Dilema Nasib Nelayan Natuna, Pemda Harus Ambil Sikap!

Terbit: oleh -70 Dilihat
Nelayan bagan di Kecamatan Pulau Tiga, dalam perjalanan menuju lokasi tangkapan

“Tentu dilema bagi nelayan lokal, karena Kabupaten Natuna tidak diberikan kewenangan untuk mengurus lautnya sendiri. Natuna hanya punya bagian pantai saja, selebihnya menjadi kewenangan pemerintah provinsi dan pusat. Saya kira pemerintah kabupaten harus berani bersuara, dan tetap berkoordinasi. Mengkoordinasikan itu kepada pihak-pihak yang punya otoritas. Kalau Natuna punya kewenangan hasilnya akan beda, karena bisa mengambil sikap, intervensi langsung. Jika tidak punya kewenangan langsung, harus mengkoordinasikan permasalahan itu dengan yang punya otoritas, punya kewenangan membutuhkan proses dan waktu, belum tentu juga bisa diambil kebijakan oleh otoritas”


NATUNA – Pembina Yayasan Abdi Umat (YAU) Kabupaten Natuna, H. Umar Natuna, S.Ag, M.Pd.I memastikan tidak ada peningkatan yang berarti dilakukan pemerintah dalam memperjuangkan nasib nelayan lokal di Natuna. Ia tidak tahu pasti apa penyebab utama sehingga kehidupan nelayan lokal dari tahun ke tahun begitu-begitu saja.

“Apa masalahnya tidak tahu, apakah sarana prasarananya, atau penghasilannya, tapi kita tahu potensi ikan sangat besar di Natuna, cuma sayang nasib nelayan tradisional kita tidak banyak meningkat, dari tahun ke tahun biasa-biasa saja,” ungkap Umar Natuna menjawab koranperbatasan.com di ruang kerjanya Rabu, 29 September 2021.

Meski tidak mengetahuinya secara pasti, namun sosok penggagas sekaligus pendiri Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Kabupaten Natuna itu, melihat ada banyak faktor penyebab tertinggalnya nelayan lokal. Pertama sarana alat tangkap nelayan lokal masih tradisional. Kemudian sumber daya manusia diketahui lebih banyak faktor warisan.

“Wariskan kerja ayahnya atau saudaranya, tidak banyak yang betul-betul serius untuk kerja itu, mereka secara alami saja, tradisional. Kemudian faktor pengelolaan pendapatan juga menjadi persoalan, sehingga nasibnya tidak banyak berubah. Mereka malah menguntungkan para penampung,” ujar Umar Natuna.

Faktor lainnya adalah iklim Natuna yang terbagi dalam beberapa musim. Ketika musim angin kencang (musim utara) nelayan lokal memilih untuk tidak pergi melaut. Sepanjang musim itu, perolehan hasil tangkapan ikan yang telah berubah menjadi uang sebagai modal untuk turun ke laut berikutnya habis terpakai.

Kedepan memang sudah harus ada pembinaan peningkatan kapasitas kemampuan, skil, dan keterampilannya. Harus ada asoiasi-asioasi atau koperasi-koperasi yang bisa membantu modal bagi mereka untuk melaut. Supaya mereka memiliki keiinginan tinggi dan bisa pergi melaut lebih lama serta lebih jauh. Harus ada konsumsi untuk mereka selama tidak bisa melaut, pada musim angin kencang.

“Mungkin semacam tempat mereka mengadu, karena selama ini mereka mengadunya sama toke, kadang-kadang toke juga berat bebannya,” sebut Umar Natuna.

Pembina Yayasan Abdi Umat (YAU) Kabupaten Natuna, H. Umar Natuna, S.Ag, M.Pd.I menjawab pertanyaan wartawan peserta In House Training Jurnalistik Maritim Berwawasan Kebangsaan, Rabu 29 September 2021.

Sejauh ini Umar Natuna melihat ada banyak jenis bantuan disalurkan pemerintah untuk para nelayan melengkapi sarana di pompong, termasuk bantuan jenis bubu ketam. Hanya saja tidak continue dan dievaluasi. Seharusnya bantuan-bantuan dijamin kelestariannya, dan keperuntukkannya. Pemerintah memang harus menyiapkan infrastruktur terkait industri. Infrastuktur pendukung dari pada usaha-usaha nelayan itu sendiri.

“Misalnya industri pengolahan ikan, sampai saat ini Natuna belum ada industri pengolahan ikan dan segala macam yang skalanya besar, yang ada itu kan baru kegiatan UMKM kerupuk ikan,” cetusnya.

Selama ini hasil tangkapan ikan nelayan justru di jual utuh belum di olah. Natuna belum menjual ikan dalam bentuk olahan dagingnya saja. Padahal ekspor daging ikan terbilang mahal. Pemerintah harus mendorong hal tersebut supaya ikan melimpah dan harga jualnya pun tidak lagi murah.

“Nelayan sudah harus bisa mengolah ikannya, sehingga musim ikan kurang, dan angin kencang, mereka bisa menjualnya kembali dalam bentuk daging, supaya bisa tahan lama masukan ke freezer, nah itu salah satu yang harus dipersiapkan,” sebut Umar Natuna.

Pendiri Kelompok Studi Mahasiswa Walisongo (KSMW) itu, menyarankan sudah harus ada tenaga pendampingan dan pemberdayaan yang disiapkan untuk nelayan lokal, termasuk bagaimana pengelolaan keuangan, dan pengembangan sumber daya manusianya.

“Kalau marketing saya kira tidak sulit, karena kebutuhan sehari-hari akan ikan cukup tinggi. Cuma sayangnya ketika hasil tangkapan ikan melimpah, karena tidak ada pengolahan dan segala macam, membuat mereka mejual ikannya murah, atau banting harga,” imbuhnya.

Hal itu terjadi karena para nelayan juga akan berusaha bertahan hidup. Sayangnya kebiasaan nelayan lokal bertahan pada satu sumber pendapatan saja. Sementara dari sumber pendapatannya itu, digunakan untuk semua kebutuhan hidup. Oleh karena itu, kapasitas operasional dan kapal tangkapan nelayan lokal harus dibesarkan.

“Kita lihat jangkauan tempat nelayan Natuna mencari ikan sudah jauh-jauh. Sekarang ini nelayan baru bisa menghasilkan ikan dalam jumlah banyak, paling pendek memerlukan waktu tiga hari, normalnya seminggu baru pulang,” terang Umar Natuna.

Dalam kondisi serba sulit itu, saat ini Umar Natuna juga melihat tantangan kehidupan nelayan semakin terjepit. Sebab dalam keterbatasan sarana prasarana tangkap yang dimiliki, keamanan nelayan Natuna saat berada di laut juga terus terusik.

“Pemerintah harus berupaya juga bagaimana pengamanan nelayan dari ancaman-ancaman kapal pencuri ikan di laut. Sekarang ini, nelayan Natuna yang menangkap ikan jauh-jauh sudah was-was. Takut di tabrak kapal nelayan asing dan segala macam. Kalau tidak ada pengamanan, dan tidak ada kepastian lokasi tempat mereka mencari ikan.

“Artinya suram masa depan mereka (nelayan Natuna-red), padahal potensi di laut cukup besar dan sangat menjajikan, terutama bagi mereka yang sudah terbiasa dan berpengalaman menangkap ikan disekitar laut itu,” pungkasnya. (KP).


Liputan kolaborasi peserta In House Training Jurnalistik Maritim Berwawasan Kebangsaan yang digelar oleh LPKW UPN Veteran Yogyakarta bekerjasama dengan Kedubes Amerika Serikat di Indonesia, Zona_3 Natuna-Anambas. (Amran/koranperbatasan.com).


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *