KAMPUNG SEGERAM DALAM ARUS SEJARAH NATUNA (1)

Terbit: oleh -35 Dilihat
Sungai Segeram jalur laut menuju Kampung Segeram, terlihat dari udara

KAMPUNG SEGERAM DALAM ARUS SEJARAH NATUNA

(Meneroka Asa dan Rasa Masyarakat Segeram)

Oleh : Umar Natuna dan Nikmat Sabli *


Abstrak

Segeram dalam perspektif sejarah ada bandar melayu pertama di Natuna. Berbagai peradaban baru lahir di Segeram. Peradaban dalam konteks pemerintahan, dakwah atau islamisasi, intraksi dengan berbagai kawasan Fatani, Johor, Cempa, Daik Lingga, Banjar dan suku laut saling berjalin kelindan. Namun kini, Segeram yang dulu bandar (pusat Keramaian dan peradaban) bagaikan kampung mati, terisolir dan tidak menarik, termasuk bagi orang Segeram itu sendiri. 

Untuk mengetahui jejak sejarah dan perubahan apa saja yang dilahirkan di Segeram yang kemudian menjadi episentrum perubahan peradaban di Natuna, maka Tim peneliti (Umar Natuna, Nikmat Sabli) dan didukung oleh kelompok peneliti mahasiswa STAI Natuna (Rajab, Apriani, Hazmiza), mengumpul data dengan metode wawancara, aksi riset lapangan, dan telusuran kepustakaan.  Hasil temuannya dan analisis sebagaimana dipaparkan dalam tulisan berjudul Kampung Segeram Dalam Arus Sejarah Natuna; Meneroka Asa dan Rasa Masyarakat Segeram.

H. Umar Natuna, S.Ag, M.Pd.I, Penulis Kampung Segeram Dalam Arus Sejarah Natuna, Meneroka Asa dan Rasa Masyarakat Segeram

PENDAHULUAN


SEGERAM adalah sebutan suatu perkampungan yang dalam administrasi pemerintahan merupakan bagian dari Kelurahan Sedanau Kecamatan Bunguran Barat Kabupaten Natuna. Luas wilayah 5000 M, berbatasan sebelah utara dengan Kelarik, sebelah timur berbatasan dengan Seminteh, sebelah selatan dengan Sedanau dan sebelah barat berbatasan dengan Selaut. Jumlah penduduk lebih kurang 109 jiwa, 38 KK. Terdiri 1 Rukun Warga (RW), dan 2 Rukan Tetangga (RT). Sebagian besar mata pencaharian penduduknya nelayan, pencari kayu, tukang, pengrajin calok dan terasi serta petani.

Dalam perspektif sejarah dan cerita lisan masyarakat Natuna, Segeram adalah pusat pemerintahan Melayu pertama di Natuna, islamisasi dan bandar. Ia merupakan pusat keramaian (bandar) dan berbagai kegiatan literasi (pendidikan) dan aktivitas perhubungan dengan berbagai kawasan, seperti Johor, Fatani, Campa, Terangganu dan bahkan Cina. Perkembangan masyarakat maju pesat, selain berasal dari Johor, Fatani, Campa masyarakat Segeram juga berasal dari berbagai tempat atau daerah; ada yang berasal Daik Lingga, Banjar, Kalimantan dan juga Suku Laut. (Wawancara Syamsudin).

Namun sekarang perkembangan masyarakatnya semakin hari berkurang karena terderus oleh berbagai faktor. Ada faktor kelangsungan pendidikan anak-anaknya, dimana Kampung Segeram hanya ada sekolah SDN 010 baru pada tahun 2019 ada SMP Satu Atap. Karenanya, setelah tamat SD anak-anak Segeram kemudian melanjutkan ke SMP atau MTS ke Sedanau, Kelarik, Batubi dan bahkan ada juga ke Ranai, sehingga orangtua ikut pindah bersama anaknya melanjutkan sekolah.

Selain itu, ada juga karena kemajuan desa atau kampung lainnya seperti Kelarik sudah menjadi Kecamatan Bunguran Utara, Seluan sudah menjadi Desa, Batubi sudah menjadi Kecematan Bunguran Batuti, membuat masyarakat Segeram ada pindah menjadi penghidupan di daerah baru yang berkembang. Namun konon, karena ada kutukan sosial akibat perkelahian antar keluarga itu sendiri yang berakibat pindahnya keluarga dan kerabatnya secara besar-besaran yang pada akhirnya tinggallah beberapa kepala keluarga saja, yang kini masih menetapkan di Kampung Segeram.

Kondisi masyarakat dan perkembangan peradaban Kampung Segeram sekarang ini sangat bertolak belakang dengan sejarah masa lalunya. Kini Kampung Segeram, benar-benar bisa disebut kampung dalam pengertian penduduknya sedikit (34 KK), tingkat perekonomian dan pendidikan paling rendah, meskipun tidak tertutup ada penduduk yang berpenghasilan dan pendidikan (Khudori, 2002).

Karenanya, adalah menarik diteliti dan dikaji kenapa perkembangan masa lalu tersebut tidak menjadi modal sosial dan spirit bagi masyarakat Segeram yang ada sekarang. Kenapa hal itu terjadi? Bagaimana sejerah dan perkembangan  masyarakat Segeram sebagai bandar melayu Natuna dalam arus sejarah Natuna?. Itulah beberapa pertanyaan yang menarik diteliti dalam kaitan Segeram Bandar Melayu Natuna dalam arus sejarah Natuna khususnya dan Indonesia umumnya.

Untuk menjawab berbagai pertanyaan penelitian tersebut, terutama Segeram Bandar Melayu Natuna dalam arus sejarah Natuna, tim peneliti mengunakan berbagai metode pengumpulan data, antara lain, wawancara, observasi, oral histori (sejarah lisan) yang hidup dalam masyarakat Segeram dan Natuna dan penelusuran referensi (kepustakaan) yang terkait dengan Segeram dan Natuna.

Sedangkan narasumber atau informan dalam penelitian ini yang merupakan sumber primer di lapangan adalah para tokoh dan pemangku kepentingan yang ada di masyarakat Segeram. Ada tokoh masyarakat (Bapak Syamsudin, Ismail dan Sidik, agama (Bapak Zurman, Imam Mesjid Al-Bihar, pendidik (Mukhtar Hadi, Guru SD Negeri  aparatur pemerintah Kampung Segeram, yakni para ketua  RT dan RW ( Faisal Prihadi ).

Sedangkan sumber sumber kepustakaan yang digunakan sebagai referensi dalam penelitian dan penulisan ini, antara lain; Hari Jadi Kota Ranai, Keramat Binjai, Toponomi Daerah Natuna, sejarah masuk dan berkembanganya Islam di Natuna, dan  Sejarah perkembangan Natuna Daerah perbatasan-untuk menyebut dari beberapa rujukan lainnya. Sedangkan dalam analisis data tim peneliti mengunakan pendekatan sejarah….

Sungai Segeram pintu masuk dari laut menuju Kampung Segeram terlihat dari udara

SEGERAM BANDAR MELAYU NATUNA


SEGERAM yang kini dianggap terbelakang, terisilor, terbatasnya fasilitas umum dan pendudukan kurang berpendidikan,  dulunya adalah  pusat keramaian  atau dalam terminologi  masyarakat melayu disebut bandar ( bendo; dialog Lokal Natuna), pusat pemerintahan dan islamisasi di Natuna.

Sebutan lain dari bandar adalah  kehidupan maritim-yang berada di tapak sungai sebagai tapak perdana bagi persemaian peradaban dalam dunia melayu.  Makanya  bandar melayu natuna  pertama kali bertapak di hulu sungai Segeram.

Penempatkan bandar di sungai Segeram  yang dilakukan oleh engku Putri dan Demang Megat  adalah bagian yang tak terpisahkan dengan perkembangan kerajaan  Melayu lainya seperti Sriwijaya di Sungai Musi, Melayu Tua Jambi berada dipesisir sungai Barang Hari, Kesultatan Malaka bertapak di sepanjang sungai Malaka, Johor mengambil tapak persemaian dalam sungai Johor.

Demikian juga ketika Riau dibuka pada abad ke 16 oleh Tuan Abdul Jamil juga mengambil tapak persemaian peradaban Melayu di hulu Riau di Sungai Carang- Tanjungpinang. (Yusmar Yusuf;  2009, hlm 5).

Dalam hal ini dapat dipahami, karena sungai dalam perspektif tamdun Melayu bukan saja berfungsi sebagai superhighway (labuh raya) peradaban, tetapi juga sekaligus menempatkan sungai sebagai bagian dari strategi pertahanan, dengan mengandalkan kosmografi  sungai-sungai  yang sangat komplit dan rumit dalam pelanaran musuh di zaman itu.

Selain itu, sungai juga  memberi isyarat secara profetik bahwa penyebaran agama juga melalui perairan, karena lebih efektif dan ekonomis. Dalam kata lain, sungai dalam kehidupan masyarakat melayu menjadi sumber penting ba gi persemaian peradaban atau tamadun agung sebuah zuriat, komunitas dan kesultanan.

Sungai sebagai perairan bukan hanya berfungsi sebagai jalur komunikasi dan transportasi, tetapi yang lebih penting perairan-sungai penyedia segala khasanah kehidupan dan sumber kehidupan. Berbagai bahan baku yang melipak ruah di perairan dan sungat membuat masyarakat Melayu gemilang dalam dunia kemaritiman atau kebaharian-yang identik dengan tamadun, kejayaan dan kemashuran-yakni bandar.

Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Ong Hok Ham, (2007)  bahwa salah satu ciri perkembangan masyarakat Kepulauan, termasuk Kepualaun Natuna (Segeram, Srindit-Bunguran) adalah terdapat kehidupan maritim dan perkotaan. Penduduknya didominasi oleh pelaut, nelayan dan tukang-mereka bersifat urban.

Sebab masyarakat maririm selalu berhubungan dan berintraksi dengan pihak luar negeri untuk berdagang. Karena itulah, menurut Ong Hok Ham, kenapa para peradaban maritim tidak meninggalkan jejak  bangunan istana, rumah dan lain seperti peradaban agraris , karena masyarakat maritim bersifat urban-sehingga tidak fokus pada peradaban bangunan fisik sebagaimana peradaban agraris.

Apa yang dikemukakan Ong Hok Ham tentu menjadi argumen kuat untuk menjawab pertanyaaan atau gugatan seebagian orang terhadap eksistensi kampung Segeram sebagai kampung Induk di Natuna. Yakni minimnya peninggalan dalam bentuk bangunan fisik, apa itu istana, atau bangunan lainnya. Memang tidak kita jumpai peningalan dalam bentuk bangunan fisik, kecuali makam-makam, keris, perkakas rumah tangga (mangkok, piring dan lainnya), peralatan perang seperti meriam-dan pelurunya.

Kemungkinan seperti apa yang dikemukakan oleh Ong Hok Ham, bahwa budaya maritim berbeda dengan budaya agraris. Peradaban agraris dicirikan dengan peninggalan bangunan fisik atau keraton, sedangkan peradaban maritim tidak demikian, mereka lebih banyak terlibat dalam hubungan dagang dan berlayar di luar negeri. Dalam peradaban maritim yang ditonjolkan adalah teknologi pelayaran, teknologi penangkapan ikan, pengolahan, teknologi persenjataan, teknologi percetakan dan teknologi tekstil, dll. (Bersambung…).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *