ISLAM DAN KEBIASAAN ORANG MELAYU

Terbit: oleh -54 Dilihat
Ryannaldo

ALKISAH hiduplah seorang anak kecil yang “museng” (lincah cenderung ke nakal bahasa Melayu Natuna). Tingkah lakunya kerap membuat kesal sang ibu. Lalu pada suatu hari, anak ini menaruh pasir dalam hidangan yang sudah disiapkan oleh ibunya untuk para tamu.

Kesal? murka? Tentu sangat jelas perasaan yang dirasakan oleh ibunya. Lantas apakah ibunya memarahi anak kecil tersebut? Jelas iya, dengan kondisi seperti itu siapa yang tidak akan marah. Namun yang perlu kita garisbawahi adalah perkataan sang ibu ketika emosi berada pada titik tertingginya.

Seorang ibu ini, “mengusir” anaknya dengan ucapan, “pergi kau!!! BIARLAH KAU MENJADI IMAM DI MASJID AL-HARAM SANA!!!

Tahun berganti tahun telah berlalu, anak kecil yang menumpahkan pasir ke hidangan yang disiapkan ibunya ini telah berusia 24 tahun. Ia sedang beridiri dan bersiap untuk bertakbir di depan sebuah bangunan hitam, yang diikuti ribuan jemaah. Sebuah bangunan kotak yang selalu menjadi tujuan utama Umat Islam setiap tahunnya, ialah Ka’bah. Dan lelaki itu bernama Syaihk Abdurrachman as-Sudais, Imam Masjidil Haram.

Cerita singkat ini mengandung makna bahwa besarnya doa ibu. Emosi, memang ia merupakan sifat yang sangat manusiawi. Namun sang Ibu mengerti betul bagaimana mengelola emosi yang telah bagai air yang mendidih. Dan dimana sang ibu mengerti betul bahwa setiap ucapan adalah doa, dan mengerti bahwa setiap doa ibu akan menembus tiap-tiap lapisan langit hingga sampai ke Rabb al-Alaamiin.

Jelas, ibu sang imam besar sangat mengerti tentang hadist riwayat Abu Daud yang berbunyi “Janganlah kalian mendoakan (keburukan) untuk dirimu sendiri, begitupun untuk anak-anakmu, pembantumu, juga hartamu. Jangan pula mendoakan keburukan yang bisa jadi bertepatan dengan saat di mana Allah mengabulkan doa kalian.”

Hadist yang populer tersebut ternyata secara tidak langsung juga sudah dipraktekkan oleh orang tua Melayu sejak dulu. Pernahkah kita mendengar istilah “orang Melayu selalu untung”?.

Tertimpa segala musibah jawaban pertamanya adalah untung. Jatuh dari sepeda motor, responnya “untung hanya jatuh, tidak terlindas mobil”. Saat jatuh dari tangga, tangan patah, responnya “untung hanya satu tangan yang patah”. Dan lain sebagainya.

Ucapan “untung” yang juga bermakna syukur ini juga didasari dengan quran surat Ibrahim ayat 7 yang berbunyi “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat.”

Dengan harapan, agar respon “untung” dari setiap kemalangan yang menimpa merupakan doa yang semoga Allah Ta’ala akan menggantikan dengan yang lebih baik pula.

Kita balik lagi ke ucapan adalah do’a. Jika ibu Imam as-Sudais memarahi dengan mengucapkan “biar kamu menjadi Imam di Masjidil Haram”, maka orang tua Melayu dulu juga punya istilah serupa ketika memarahi putra-putri mereka yang nakal, dengan sebutan “bertuah”. Ini bermakna umum untuk melampiaskan kemaraham seraya berdo’a kepada Allah Ta’ala.

Bertuah berarti berkah, beruntung, dan lain-lain yang bermakna kebaikan. Kita sering mendengar orang-orang menyebut “bertuahnye punye anak”, kata ini meski diungkapkan dengan nada kesal, namun mengandung harap dan do’a agar kelak anaknya menjadi orang yang berguna dan bermanfaat bagi sekitarnya. Begitulah, ajaran-ajaran islam yang masih melekat dan dipraktekkan oleh orang-orang tua kita hingga kini.

Ucapan adalah do’a, terlebih kata-kata yang diucapkan keluar dari mulut seorang yang mulia yang biasa kita panggil emak, mama, ibu, umi, yang bisa menembus lapis demi lapis langit hingga sampai kepada Allah Ta’ala. Semoga Allah memberkati para wanita. Ibu-ibu seluruh dunia. Aamiin. (KP).


  • Penulis : Ryannaldo
  • Pendiri Kompasbenua
  • Sekretaris Pemuda Muhammadiyah Natuna

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *