Bercerita Nasib Kampung Halaman Jejak Pemangku Kepentingan

Terbit: oleh -1867 Dilihat
Amran, Pemimpin Redaksi Koran Perbatasan

JEJAK pemangku kepentingan tumbuh subur. Sejarah masa silam tentang mereka yang berjuang merebut kemenangan binasa oleh bisikan sesat yang menyesatkan. Disaat musim pesta demokrasi tiba, para petualang yang berambisi ingin menjadi orang berkuasa di kampung halaman ku sibuk obral janji.

Harapan palsu bagaikan mahkota mereka persembahkan kepada rakyat untuk memperoleh tahta. Rakyat yang terbuai oleh tipu dan muslihat busuk para pemangku kepentingan pun tak lagi mampu mengenal siapa penguasanya. Meraka terbuai hanyut oleh sihir seikat kertas tebal yang disebut uang.

Pagi ini, Rabu 15 Maret 2023, segelas kopi tanpa gula ku hirup. Ku rasakan nikmat pahitnya perlahan membasahi kerongkongan hingga ulu hati. Sebatang rokok pun ku hisap dengan pasti, asapnya ku hembus bertaburan mengikuti tiupan angin pengap di musim pancaroba. Duduk tersandar pada kursi di halaman belakang rumah menyaksikan ikan hias bercipika-cipiki dalam aquarium berlumut.

Aku sadar hanya bisa berharap, agar tuhan mendatangkan sosok pemimpin arif dan bijaksana. Aku ingin dia berlari kencang menerjang ombak, dan angkuhnya badai. Aku ingin dia mampu melahirkan damai, dan berani melawan kekacauan. Aku ingin dia berjuang membasmi risau, dan membunuh keangkuhan, serta membumihanguskan kekuasaan sekelompok.

Agar tidak ada lagi lanun yang berani mengusik, dan mencuri kekayaan alam kampung halaman ku. Agar tidak ada lagi pecundang yang berani membeli harga diri kaum kusam. Agar tak ada lagi nilai sejarah, dan budaya kampung halaman ku yang tergadaikan. Agar tuah kampung halaman ku benar-benar menjadi sakti dan mampu memberikan kemakmuran bagi penghuninya.

Tapi sudahlah! aku bukannya siapa-siapa. Aku sadar langkah ku cuma setapak, lari ku cuma sepijak, gapai ku cuma segenggam, jerit ku cuma sejengkal, aku takut disebut pemabuk yang menaruh prasangka buruk akan penguasa kampung halaman. Aku pun memilih diam, memohon ampunan dalam sembahyang, agar kampung halaman ku tak dijadikan buih permainan.

Dalam sepekan ini, bahkan beberapa pekan lalu, cerita tentang kebijakan istana berhantu semakin berhantu, aku pun menjadi semakin takut. Seluruh bulu kuduk pada tubuh ku berdiri, mendengar cerita banyak mulut menjerit. Kisahnya beragam, mulai dari tak ada beras buat makan, terjerat hutang kedai depan, tergadai surat rumah berkepanjangan, hingga di kejar lintenir, bahkan sekolah anak yang terabaikan.

Cerita-cerita itu membuat aku merasa ingin menjadi manusia lanang, berlari kencang mengejar matahari. Tidak pernah mahu berhenti menari, sebelum hitam hati benar-benar menjadi arang. Karena aku tau dunia ibaratkan perempuan cantik yang menjadi rebutan. Seperti buih di tengah lautan kecang gelombang harapan. Dan aku sudah lama berhenti mengejar ketidakpastian.

Semerbak terlelap, ku alihkan pandangan mata dari tatapan wajah-wajah kaum kusam, karena aku pun sedang terkena sihir penderitaan. Dalam hati aku kembali meminta kepada tuhan, agar penguasa kampung halaman ku dapat mempersembahkan cinta, mengisi nilai kemanusiaan dalam waktu yang hanya tersisa sedikit. Dan segera bertolak dari dermaga cinta palsu yang selama ini disandarkan, karena kebohongan yang menjadi kebanggaan hidup itu, adalah petaka.

Kopi pahit siang itu menjadi santapan setiap mereka yang datang. Memang tak banyak yang dapat aku sajikan, selain dari meminta agar mereka terus berlayar menuju samudera impian dan harapan. Meskipun dengan perahu kecil keterasingan. Karena jika diteruskan pasti akan sampai ke negeri harapan. Seperti yang ada dalam doa penghuni kampung halaman, menjadi azam di awal pengembaraan.

Sebagai rakyat kecil terkadang bersama lusuh dunia aku merasa seperti tak lagi sanggup menahan beban amarah. Aku ingin tarian perempuan mungil bertelanjang paha dan bertelanjang dada yang menjadi ibarat itu segera enyah dari lamunan. Seperti malam yang gelap, berharap dapat menghitamkan hati ku dari kebugilan cinta seorang perempuan. Mereka bagaikan racun dan badai di musim utara, menerjang angkuh hingga ke lubuk hati.

Tersebab keluh kesah mulut-mulut ketidakpuasan atas kebijakan penguasa itu, sebelum sampai aku dipersempadan hidup pada dunia yang cuma sekejab. Aku pun memberanikan diri bercerita kepada malam dan siang, pada bumi dan langit, pada tumbuhan dan binatang, pada laut, pantai dan gunung-gunung penyaksi kesaksian yang terdiam. Agar penguasa kampung halaman ku cepat-cepat disadarkan.

Wahai sang penguasa pemangku kepentingan negeri! Melalui tulisan ini aku titipkan doa, pada sang penguasa hati pencipta jagad bumi. Ampunilah dosa-dosa mereka ya Allah. Dari kelalaian dan kelupaan oleh kemegahan dunia yang kian menggoda. Yaaaa robbana, matikanlah mereka dalam keadaan beriman. Jangan dalam keadaan lalai dan durhaka. Aku berlindung dari godaan syaitan terkutuk, dengan menyebut nama Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang.

Hari ini aku kembali berkaca dalam gelap, membasuh muka melihat kampung halaman ku bagaikan mutiara di atas gelombang. Aku tau kampung halam ku ibaratkan emas 24 karat. Meski sudah tua tetapi tetap saja bagaikan gadis perawan cantik. Semua ingin memiliki, semua ingin membali. Sayangnya tidak semua mampu menjaga kesempurnaanya.

Padahal membangun wajah kampung halam ku yang sudah elok rasanya tidaklah terlalu sulit. Cukup dirawat, didandan dan dipoles sedikit saja. Ibarat menghilangkan sebiji jerawat yang tumbuh di wajah gadis perawan cantik. Tinggal membeli obat pembasuh muka dan penghilang jerawat. Sayangnya sampai hari ini kampung halaman ku yang konon menurut cerita banyak orang terkenal kaya akan hasil buminya masih terlihat biasa-biasa saja.

Padahal usia ku sudah genap 40 tahun, sejak dulu dari belusukan hutan tebal bukit terjal aku mulai berjalan hingga sampai ke ibu kota. Setiap langkah perjalanan usia meratap dan mendengar lalu mencatat. Aku bertanya dan terus mencari tau tentang mengapa kampung halaman ku tak seperti yang dibayangkan.

Dalam buku yang aku sebut risau mimpi pun termuat dimana jumlah Anggaran Pendapat Belanja Daerah (APBD) kampung halaman ku pada setiap tahunnya sangatlah menjanjikan. Meski Pendapatan Asli Daerah (PAD)-nya terbilang kecil, namun jumlah Dana Bagi Hasil Minyak dan Gas (DBH Migas) yang diterima ternyata lumayan besar. Tetapi sayang kampung halaman ku bagaikan daerah miskin yang tidak memiliki cukup uang untuk berdandan.

Lapangan pekerjaan yang siap mengurangi jumlah angka pengangguran boleh dikatakan belum terlihat. Jalan lingkar hampir di setiap kecamatan belum juga terealisasi. Jalan raya dan jembatan penghubung dari kecamatan ke ibu kota baru setengah jadi. Pelabuhan bongkar muat barang kebutuhan pokok yang bisa disandari kapal-kapal besar juga belum maksimal.

Alam wisata yang indah juga belum terkelola secara pasti. Listrik dan jaringan telekomunikasi hidup berganti-ganti. Minyak subsidi dijual pula sesuka hati. Air bersih binasa di telan bumi. Apa sebenarnya yang terjadi? Mengapa nasib kampung halaman ku seperti ini?

Ada menyebut uang habis bukan karena untuk membangun negeri, tetapi karena di bagi-bagi. Kalau ingin bagian harus pandai-pandai bawa diri. Tadi pagi saat duduk di warung kopi, ada pula yang bercerita katanya pemimpin di kampung halaman ku kebanyakan lupa diri, rakyat tidak lagi dipeduli.

Alamak….! aku jadi bingung sendiri. Akhirnya memberanikan diri menceritakan semua ini. Ampun aku sampaikan maaf berjulang sembah. Semoga luahan hati ini membawa berkah. Amiin. (***).


  • Catatan Amran
  • Pemimpin Redaksi Koran Perbatasan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *