Jejak Perjalanan, Kisah Nyata Bagian (3) Rapid Test Antibodi Vs Antigent

Terbit: oleh -61 Dilihat
Amran

KUAT dorongan arus dan kencangnya angin utara pada Selasa 12 Januari 2021 pagi itu, membuat kapal penumpang berbendera merah putih buatan Galangan Jos L Meyer Papenburg Germany tahun 1994 kesulitan melakukan olah gerak. Selain karena dorongan angin dan arus, mungkin juga dikarenakan posisi dermaga berada di selat, terletak diantara beberapa pulau kecil.

Kapal penumpang yang masih terbilang setia melayani masyarakat perbatasan bernama KM Bukit Raya itu, baru berhasil bersandar di Pelabuhan Letung Kecamatan Jemaja, Kabupaten Kepulauan Anambas setelah lebih kurang 30 menit berdamai dengan dorongan angin utara yang bertiup kencang, berlawanan dengan posisi sandar kapal datang dari arah selatan sekitar pukul 8.59 Wib.

Saat itu, cuaca tak bersahabat, hujan rintik-rintik terlihat dengan pasti membasahi pakaian satu persatu penumpang saat berada di tangga turun naik kapal. Saya sendiri memilih duduk di kursi kantin belakang, sambil memperhatikan aktifitas turun naik penumpang dari atas kapal. Saat menikmati kopi pagi itu, tiba-tiba air mata jatuh membasahi pipi.

Air mata itu, bukan karena Surat Rapid Test Antibodi dan uang yang hanya tersisa 50 ribu di saku celana. Tetapi karena saya teringat akan masa kecil sekitar 30 tahun lalu. Loh! kenapa kok bisa dengan mudahnya saya mengeluarkan air mata di pelabuhan itu? Pembaca tentu penasaran dan ingin tahu?

Saya adalah putra keenam dari tujuh bersaudara yang lahir pada tahun 1982 di kepulauan tersebut. Nah! pelabuhan tempat dimana kapal bersadar saat ini, dulunya adalah salah satu kawasan favorit saya menangkap ikan (ngedek) menggunakan sampan kecil (jungkong) yang terbuat dari kayu.

Sebuah pulau seperti di belah bagian tengahnya dijadikan laluan atau jalan tembus menuju dermaga bernama Berhala (Pulau Buole) tempat saat ini kapal bersandar, dulunya adalah tempat persinggahan (berteduh) jika saya merasa kehausan dan kepanasan di laut menangkap ikan.

Di pulau ini juga saya menghabiskan masa kecil menangkap burung (mulot burung) yang bersarang di atas pohon-pohon kelapa dan beberapa pohon rindang disekitarnya. Sedikit, bahkan mungkin bisa jadi tidak ada orang yang mengetahui aktifitas masa kecil saya di pulau yang katanya berhantu saat itu.

Dulu tidak ada jalan beton dan rumah penduduk. Tidak ada pelabuhan dan jalan penghubung dari daratan menuju ke pulau itu. Hanya sebuah pulau kecil sunyi, dengan hutan lebat dan bebatuan indah, didalamnya terdapat aneka jenis burung seperti burung perling, punai, pergam dan rawe. Semuanya masa lalu yang sudah lama terkubur. Masa-masa indah di waktu kecil terkadang memang sulit untuk dilupakan.

Saat itu, mata saya hanya terfokus pada satu ratapan, ia asik memperhatikan deretan pulau-pulau indah menikamati lekuk bukit dan tebing-tebing berbatuan. Bibir terbuka mengeluarkan senyuman, tak terasa tangan bergerak mengusap deraian air mata. Saat itu, KM Bukit Raya pun bergerak berlayar menuju Batam.

Dalam perjalana Letung – Batam, saya sempat mendengar beberapa orang penumpang membicarakan surat sakti yang sempat menghantui fikiran saya. Karena penasaran, saya pun menghampiri mereka. Belum sempat duduk di kursi, salah seorang dari mereka bertanya, “Abang turun Batam?, katanya bertanya, “Iya” jawab saya singkat.

Seperti kompak, seirama mereka melontarkan pertanyaan serupa kepada saya, “rapid test apa?” tanya meraka, “antibodi” jawab saya. Benar-benar aneh, setelah mendengar jawaban dari saya mereka malah terdiam, lalu tersenyum dan tertawa bersama-sama. Tentu saja membuat saya juga ikut tertawa bersama meraka.

Ternyata mereka juga cemas tidak bisa turun di Pelabuhan Batam, karena surat sakti yang meraka miliki sama seperti saya, yakni Rapid Test Antibodi bukan Rapid Test Antigent. Meraka juga mengaku baru memperoleh informasi di Pelabuhan Batam memberlakukan Rapid Test Antigent saat sudah berada di atas kapal.

“Bagaimana dengan yang saya punya” tanya salah seorang penumpang yang mungkin merasa penasaran, sambil menunjukan selembar kertas. Setelah membaca surat itu secara bergantian, mereka semuanya kembali tertawa, bahkan sempat ada terbatuk-batuk, karena tak kuasa menahan lucu.

Mengapa tidak, setelah saya baca ternyata isi surat yang dimiliki oleh penumpang tersebut bukan rapid test. Surat itu hanya sebatas memberitahukan bahwa yang bersangkutan setelah dilakukan pemeriksaan tidak ditemukan gejala influenza sebagai persyaratan untuk melakukan perjalanan. Surat keterangan sehat itu dikeluarkan oleh UPTD Rumah Sakit Umum setempat.

“Nanti di Batam kalau tidak bisa turun gara-gara surat rapid test ini, kita ramai-ramai terjun ke laut,” ujar salah seorang diantara meraka, di sambut tawa berjamaah. Mereka dan saya ternyata memiliki alasan surupa, salah satu karena tidak adanya pemberitahuan kepada calon penumpang kapal sebelum berangkat oleh pihak terkait.

Waktu terus berjalan, setelah lebih kurang 13 jam terombang-ambing di atas permukaan laut, berjuang melawan badai dan gelombang tinggi, sekitar pukul 23.20 Wib KM Bukit Raya akhirnya berhasil bersandar di Pelabuhan Batu Ampar, Kota Batam. (Bersambung).


Penulis : Amran


 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *