan ekspor JKP harus melaporkan pemberitahuan ekspor kena pajak, dibarengi dengan invoice dan faktur pajak. Sedangkan untuk objek pajak ekspor Barang Kena Pajak (BKP) pemerintah sejatinya membebaskan pengusaha yang berorientasi ekspor dari pungutan bea. Bahkan, pemerintah memberikan insentif dalam bentuk pengembalian pajak atau restitusi pajak terhadap barang yang diekspor.
Namun, ada beberapa komoditas atau barang yang tetap dibebankan pajak ekspor. Alasan pemerintah tetap membebankan pajak ekspor untuk beberapa komoditas adalah, menjaga persediaan bahan baku serta menjamin ketersediaan kebutuhan dalam negeri. Melindungi kelestarian alam, menjaga stabilitas barang dalam negeri, meningkatkan daya saing ekspor produk tertentu. Selain itu, pemerintah juga ingin agar produk barang yang diekspor merupakan barang setengah jadi, dalam arti sudah diolah dan memiliki nilai tambah.
Kementerian Perdagangan melalui Direktorat Jenderal Pengembangan Ekspor Nasional (DJPEN) mewajibkan pajak ekspor harus dilunasi sebelum barang masuk ke angkutan. Adapun barang atau komoditas yang dikenai pajak ekspor menurut DJPEN, antara lain, produk pasir, dengan besaran pajak ekspor 15% yang terdiri dari, pasir kuarsa dan silika, serta pasir alam. Pelaksanaan tentang pajak ekspor pada beberapa jenis komoditas tersebut wajib dilunasi terlebih dahulu sebelum barang masuk kepengangkutan.
Adapun penetapan besaran tarif pajak ekspor sebagaimana yang dimaksud di atas dilakukan oleh Menteri Perdagangan yang dikuatkan dengan Keputusan Menteri Keuangan melalui Harga Patokan Ekspor (HPE). Penetapan HPE tersebut menggunakan acuan harga rata-rata internasional ataupun memakai harga rerata dari Free on Board (FOB). Sehingga, rumus atau tetapan untuk menghitung tarif pajak ekspor tersebut yaitu:
- Prinsip Ad Valorem (Persentase) cara perhitungan tarif pajak ekspor yang pertama yaitu menggunakan prinsip Ad Valorem atau persentase. Rumusnya adalah: Pajak Ekspor = HPE X Tarif Pajak Ekspor x Jumlah Satuan Barang x Kurs
- Prinsip Ad Naturam (Spesifik) cara yang kedua menggunakan prinsip Ad Naturam atau spesifik dimana rumusnya yaitu: Pajak ekspor = Tarif Pajak Ekspor x Jumlah Satuan x Kurs
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa pajak ekspor merupakan pungutan yang dikenakan oleh pemerintah terhadap berbagai kegiatan ekspor. Adapun jenis objek pajak ekspor dibedakan menjadi dua, yaitu Barang Kena Pajak (BKP) serta Jasa Kena Pajak (JKP). (KP).
Laporan : Amran